Beranda / Klik Setara / Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Vonis Bebas Terdakwa Pemerkosa Anak

Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Vonis Bebas Terdakwa Pemerkosa Anak

Kamis, 10 Juni 2021 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Abdullah Abdul Muthaleb


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dalam tiga pekan terakhir, putusan “vonis bebas” yang dijatuhkan Mahkamah Syar’iyah Aceh (MS Aceh) mendadak viral. Putusan atas terdakwa pemerkosaan yang terjadi di salah satu gampong di Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar tersebut mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan.

Bagaimana tidak, putusan atas Banding yang diajukan oleh Penasehat Hukum sang terdakwa (inisial DP), sebelumnya diputuskan bersalah oleh Majelis Syar’iyah Jantho (MS Jantho) pada 30 Maret 2021. MS Jantho memutuskan bahwa DP terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan jarimah pemerkosaan terhadap orang yang memiliki hubungan mahram dengannya. Terdakwa dijatuhkan ‘uqubat ta’zir dengan ‘uqubat penjara selama 200 (dua ratus) bulan dikurangi masa penahanan yang sudah dijalani terdakwa.

Akan tetapi, DP yang tak lain paman sang korban, dinyatakan bebas oleh MS Aceh. Perlu dicatat bahwa MS Jantho memang telah memutuskan DP bersalah, tetapi pada saat bersamaan telah membebaskan sang ayah kandung korban (inisials MA) dari dakwaan dalam kasus yang sama, dengan korban yang sama. Seorang anak perempuan (inisial K) yang berusia 10 tahun! Ibu kandung korban yang tak lain isterinya MA, telah meninggal dunia tak lama sebelum tragedi ini menimpanya. Tragis!

Nah, tulisan ini bukan hanya fokus menyasar putusan MS Aceh, tetapi akan melihat kasus ini scara lebih luas. Di sini gender perspective dan keberpihakan pada kepentingan terbaik bagi anak sebagai korban menjadi pilar analisisnya sehingga akan terlihat lebih jernih: apakah putusan itu sudah memenuhi rasa keadilan yang sesungguhnya? Sekali lagi, tulisan ini semoga tidak dianggap secara membabi buta telah menentang syariat Islam karena rujukan hukum yang digunakan MS Aceh yakni Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat.

Tulisan ini juga tidak melihat semata-mata siapa yang harus disalahkan dengan putusan yang dinilai mencederai rasa keadilan, tetapi yang harus dipikirkan adalah bagaimana membangun sistem yang lebih adil dan setara dalam bangunan peradilan kita ke depan, mensikapi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, khususnya kekerasan seksual! Apa yang harus menjadi perhatian di masa mendatang sehingga peradilan dalam menangani perkara demi perkara tersebut tetap terpenuhi independensinya, merdeka dalam memutuskan perkara, tetapi tidak menutup mata keberpihakan dan kepeduliannya atas nasib korban.

Pertimbangan Majelis Hakim: Sekedar Janggal?

Terdapat sejumlah pertimbangan sebelum akhirnya Majelis Hakim MS Aceh sampai pada putusan yakni menerima permohonan banding Pembanding/Penasehatan Hukum Terdakwa dan kemudian membatalkan Putusan MS Jantho Nomor 22/JN/2020/MS.Jth tangga 30 Maret 2021 Miladiyah bertepatan dengan tanggal 16 Sya’ban 1442 Hijriyah. 

 Majelis Hakim MS Aceh dengan Hakim Ketua Drs. H. Misrahuddin, dengan Hakim Anggota Majelis yakni Drs. H.M. Yusar, MH dan Drs. Khairil Jamal, tersebut menyatakan bahwa terdakwa DP tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan jarimah pemerkosaan terhadap orang yang memiliki hubungan mahram dengannya (K) sebagaimana dakwaan alternatif kedua yang diatur dalam Pasal 49 Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Dalam tulisan ini, ada dua poin penting yang akan dikupas terkait dengan pertimbanagn Majelis Hakim. Pertama, proses pemberian keterangan saksi anak korban dan sikapnya yang berubah-ubah. Kedua, kesaksian ahli dari psikolog dan pemeriksaan visum oleh dokter.

Pertama, terkait proses pemberian keterangan saksi anak korban. Saksi anak korban dalam keterangannya di depan sidang tidak memberikan keterangan secara lisan (bersuara), melainkan hanya dengan bahasa isyarat berupa anggukan dan gelengan kepala, padahal proses pemeriksaan terhadap anak korban telah mengikuti prosedur persidangan perkara anak dengan tanpa menggunakan atribut persidangan.

 Lalu anggukan dan gelengan kepada saksi anak korban tersebut diterjemahkan secara subjektif dalam Berita Acara Sidang. Dengan pertimbangan demikian, MS Aceh berpendapat bahwa kesaksian anak korban di depan sidang pada tanggal 12 Januari 2021 dengan bahasa isyarat tersebut tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti saksi, karena anak korban dalam kesehariannya bukan seorang tunawicara dan bukan pula pengindap tunarungu sehingga harus memberikan kesaksian dengan bahasa isyarat dan terjemahan diberikan dalam Berita Acara terhadap jawaban saksi anak korban merupakan imajinasi yang dapat dinilai tidak bersifat objektif dalam proses pembuktian.

Dengan sejumlah pertanyaan yang diajukan oleh MS Jantho ketika kasus tersebut disidangkan, dimana pertanyaan yang diajukan tersebut kemudian dijawab dengan isyarat (tanpa suara) oleh saksi anak korban, MS Aceh menilai adanya upaya penggiringan yang mengarah kepada pembuktian bahwa terdakwalah sebagai pelakunya.

 Cara pemeriksaan perkara demikian disebutkan juga tidak dibenarkan dalam pemeriksaan perkara jinayat sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 162 Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2014 tentang Hukum Acara Jinayat. MS Aceh kemudian menilai jika keterangan saksi anak korban bukanlah yang sebenarnya sehingga keterangan tersebut tidak dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti, karena itu kesaksian anak korban harus ditolak.

Pertanyaan kemudian, apakah pertimbangan dan kesimpulan Majelis Hakim MS Aceh di atas sudah tepat? Penulis melihat aspek ini dalam dua hal pokok yakni adanya pengabaian atas relasi kuasa saksi anak korban dengan terdakwa sekaligus tidak memiliki perspektif kepentingan terbaik bagi anak. Siapa pun anak yang menjadi korban, apalagi terdakwanya tersebut orang terdekat seperti dalam kasus ini, akan tidak seimbang relasi kuasanya.

 Sang anak sebagai korban pasti akan merasa ketakutan yang akan mempengaruhi keberaniannya untuk menyatakannya dengan jelas dan tegas. Bahkan bisa saja karena relasi kuasa yang timpnag itu sang anak bisa mengubah keterangannya yang dikehendaki sang terdakwa karena berbagai tekanan yang diterimanya. Bukankah menjadi pengetahuan kita bersama bahwa dalam banyak kasus kekerasan seksual, mayoritas korban malah sama sekali tidak berani melapor dengan dalih ketakutan? Korban pastinya merasa akan diintimitasi setelah dilaporkan dan atau diteror, diancam agar tidak menceritan sesuai fakta dan seterusnya.

Oleh sebab itu, jawaban saksi anak korban dengan gelengan kepala dan anggukan itu bisa saja dianggap subjektif! Namun demikian, dengan sejumlah pertanyaan yang diajukan, penulis meyakini jika Majelis Hakim MS Jantho sudah bertindak objektif dengan kedua isyarat tersebut. 

Konon lagi dengan dengan pertanyaan yang sederhana dan memang memiliki relevansi dengan keterangan lainnya. Jangan lupa bahwa setiap anak memiliki kondisi berbeda-beda, dengan latar keluarga, budaya, dan pengalaman hidup yang tidak sama antara satu anak dengan anak lainnya.

Bukankah pula UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dalam pasal 58 pada ayat (3) dan (4) memberikan kemudahan bagi anak korban dan/atau anak saksi yang tidak dapat hadir di Pengadilan maka keteranganya dapat didengar di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik atau melalui pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual? 

Sedangkan dalam kasus ini, saksi anak korban sudah hadir langsung di persidangan dan memberikan isyarat sebagai jawaban atas pertanyaan Hakim. Bukankah hal demikian akan jauh memudahkan Majelis Hakim dalam mengambil kesimpulan meskipun saksi anak korban tidak memberi keterangan secara lisan?

Kita perlu juga mengingat kembali bahwa meskipun proses pemeriksaan terhadap anak korban telah mengikuti prosedur persidangan perkara anak dengan tanpa menggunakan atribut persidangan, bukan berarti setiap anak yang dihadirkan dalam proses sidang akan benar-benar penuh keberanian dan secara terbuka. 

Jangankan mereka yang berusia anak, kita manusia dewasa bisa saja ketakutan jika sudah berada di dalam persidangan, bukan? Di sinilah kemudian, adanya saksi ahli yang dapat dihubungkan dengan apa yang dikemukakan oleh saksi anak korban. Keterangan saksi ahli yang diberikan di bawah sumpah itu penting sekali untuk membantu Majelis Hakim agar lebih jelas dalam melihat benang merah apa yang sudah disampaikan oleh sang anak tersebut.

Kedua, terkait kesaksian ahli dari psikolog dan pemeriksaan visum oleh dokter. Saksi ahli UR, seorang psikolog telah melakukan pemeriksaan terhadap saksi anak korban. Di depan penyidik, UR menyimpulkan bahwa anak korban bersikap ramah dan agak pendiam dan sulit menceritakan apa yang dialaminya, kecenderungan kepribadian anak korban cenderung introvert, sangat tertutup, pemalu, dan tidak mudah percaya dengan orang lain serta sangat terikat akan masa lalunya...............

Anak korban memiliki sikap mudah menyerah, dikuasai oleh alam sadarnya, tidak bisa mengontrol emosinya, sehingga nampak tidak memiliki keseimbanganndalam dirinya dan cenderung menebak apa yang ditanyakan kepadanya. Berdasarkan pemeriksaan diketahui anak korban kurang ceria, tidak mau berbagi yang telah dialaminya, mudah menyerah, tidak kosentrasi, merasa kecil dan tidak berdaya, juga tidak bahagia, merasa dirugikan dan khawatir yang berlebihan sehingga anak korban menunjukkan adanya ganguan pada perilakunya.

Dengan hasil pemeriksaan demikian, MS Aceh berpendapat anak korban sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain dalam menggambarkan keterangan di depan penyidikan maupun di depan sidang. Berdasarkan hasil kesimpulan saksi ahli tentang kondisi kejiwaan anak korban yang cenderung tidak memiliki kepercayaan diri, tidak memiliki keseimbangan diri dan cenderung menebak apa yang ditanyakan kepadanya, memperkuat pertimbangan MS Aceh bahwa apa yang diterangkan oleh anak korban di depan penyidik maupun MS Jantho bukanlah yang sebenarnya.

Bagaimana alasan rasionnalnya MS Aceh dapat berpendapat demikian? Karena apa yang sudah dikemukakan oleh saksi ahli itu juga fakta yang secara kasat mata bisa kita temukan pada setiap individu, apalagi seorang anak, yang sebelumnya sudah mengalami masalah berat seperti halnya yang dialami anak korban. 

Pertanyaannya, apakah anak kita di rumah akan terbuka kepada semua orang, akan terlihat bahagia hidupnya ketika ia sudah pernah dipaksa melakukan tindakan seperti yang dialami seorang anak bernama K ini? Siapa pun individunya, apalagi individu berusia anak, akan cenderung bersikap seperti keterangan sang psikolog di atas. 

Orang dewasa saja yang secara paksa dilecehkan, diperkosa, pasti kesimpulannya cenderung akan sama. Ia akan sulit mengontrol emosi dan bisa saja dalam memberikan jawaban terkesan menebak karena sudah penuh dengan trauma dan rasa khawatir dalam dirinya.

Saksi ahli lainnya, AYY, dokter yang melakukan tes visum et repertum atas anak korban. Dari hasil pemeriksaannya, bahwa pada daerah vagina anak korban terlihat berwarna merah muda tanpa lecet maupun darah dan tidak ditemukan cairan sperma. Pada selaput dara ditemukan adanya robekan pada posisi pukul 2 dan posisi pukul 7 yang diduga akibat adanya penetrasi benda tumpul dan robekan tersebut menandakan robekan lama dan kondisi selaput dara berwana merah mudah tidak ada peradangan.

MS Aceh dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa anak korban adalah anak yang baru berusia 10 tahun 4 bulan, masih tergolong anak-anak belum remaja atau belum dewasa, yang tentu secara fisik organ kelaminnya adalah organ kelamin anak-anak. Jika terjadi pemerkosaan atau rudapaksa terhadap anak korban yang dilakukan oleh orang dewasa selama 3 (tiga) hari berturut-turut, tentu dampaknya terhadap vagina anak korban akan sangat terlihat untuk waktu yang cukup lama.

Mungkin saja anak korban akan mengalami pendarahan hebat, atau setidak-tidaknya vagina anak korban akan mengalami pembengkakan dan lecet yang tidak mudah hilang dalam waktu 1 (satu) bulan, atau setidak-tidaknya di vagina anak korban ada bekas peradangan akibat rudapaksa tersebut. 

MS Aceh kemudian berpendapat bahwa peristiwa pemerkosaan terhadap anak korban tidak terjadi pada waktu sebagaimana dakwaan JPU yaitu pada 4 Agustus 2020, maka hasil visum et repertum tersebut tidak bernilai sebagai alat bukti sempurna untuk menetapkan terdakwa sebagai pelaku kerena hasil visum tersebut tidak membuktikan bahwa terdakwalah pelakunya, maka hasil visum tersebut harus ditolak.

Penulis menilai Majelis Hakim MS Aceh telah melampaui kompetensinya dalam mengambil kesimpulan atas hasil pemeriksaan psikologis dan visum et repertum. Ini sesuatu yang di luar kelaziman mengingat dalam banyak kasus, hasil visum malah menjadi andalan Majelis Hakim sebelum menentukan keputusan, bukan? 

Jangan lupa bahwa keterangan saksi ahli itu didasarkan standar keilmuan dan juga keduanya disampaikan di bawah sumpah. Menjadi aneh juga ketika dibayangkan bahwa hasil visum atas anak korban akan sama seluruhnya dengan hasil visum pada korban pemerkosaan yang segera diperiksa setelah peristiwa pemerkosaan tersebut terjadi. 

Di sini ada jelas sekali terjadi pengabaian adanya jeda waktu antara proses visum dilakukan dengan peristiwa terjadi pemerkosaan dan waktu laporan tindak pemerkosaan dilaporkan, bukan? Dengan demikian, bisa saja publik menilai logika Majelis Hakim MS Aceh sudah terlalu jauh dalam menafsirkan hasil visum et repertum tersebut.

Di tengah banyak kritikan atas putusan vonis bebas, MS Aceh angkat bicara. Melalui Humas-nya, Ketua MS Aceh, Dra. Hj. Rosmawardani SH. MH menyapaikan bahwa putusan dengan Nomor Perkara: 7/JN/2021/ MS. Aceh yang dijatuhkan tersebut “bukan pelaku pemerkosa” yang divonis bebas melainkan yang benar adalah MS Aceh memvonis bebas "Terdakwa Pemerkosa". 

Selain itu, ditegaskan bahwa setiap terdakwa yang diajukan ke MS bukan berarti vonis pengadilan harus sesuai dengan dakwaan JPU 100%, sebab apabila hal ini terjadi maka fungsi hakim tidak diperlukan lagi. Menurutnya, putusan tersebut diambil oleh Majelis Hakim MS Aceh secara independen tanpa ada tekanan dari pimpinan MS Aceh maupun pihak lain, tapi murni kebebasan Hakim dalam menilai pembuktian dan memutus berdasarkan keyakinan majelis hakim itu sendiri.

Penulis menilai jika pernyataan di atas tidak bisa ditolak karena begitulah kemerdekaan Majelis Hakim dalam menangani perkara, bukan? Akan tetapi, sekali lagi kebebasan hakim tersebut haruslah dijalankan dengan akal sehat. Keyakinan yang diterapkan pun harus mengedepankan keyakinan yang benar.

 Perlu digarisbawahi juga bahwa sejauhmana penilaian dan keyakinan dimaksud benar-benar memberikan keadilan bagi korban, yang notabenenya masih di bawah umur? Ini pertanyaan krusial karena publik merindukan tindakan hukum yang progresif termasuk dari Gedung MS di Aceh dengan para hakim yang tidak sekadar menjadi teknisi pembaca pasal demi pasal belaka.

Memang ada sebuah adagium “Lebih baik sepuluh orang bersalah melarikan diri daripada satu orang yang tidak bersalah menderita” Adagium yang dikemukakan William Blackstone, seorang ahli hukum dari Inggris tersebut memang mengisyaratkan ada kemungkinan orang tidak bersalah akan dikenakan hukuman. 

Karenanya butuh alat-alat bukti yang diyakini kebenarannya. Tetapi kita juga harus bertanya: bagaimana dari sisi korban yang jelas-jelas sebagai korban yang justru tidak mendapatkan keadilan dari peradilan yang diharapkan dapat memberikan putusan yang adil bagi dirinya? Dalam kasus ini, gadis belia K, ketika para terdakwa sudah divonis bebas, bagaimana masa depan korban yang masih belia? Bagaimana kita memberikan harapan keadilan bagi siapa pun, terutama anak-anak yang semakin hari semakin tak terlindungi dari nafsu seksual yang bejat?

Publik atau siapa pun yang peduli pada persoalan ini pastinya akan bersikap sama dengan ajakan Ketua MS Aceh bahwa apabila ada putusan yang diputus bebas dan dinilai tidak adil, agar dilakukan eksaminasi secara fair dan berimbang. Tetapi yang harus disadari juga oleh MS Aceh adalah apabila terkesan bahwa ada yang mengeneralisir pada semua putusan MS Aceh dianggap tidak adil, itu juga harus menjadi refleksi bagi para hakim MS di seluruh Aceh. 

Publik juga berhak mengkritisi bahkan meragukan sekali pun, apakah dalam kasus yang sangat spesifik sepertinya kekerasan seksual berupa jarimah pemerkosaan di mana anak sebagai korban, setiap hakim MS di Aceh sudah mempunya perspektif yang baik terkait kepentingan terbaik bagi anak sebagai korban, yang tanpa juga mengurangi keadilan bagi sang terdakwa?

Langkah Perbaikan

Dengan siatuasi saat ini, mesti ada upaya serius untuk mendorong terwujudnya peradilan dalam menangani perkara terkait anak khususnya kekerasan seksual yang lebih adil dan menjunjung tinggi keberpihakan pada kepentingan terbaik bagi anak di Aceh. Berikut ini berapa upaya perbaikan yang menurut penulis perlu dilakukan agar ke depan wajah peradilan kita dalam penanganan masalah ini menjadi lebih baik.

Pertama, segera merevisi Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Revisi Qanun tersebut harus segera dilakukan. Kata “revisi” terkait Qanun ini mungkin sedikit keras yang kesannya menentang Syariat. Akan tetapi, sebenarnya semua pihak harus sama-sama melihat dan sepakat bahwa ada sejumlah celah yang harus ditutupi, ada pengaturan yang berpotensi mencederai keadilan terutama bagi perempuan dan anak.

Di sini, kejelasan sikap Pemerintah Aceh bersama Dewan Perwakilan Aceh (DPRA) menjadi kunci utama. Jangan langsung mengatakan “revisi belum saatnya’ atau “sama sekali tidak perlu revisi”. Tetapi mari kita samakan persepsi, cek fakta lapangan setelah Qanun ini diterapkan, apa yang capaian positif dan apa yang harus diperbaiki. 

Sudah lazim disuarakan bahwa dari perspektif perlindungan terhadap perempuan dan anak, Qanun tersebut belum memberikan perlindungan optimal, sebaliknya justru kian membuat jarak pada upaya pemenuhan keadilan terutama bagi perempuan dan anak korban kekerasan seksual.

Qanun Hukum Jinayat memang menetapkan bentuk hukuman yang ditetapkan sifatnya pilihan mulai dari cambuk, denda atau penjara. Dengan adanya tiga pilihan (opsi) tersebut, membuka peluang bagi terdakwa menerima hukuman cambuk, dengan berbagai upaya yang dilakukannya dan atau itu yang menjadi pilihan utama Majelis Hakim. 

Apa yang terjadi selama ini sejak Qanun tersebut diberlakukan? Sering disebutkan bahwa fakta selama ini menunjukkan bahwa mayoritas hukuman yang diterapkan Majelis Hakim adalah cambuk!

Mari kita renungkan, apabila anak perempuan kita yang masih di bawah umur, diperkosa, lalu kemudian sang pelaku diputuskan bersalah dan dicambuk sekian kali, apakah itu adil bagi anak kita dan keluarga kita sebagai korban? Pemerkosaan itu bukan kejahatan biasa, tetapi jelas-jelas kejahatan kriminal yang telah membuat anak perempuan kita trauma sepanjang hidupnya.

 Ia kemudian harus menanggung malu dan cibiran, apalagi dengan perlakuan lingkungannya yang cenderung menghakiminya. Lalu anak kita kembali bertemu dengan pelaku setelah ia dicambuk di depan umum? Kembali melihat mukanya, terbanyak jahatnya korban merengut masa depannya yang pada saat bersamaan ia pun belum benar-benar pulih dari trauma yang dideritanya. Adilkan kondisi demikian?

Kalau kita mau jujur, cara demikian tentu tidak memberikan efek jera bagi pelaku dan peringatan keras kepada individu lainnya (calon pelaku) agar tidak melakukan hal yang serupa. Akibatnya, predator kekerasan seksual semakin bergentayangan, karena kalau tertangkap: saya cuma akan dicambuk, setelah itu saya bisa bebas berkeliaran lagi di tengah masyarakat.

Oleh sebab itu, organisasi masyarakat sipil di Aceh yang dipelopori LBH Banda Aceh dan gerakan perempuan memandang penting perlunya segera dilakukan revisi qanun tersebut. Hal tersebut untuk mendukung penerapan Qanun Hukum Jinayat ini semakin baik di masa mendatang dan benar-benar sejalan dengan semangat kita bersama untuk mewujudkan peradilan yang lebih sehat dan mampu memberikan keadilan pada titik paling optimum khususnya pada kepentingan terbaik bagi anak.

Kedua, bersamaan dengan dorongan revisi di atas, Pemerintah Aceh harusnya dapat memfasilitasi terbangunnya “kesepakatan bersama” di jajaran penegak hukum untuk menggunakan UU Perlindungan Anak dalam menangani perkara anak. Selama ini antara penggunaan Qanun Hukum Jinayat dan UU Perlindungan Anak masih terjadi perbedaan persepsi antara satu institusi penegak hukum dengan institusi penegak hukum lainnya. 

Hal ini sebagai lanjutan komitmen untuk menjalankan Surat Edaran Kejaksaan Agung Nomor: SE-2/E/Ejp/11/2020 tentang Pedoman Penangan Perkara Tindak Pidana Umum Dengan Hukum Jinayat di Provinsi Aceh, dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2020 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Pada intinya, kedua Surat Edaran tersebut mewanti-wanti agar dalam kasus yang menimpa anak agar sang pelaku dihukum dengan hukuman penjara.

Dua poin di atas idealnya menjadi ranah para politisi bersuara lantang, kerjakan dengan nyata lewat fungsi parlemen yang mengikat diri Anda baik di tingkat lokal (DPRA/DPRK) maupun nasional (DPR RI). Jangan sekedar respon ketika kasus viral yang semuanya terkesan hanya cari panggung popularitas. 

Tetapi sekali lagi aksi nyatanya apa? Dukung dan kawal proses revisi Qanun Hukum Jinayat secara bermartabat dan dorong agar setiap institusi penegak hukum di Aceh untuk bersepakat menggunaan UU Perlindungan Anak untuk kasus-kasus yang spesifik terkait anak. Bila itu terjadi, ini sebuah capaian besar dalam membangun peradilan kita yang lebih adil bagi anak-anak di Aceh.

Ketiga, MS Aceh secara kelembagaan dan individunya, harus lebih terbuka dan perlu secara terus menerus melakukan aksi refleksi, otokritik dan bukan sebaliknya terkesan menjadi lembaga yang antikritik. Jangan kemudian jika ada pihak eksternal terutama gerakan masyarakat sipil menyuarakan isu ini dipandang tidak sejalan dengan agenda MS di Aceh.

Internal MS di Aceh juga diharapkan terus memperkuat para hakimnya dengan perspektif gender yang didalamnya bicara relasi kuasa, termasuk kesadaran pentingnya perspektif kepentingan terbaik bagi anak dalam proses pengambil keputusannya. Penting dicek pula apakah selama ini fasilitas yang tersedia di MS yang ada di Aceh sudah menjadi pengadilan yang benar-benar ramah anak sesuai dengan amanat UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA.

Keempat, selain mendukung penuh JPU melakukan Kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan bebas kasus ini, institusi Kejaksaan di Aceh harus legowo juga memotret dirinya dengan proses yang berjalan termasuk dalam memastikan alat-alat bukti terkait perkara yang sedang ditangani.

 Hal ini menarik jika dihubungkan dengan pernyataan dari Ketua MS Aceh dalam merespon reaksi publik atas vonis bebas DP. “Bahwa anak korban memang perlu mendapat perhatian serius dan akan selalu pro kepada kepentingannya, tetapi keberpihakan kita terhadap anak jangan sampai semua terdakwa pelaku kejahatan kepada anak harus divonis bersalah tanpa menilai alat bukti yang diajukan ke Mahkamah”. 

Poin di sini adalah alat bukti yang diajukan harus menjadi catatan serius bagi JPU. Karena itu, JPU selain harus memperkuat aspek alat bukti yang diajukan, juga harus benar-benar mengacu pada “Pedoman Kejaksaan RI Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan Dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana” yang sudah diterbitkan oleh Kejaksaan Agung pada 8 Maret 2021 lalu. Hal ini penting sehingga kerja-kerja JPU semakin baik dan kian memperkuat kualitas proses hukum dalam pemenuhan hak-hak anak korban atas keadilan.

Kelima, Pemerintah Aceh juga harus memastikan adanya mekanisme penyelesiaan kasus kekerasan terhadap anak di Aceh dengan standar yang jelas, infrastruktur pendukung dan ketersediaan anggaran operasional yang memadai. Pertanyaannya, pernahkah dievaluasi apakah dukungan terhadap UPT PPA atau lazim dikenal P2TP2A baik di tingkat provisni hingga kabupaten/kota di Aceh sudah memadai? Apakah anggaran untuk menangani kasus yang terus melonjak tajam dengan kebutuhan penanganan yang makin kompleks tersebut sudah mencukupi?

Berdasarkan data yang dirilis P2TP2A Aceh (2018) bahwa pada tahun 2018, rata-rata alokasi anggaran untuk P2TP2A di kabupaten/kota hanya Rp 112.473.445. Artinya, satu bulan kerja dana yang tersedia hanya Rp 9.372.787. Dengan alokasi anggaran demikian tidak akan mampu memenuhi standar layanan yang optimal, belum lagi berharap lembaga tersebut memberikan “layanan” lebih kepada masyarakat khususnya kepada perempuan dan anak korban kekerasan di kabupaten/kota masing-masing.

Salah satu persoalan di Aceh adalah ketersediaan “Rumah Aman” yang standar dengan mekanisme dan fasilitas yang memadai. Bukan “Rumah Aman” yang sekedar nama saja. Dengan APBA sekian triliun rupiah tiap tahunnya, miris sekali karena baru tahun depan (2022) kabarnya Pemerintah Aceh akan memfasilitasi tersedianya “Rumah Aman. 

Padahal sudah jauh-jauh hari “Rumah Aman” ini sangat diperlukan. Ketersediaanya penting sekali bukan hanya untuk anak-anak yang berhadapan dengan kekerasan seksual, perempuan korban KDRT hingga perempuan yang sedang mengurus gugat cerai pun sangat perlu “Rumah Aman”. 

Karena dalam proses demikian, baik perempuan maupun anak, akan sangat rentan dengan intimidasi yang mengancam jiwa dan raganya. Sekali lagi, sudah sangat mendesak Pemerintah Aceh menyediakannya secara reprsentatif dengan dukungan pengelolaannya yang memenuhi standar. “Rumah Aman” dapat menjadi media yang menjamin kenyamanan dan keamanan bagi korban dalam melewati proses peradilan (sejak melaporkan kasusnya, korban dimintakan keterangan, hingga proses persidangan).

Terakhir, gerakan masyarakat sipil di Aceh penting untuk melakukan monitoring peradilan terkait kasus perempuan dan anak, khususnya perkara kekerasan seksual terhadap anak. Strategis pula untuk mereview putusan peradilan terkait perkara kekerasan seksual yang dinilai menderai terpenuhi keadilan bagi korban. 

Vonis bebas ini harus menjadi momentum penting yang diharapkan usia perjuangan ini menjadi lebih panjang. Mengawal prosesnya sejak kasus mencuat, pelaporan dan pemeriksaan, hingga proses selanjutnya di pengadilan.

Penutup

Saat per satu kasus kekerasan seksual semakin nyata di depan mata. Berbeda dengan tindak pidana lainnya, kekerasan seksual dengan ragam bentuknya tersebut (salah satunya pemerkosaan) kerap sekali dilakukan olen orang terdekat korban. Pelaku adalah biasaya orang-orang di lingkaran keluarga, bahkan ayah, paman, kakek, atau abang kandung dari sang korban.

Pantas bila kemudian, Sulaiman Tripa (2021) dalam kolom opini di sebuah media lokal menulisknya dengan “era mati rasa”. Ya, tepat sekali bila rasa cinta terhadap orang-orang tersayang, bahkan terhadap anak kandung, keponakan, hingga cucu sendiri yang tergadaikan masa depannya karena nafsu bejat yang tidak terkendali.

Saat tulisan ini saya rampungkan, wajah syahdu anak perempuan saya hingga keponakan saya yang perempuan selalu terlintas dalam pikiran. Bagaimana nasib mereka jika kejahatan kekerasan seksual terjadi pada dirinya lalu dihadapkan pada proses hukum seperti ini.?

 Korban yang secara alat bukti benar-benar diyakini sudah jadi korban, tetapi ketukan palu yang mulia di pengadilan belum memihak kepadanya. Semoga apa yang sudah terjadi dalam kasus ini bukan bagian sesat pikir (fallacy) pengadilan karena itu sangat menjijikan, membunuh peradaban dan kemanusian.***

Oleh : Abdullah Abdul Muthaleb

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda