Beranda / Berita / Aceh / Suraiya Kamaruzzaman: Hakim Harus Punya Hati dan Keadilan

Suraiya Kamaruzzaman: Hakim Harus Punya Hati dan Keadilan

Selasa, 25 Mei 2021 16:55 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Auliana Rizky

Suraiya Kamaruzzaman [Dok. Pibadi]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aktivis hak perempuan dan pendiri Lembaga Swadaya Masyarakat Aceh, Suraiya Kamaruzzaman merasa aneh dan kecewa atas terdakwa pemerkosaan terhadap anak di bawah umur yang divonis bebas oleh Mahkamah Syar'iyah Aceh.

Suraiya menyampaikan, ini anak masih 8 tahun yang seharusnya dia mendapatkan kasih sayang penuh dari orang tua bukan hanya keluarga kandung tapi dari keluarga terdekatnya juga.

Pertama anak ini sudah kehilangan ibunya. Sebelum ibunya meninggal, anak ini merawat ibunya yang sakit. Ia bukan hanya kurang kasih sayang tapi juga mempunyai tanggung jawab besar dengan umur yang belum pantas ia dapatkan tanggung jawab tersebut, ditambah lagi dengan harusnya ayahnya yang melindungi dia tapi malah menjadi pelaku kejadian tersebut, kata Suraiya.

"Menurut saya ini kejahatan yang sangat kejam, binatang aja nggak mungkin memangsa anaknya sendiri apalagi manusia yang diberi akal dan setelah melihat video testimoni dari anak ini ketika ditanya pandangan matanya mata luka, dengan air mata, dengan suara gemetar, ekspresinya sedih dan air mata bercucuran, suara terbata-bata dan suaranya terputus-putus," ucapnya saat diwawancarai Dialeksis.com, Selasa (25/05/2021).

"Saya nggak bisa membayangkan, nggak bisa saya ungkapkan, nggak punya kata-kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana, hanya bisa saya bayangkan berbagai macam rasa luka dialaminya," tambahnya.

Terus terang saja ia merasa agak aneh terkait tidak ada unsur bukti karena itu sudah diputuskan di Pengadilan Jantho dengan hukuman hampir 16 tahun.

Suraiya juga mengatakan, hakim atau jaksa di Jantho itu orang-orang yang profesional bukan orang yang bekerja sembarangan, mereka menangani bukan satu atau dua kasus. Kemudian ketika keputusannya dianggap tidak ada bukti, menurutnya sangat aneh.

"Biasanya yang ada dikurangi atau ditambah bukan ditiadakan sama sekali dan sampai sekarang saya belum bisa memahami bagaimana mereka mengatakan bahwa tidak ada bukti. Memang bukti apalagi yang dibutuhkan dalam kasus pemerkosaan. Harusnya kesaksian korban itu menjadi bukti yang sangat kuat," tegas Suraiya.

Anak ini mengatakan diancam menggunakan parang untuk tidak mengaku. Dan apabila ada pengakuan dari anak ini akan menjadi saksi yang sangat kuat. Tidak bisa dihapuskan begitu saja, ngak ada orang gila yang mengaku diperkosa apalagi anak kecil yang umurnya 8 tahun, bahkan tidak paham konsep pemerkosaan.

Suraiya juga menambahkan, anak ini belum paham isu seksualitas ya, belum mengerti, harusnya Undang-Undang (UU) yang dipakai itu UU perlindungan anak, ini yang paling utama, gagasan hukumnya dan bukan hukuman kepada pelaku, tetapi hak terhadap korban juga harus ada. Saat seperti inilah Pasal 49 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat itu digunakan.

"Advokasi yang utama adalah bagaimana memastikan kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah anak harus menggunakan UU perlindungan anak. Kedua saya pikir hakim itu harusnya punya hatilah. Keadilan itu harus betul-betul dimaknai dan Qanun Jinayat juga harus direvisi karena banyak kasus-kasus ketidakadilan kepada korban. Jangan sampai tunggu anak kita yang jadi korban baru kita percaya," tutupnya. [Au]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda