Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Bebasnya Terdakwa Pemerkosa dan Nurani Sang Hakim

Bebasnya Terdakwa Pemerkosa dan Nurani Sang Hakim

Selasa, 25 Mei 2021 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

Terdakwa DP dalam persidangan sudah dijatuhi hukuman 200 bulan penjara. Namun kasus pemerkosaan ini akhirnya menjadi pembahasan ketika Majelis Hakim Syar'iyah Aceh memvonisnya bebas.

Apakah bukan DP pelakunya? Atau ada pelaku lainnya yang masih berkeliaran bebas? Bagaimana penyidik menetapkan pelaku hingga sampai ke pengadilan dan majelis hakim memvonisnya 200 bulan penjara?

Kemudian mengapa majelis hakim membebaskannya? Apakah ada orang lain yang layak dijadikan tersangka, sehingga terdakwa yang sudah dihukum 200 bulan ini dibebaskan? Seperti dijelaskan penasihat hukum DP, bahwa pelaku yang sebenarnya belum tersentuh hukum.

Tarmizi, Penasihat hukum DP menyatakan kliennya tidak bersalah dan ada tersangka lain yang sudah dilaporkan ke polisi, namun pihak penyidik belum menyelesaikan tugasnya. Lantas kalau bukan DP mengapa dia divonis 200 bulan penjara di pengadilan pertama?

Suara Perempuan Menuntut Keadilan

Rasa kecewa disampaikan Suraiya Kamaruzzaman, aktivis hak perempuan dan pendiri Lembaga Swadaya Masyarakat Aceh.

Suraiya menyebutkan, anak masih 8 tahun yang seharusnya dia mendapatkan kasih sayang penuh dari orang tua, bukan hanya keluarga kandung tapi dari keluarga terdekatnya juga. Pertama anak ini sudah kehilangan ibunya.

Sebelum ibunya meninggal, anak ini merawat ibunya yang sakit. Ia bukan hanya kurang kasih sayang tapi juga mempunyai tanggung jawab besar dengan umur yang belum pantas ia dapatkan tanggung jawab. Ditambah lagi dengan harusnya ayahnya yang melindungi dia tapi malah menjadi pelaku kejadian tersebut, kata Suraiya.

"Menurut saya ini kejahatan yang sangat kejam, binatang aja nggak mungkin memangsa anaknya sendiri, apalagi manusia yang diberi akal,” sebut Suraiya.

“Setelah melihat video testimoni dari anak ini, ketika ditanya pandangan matanya mata luka, dengan air mata, dengan suara gemetar, ekspresinya sedih dan air mata bercucuran, suara terbata-bata dan suaranya terputus-putus," ucap Suraiya menjawab Dialeksis.com.

"Saya nggak bisa membayangkan, nggak bisa saya ungkapkan, nggak punya kata-kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana, hanya bisa saya bayangkan berbagai macam rasa luka dialaminya," tambahnya.

Aktivis perempuan ini merasa agak aneh ketika disebutkan tidak ada unsur bukti. Padahal majlis hakim di Pengadilan Jantho sudah menjatuhkan hukuman hampir 16 tahun.

“Hakim atau jaksa di Jantho itu orang-orang yang professional. Bukan orang yang bekerja sembarangan, mereka menangani bukan satu atau dua kasus. Kemudian ketika keputusannya dianggap tidak ada bukti, yang menyebutkan tidak ada bukti itu yang aneh,” jelasnya.

"Biasanya yang ada dikurangi atau ditambah, bukan ditiadakan sama sekali dan sampai sekarang saya belum bisa memahami bagaimana mereka mengatakan bahwa tidak ada bukti. Memang bukti apalagi yang dibutuhkan dalam kasus pemerkosaan. Harusnya kesaksian korban itu menjadi bukti yang sangat kuat," tegas Suraiya.

Anak ini mengatakan diancam menggunakan parang untuk tidak mengaku. Pengakuan dari anak ini akan menjadi saksi yang sangat kuat. Tidak bisa dihapuskan begitu saja, ngak ada orang gila yang mengaku diperkosa apalagi anak kecil yang umurnya 8 tahun, bahkan tidak paham konsep pemerkosaan, jelasnya.

Suraiya menyebutkan, anak ini belum paham isu seksualitas ya, belum mengerti, harusnya Undang-Undang (UU) yang dipakai itu UU perlindungan anak. Ini yang paling utama, gagasan hukumnya dan bukan hukuman kepada pelaku, tetapi hak terhadap korban juga harus ada.

“Saat seperti inilah Pasal 49 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat itu digunakan. Advokasi yang utama adalah bagaimana memastikan kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah anak harus menggunakan UU perlindungan anak.,” sebut aktivis LSM ini.

“Saya pikir hakim itu harusnya punya hatilah. Keadilan itu harus betul-betul dimaknai dan Qanun Jinayat juga harus direvisi, karena banyak kasus-kasus ketidakadilan kepada korban. Jangan sampai tunggu anak kita yang jadi korban baru kita percaya," kata Suraiya.

Suara nurani perempuan juga diungkapkan Lawyer Arabiyani, S.H., M.H. Dia memberikan penilaian melalui laman facebook miliknya tentang perkara Mahkamah Syariah Jantho, nomor 22/JN/2020/MS.jth.

Arabayani menyampaikan, ada beberapa hal yang dicatat dan menjadi pertimbangan bahwa terdakwa DP bersalah.

“Saya mencatat beberapa pertimbangan pada pengadilan tingkat pertama sebagai dasar putusan menyatakan bahwa terdakwa DP bersalah,” jelas penasihat hukum ini.

Pertama, majelis hakim mempertimbangkan keterangan saksi-saksi, saksi ahli dan saksi verballisan yang dihubungkan dengan barang bukti yang termuat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pada berkas perkara maupun yang diberikan di dalam pemeriksaan persidangan.

Ternyata keterangannya saling berhubungan dan bersesuaian antara satu dengan lainnya. Sehingga, membentuk alat bukti petunjuk yang dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan Terdakwa.

Kedua, jelas Arabiyani, majelis hakim juga menemukan petunjuk; bahwa pada waktu kejadian terdakwa telah dengan sengaja mengancam dan memaksa anak korban untuk diperkosa.

Anak korban mengalami trauma. Anak korban ketakutan jika dihadapkan dengan Terdakwa. Bahwa Terdakwa tidak dapat mengajukan bukti-bukti yang dapat meringankan terhadap dakwaan kepada dirinya.

Ketiga, dari keterangan dari 2 (dua) orang aksi ahli dibawah sumpah dan berdasarkan atas disiplin ilmu yang dimiliki dan dapat dipertanggung jawabkan.

Saksi ahli pertama menjelaskan, keterangan yeng diberikan oleh korban secara keilmuan saksi dapat dikatakan anak korban tidak berbohong.

Demikian dengan aksi ahli kedua. Dia menyatakan, hasil pemeriksaan terhadap genital anak korban, saksi melihat terjadi robekan pada selaput dara anak korban.

 “Saya sendiri belum membaca pertimbangan Majelis hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh yang mengabulkan permohonan banding DP bin J, sehingga dia dinyatakan bebas,” sebut Arabiyani.

Menurut Lawyer ini, keputusan majelis hakim pada tingkat pertama di Mahkamah Syar’iyah Jantho sudah tepat. Mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap selama persidangan, keterangan korban, dan mempertimbangan alat bukti secara seksama dan menyeluruh.

“Bukti itu membuat majelis hakim berkeyakinan kuat menjatuhkan hukum 200 bulan penjara kepada terdakwa DP. Saya memberikan apresiasi kepada majelis hakim MS Jantho,” sebutnya.

Kini DP dibebaskan, untuk itu menurut Arabiyani, Jaksa Penuntut Umum (JPU) harus segera melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Kasasi harus segera dilakukan, mengingat permohonan kasasi hanya ada waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan Pengadilan diberitahukan kepada terdakwa / Penuntut Umum.

“Selanjutnya saya rasa juga perlu kita secara kolektif segera menindaklanjuti kasus ini ke Bawas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial,” ujarnya.

Rasa dihati yang bercampur aduk disampaikan anggota Komisi I DPRA, Darwati A Gani. Politikus PNA ini menyebutkan, ini kasus yang sangat mengkhawatirkan, sering sekali terdengar di Aceh.

“Karena korban mengalami trauma, apalagi saat ini terdakwa sudah bebas dan berkeliaran dan itu bisa menambah trauma kepada si korban,” jelas Darwati menjawab Dialeksis.com.

Darwati juga meminta agar JPU yang menangani perkara ini untuk mengajukan kasasi. Karena kasus ini sudah menjadi perhatian banyak pihak. Kepada pelaku harus mendapatkan hukuman yang pantas dan seadil-adilnya dan juga si korban juga berhak mendapatkan hak repitusi.

“Korban harus mendapatkan hak restitusinya dan pengobatan untuk menyembuhkan trauma yang didapatnya. Kasus ini harus menjadi pembelajaran untuk kita semua, agar tidak terulangnya lagi kasus seperti ini lagi di Aceh,” jelas Darwati.

Kecaman dalam Rasa Kecewa

Majelis hakim tingkat banding Pengadilan  Mahkamah Syari,ah Aceh yang diketuai  Misharuddin dengan hakim anggota masing-masing M Yusar dan Khairil Jamal   mengabulkan permohonan banding  yang diajukan terdakwa dan membatalkan putusan Mahkamah Syar'iyah Jantho nomor 22/JN/2020/MS.jth.

Dalam putusannya, hakim MS Aceh menyatakan DP tidak terbukti bersalah memperkosa orang yang memiliki hubungan mahram dengannya dakwaan alternatif kedua, yang diatur dalam pasal 49 Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

"Membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Memerintahkan agar terdakwa untuk dikeluarkan dari tahanan seketika itu juga," putus hakim seperti dikutip detikcom, Minggu (23/5/2021).

Spontan putusan ini meramaikan pembahasan di dunia maya.  Anggota Komisi III DPR RI, Nazaruddin Dek Gam, mengaku kecewa atas putusan vonis bebas terhadap terdakwa DP.Putusan bebas tersebut menjadi preseden buruk terhadap penegakan hukum di Aceh, khususnya pada kasus-kasus kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak.

"Saya minta Jaksa segera ajukan kasasi, dan saya akan kawal kasus ini di Mahkamah Agung. Karena penilaian saya ada yang aneh dalam kasus ini," sebutnya.

Dek Gam menilai kalau penyidik kepolisian pasti bekerja sesuai dengan hasil pemeriksaan terhadap korban, serta psikolog. Sehingga kalau bukan ayah dan pamannya sebagai pelaku, tidak mungkin korban yang masih di bawah umur berani menuduh keduanya sebagai pelaku.

"Karena ayah dan paman sebagai pelaku, makanya korban berani bicara jujur kepada penyidik, dan berdasarkan perkataan korban polisi menangkap pelaku," jelas Politisi PAN itu.

Selain itu, Dek Gam meminta Lembaga Pelindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melakukan pendampingan terhadap korban, agar jangan sampai korban diintervensi oleh terdakwa.

"Korban harus benar-benar dilindungi, jangan ada pihak-pihak yang kemudian menekan anak itu, apalagi anak kecil, sedikit diancam sudah ketakutan," ujarnya.

Terakhir, Dek Gam meminta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, untuk benar-benar mendampingi korban hingga psikologi korban bisa kembali pulih atas kasus tersebut.

"Semua pihak harus mengawal kasus ini, ini sangat mencoreng Aceh yang berlebel Syariat Islam, terdakwa pemerkosaan bisa bebas," kata Dek Gam.

Pendapat lainya muncul dari Dr H Taqwaddin, S.H. S.E., M.S. selaku Dosen FH USK. Taqwadin dalam penjelasanya yang dishare ke grub WA menjelaskan, dia turut prihatin atas kasus ini. Tetapi perlu kita ketahui bahwa proses persidangan sangat ditentukan oleh hukum acara dan hal pembuktian.

“Kita patut mempertanyakan terkait pencabutan BAP. Ada apa sesungguhnya yang terjadi. Mengapa dan bagaimana ? Apa hanya gara-gara dicabutnya BAP oleh korban lantas terdakwa pertama dibebaskan dari segala tuntutan,” tanya Taqwadin.

Proses persidangan dalam perkara pidana adalah ditujukan untuk menemukan kebenaran materiil. Kebenaran yang sesungguhnya. Makanya, hakim harus aktif menggali setiap informasi dan setiap bukti yang diajukan. Jika visum et repertum sudah menunjukkan bahwa selaput dara korban telah sobek oleh benda tumpul, berarti ini kan ada sebabnya.

“Jika bukan para terdakwa, maka hakim harus menggali bukti-bukti lain mengapa robeknya selaput dara korban dan oleh perbuatan siapa ? Apa ada sebab lain atau pelaku lainnya ? “ tanya dosen ini.

Taqwaddin menjelaskan, patut juga dipertanyakan bagaimana bukti-bukti yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) dan bagaimana pula tuntutannya? Sehingga, terdakwa pertama dibebaskan dari segala tuntutan hukum, yang kemudian berimplikasi pada dibebaskan pula terdakwa kedua pada peradilan tingkat banding oleh Mahkamah Syariah Provinsi Aceh.

Persidangan pada peradilan banding bersifat judex iuris yaitu menguji penerapan hukum materil dan hukum formil oleh hakim peradilan tingkat pertama. Jadi, Hakim Tinggi pada Mahkamah Syariah Provinsi Aceh tidak lagi menguji fakta (judex factie) dan bukti-bukti, jelasnya.

“Hemat saya, jika benar para pelaku bebas sementara fakta perkosaan atau pelecehan atau percabulan benar-benar terjadi, maka tentu ini mencederai rasa keadilan public,” jelasnya.

Tetapi, sebut Taqwaddin, menghukum orang yang tidak bersalah, pun merupakan ketidak-adilan dan bahkan bisa merupakan peradilan sesat. Inilah dilematis. Maka, polisi, jaksa, dan hakim harus benar-benar objektif profesional dan berintegritas dengan menggunakan kemampuannya yang tertinggi untuk menangani setiap kasus, baik kasus-kasus pidana maupun kasus lainnya.

Terkait kasus ini, apabila JPU merasa Putusan Mahkamah Syariah Provinsi Aceh dianggap kurang tepat dan tidak adil bagi korban, maka saran saya diajukan Kasasi Ke Mahkamah Agung, jelasnya.

Siapa Pelakunya?

Bebasnya DP dari jeratan hukum menimbulkan tanda tanya banyak pihak, siapa sebenarnya pelaku pemerkosaan ini. Apakah korban berani berterus terang bila pelakunya adalah ayahnya dan pamanya. Mungkinkah korban berani bila tidak ada pelakunya.

Namun, Tarmizi penasihat hukum terdakda DP, dalam keteranganya kepada Dialeksis.com menjelaskan, klienya bukan pelaku. Orang melakukan rudapaksa kepada korban masih berkeliaran, walau sudah dilaporkan ke polisi namun belum ada tindakan untuk menuntaskanya.

Menurut Tarmizi, dalam perkara ini, penyidik salah tangkap.Pertama terdakwa ini adalah korban fitnah dari orang lain dan yang melakukan fitnah ini sedang dalam proses hukum,” lanjutnya.

Kedua, jelasnya, berdasarkan pengkauan korban bahwa, terdakwa DP dan AK tidak melakukan perbuatan tersebut. Pelakunya adalah  adik almarhum istri terdakwa AK. Korban sudah kita pisum, Pelakunya sudah diketahui yang berinisial AG dan sudah dilaporkan,” sebutnya.

Namun, sampai saat ini, pihak penyidik belum memproses kelanjutan laporan tersebut. Padahal laporan sudah kita ajukan lebih dari satu bulan,” jelas Tarmizi.

Sampai saat ini pihak penyidik belum menangkap pelaku dari kasus pemerkosaan, tetapi lain halnya dengan tedakwa DP dan AK, saat dilaporkankan pada hari itu mereka langsung ditangkap,

Menurut penasihat hukum DP ini, dia meminta agar kasus ini segera diproses dengan adil dan pelaku harus segera ditangkap.Hukum ditegakkan dengan seadil-adilnya, yang salah dihukum yang benar dibebaskan,” pinta Tarmizi.

Benarkah penyidik salah tangkap? Kalau penyidik tidak punya bukti yang kuat, apakah kasus ini sampai ke Pengadilan?

Majlis hakim di Mahkamah Syariah Jhanto juga sudah memutuskan kedua terdakwa bersalah masih masing diganjar hukuman. Namun sesampainya di Pengadilan Mahkamah Syariah Aceh, terdakwa dibebaskan.

Apakah benar yang disampaikan penasihat hukum terdakwa, bahwa penyidik salah tangkap? Bagaimana dengan pengakuan polos gadis cilik yang baru berumur 8 tahun ini, seperti yang diungkapkan Suraiya Kamaruzzaman?

Pengakuan gadis kecil ini merupakan jeritan hatinya, matanya yang polos tanpa dosa bukankah sebuah bukti, seperti yang diungkapkan LSM aktivifis perempuan ini?

Beragam pertanyaan kini bermunculan sehubungan dengan kasus rudapaksa yang kini menjadi pembahasan ini. Bagaimana kisah yang sebenarnya, apakah keterangan penasihat hukum terdakwa benar?

Penasihat hukum terdakwa bagaikan “menampar” penyidik dengan sebutan salah tangkap dan pelaku yang sebenarnya belum diproses. Mampukah penyidik menjawab statemen penasihat hukum terdakwa?

Lalu mengapa korban menarik BAP? Publik ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Siapa sebenarnya yang sudah melakukan rudapaksa terhadap korban warga Aceh Besar ini? Sampai kapan beragam pertanyaan publik ini akan terjawab? (Bahtiar Gayo)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda