Nasib Rektor di Jemari Menag
Font: Ukuran: - +
Reporter : Baga
Ilustrasi. [Foto: BP2M/Alfiah]
“Kalau nuansa politisnya itu persepsi orang bermacam-macam. Kalau saya lihat dari pengalaman saya nuansa politisnya sangat kecil. Karena kredibilitas Pansel itu memang sudah teruji.” Jelasnya.
“Saya kira dengan system yang ada sekarang. PMA PMA 68/2015 paling demokratis diantara system yang ada. Proses dan tahapan nya sangat selektif untuk menyeleksi pemimpin di sebuah perguruan tinggi,” papar Danial.
Kecuali, sebutnya, dari awal Menteri sudah terlibat dan mempengaruhi Senat. Tetapi kali ini tidak, Senat sangat independen untuk menentukan siapa yang berhak mereka kirim ke Menteri.
“Untuk kampus-kampus yang senatnya yang didominasi oleh incumbent, ini enggak bisa juga. Incumbent menguasai senat dan mengarahkan orang orang yang dia inginkan, ini tidak bisa,” jelasnya.
Kenapa, karena secara administratif itu terbuka dan konkrit dengan sejumlah persyaratan. Semuanya detail dan transparan. Mereka yang lolos menjadi calon sangat kualitatif dan kredibel.
Pro dan kontra soal Rektor UIN, IAIN, STAIN dibawah bendera Kemenag sampai kini masih menjadi pembahasan. Menag masih bersikukuh bahwa nasib para Rektor ada di genggaman jemarinya.
Hasil kiriman Senat, kemudian dinilai Pansel, baru jemari Menteri Agama yang menandatanganinya, siapa yang mendapat tanda tangan dari Menag, dialah yang menjabat Rektor.
Aturan sudah memberi wewenang penuh kepada Menag untuk menentukan nasib sebuah universitas dalam menempatkan siapa tampuk pimpinan. Jemari Menag memang sakti dalam menentukan siapa Rektor. **** Bahtiar Gayo.