Beranda / Klik Setara / Krisdayanti, Politisi yang Menolak Lupa

Krisdayanti, Politisi yang Menolak Lupa

Jum`at, 01 Oktober 2021 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Abdullah Abdul Muthaleb

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pada bulan September tahun ini, publik semakin terbuka lebar matanya dengan pengakuan blak-blakan seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Ia adalah Krisdayanti, yang lazim disapa KD. Sang diva di belantara musik Indonesia yang kemudian "hijrah" ke dunia politik telah mengantarkannya ke parlemen. Pengakuannya secara terbuka itu mengundang reaksi macam rupa. 

Bagi sebagian orang atau kelompok, hal demikian bisa jadi dianggap sebagai peristiwa biasa saja. Bisa jadi pula dicerca karena dipandang sekedar ajang cari popularitas guna melambungkan namanya. Bisa saja itu motifnya, toh kita tidak pernah tahu pasti maksud di balik aksinya itu. 

Namun demikian, ketika seorang politisi perempuan muncul dan membuka tabir soal gaji dan tunjangan demi tunjangan yang diterima anggota parlemen, bentuk respon publik termasuk partai politik menjadi berbeda.

Apabila disimak kembali video tersebut, Krisdayanti sebenarnya bukan hanya bicara soal gaji dan fasilitas lainnya yang diterimanya sebagai anggota parlemen. Ia juga mengemukakan sejumlah pandangannya yang menarik untuk dicermati, sebagai politisi yang tidak berangkat dari kader murni partai. Dirinya bukan akademisi, pun juga bukan mantan aktivis. 

Dalam akun YouTube Akbar Faizal Uncensored yang diposting pada 13 September 2021 itu menjadi sumber viralnya peristiwa ini, diketahui jika Krisdayanti bukan anggota dewan biasa. Ia meraup suara terbanyak di Dapil yang diwakilinya. Inilah yang kemudian harus dibaca juga sebagai pataruhan bagi seorang Krisdayanti untuk menampilkan atraksi politik yang bukan hanya indah untuk disaksikan seperti menikmati lantunan lagu-lagu nan romantis. Tetapi juga bentuk lain dari keterbukaannya. Krisdayanti menolak lupa apa yang sudah seharusnya dikemukakan secara terang benderang.

Namun di sisi yang berbeda, publik dikejutkan ketika suara sang diva itu dianggap menimbulkaan kegaduhan. Krisdayanti kemudian dipanggil menghadap Fraksi PDI Perjuangan pada 17 September 2021. Dalam pertemuan itu, Utut Adianto selaku Ketua Fraksi menjelaskan maksud pertemuan itu untuk membahas seputar pernyataan sang diva yang dianggap telah membuat gaduh soal besaran gaji dan tunjangan anggota parlemen. 

Dalam sejumlah ulasan media, disebutkan bahwa petinggi fraksi partai itu hanya berdiskusi dan kemudian meminta Krisdayanti untuk memperbaiki komunikasi publik guna mencegah mispersepsi. Utut mengakui bila pernyataan Krisdayati dapat memicu kegaduhan, dan bisa menimbulkan persepsi tersendiri bagi kalangan masyarakat. Krisdayanti pun akhirnya minta maaf.

Pertanyaannya, salahkah seorang Krisdayanti? Sebenarnya tidak ada yang salah, meskipun dari sisi materi penyampaian ada yang belum semuanya terurai seperti dimaksudkan bahwa uang reses itu bukan diterima mutlak untuk anggota dewan (saya tidak menyebutkan wakil rakyat, karena memang secara faktual makin berjarak dengan suara dan kepentingan rakyat!). 

Oleh karena itu, ketika Krisdayanti dipanggil dengan alasan untuk berdiskusi, benarkah itu sekedar diskusi biasa untuk menyamakan persepsi? Atau bentuk lain dari peringatan kepada Krisdayanti yang semua itu dalam kacamata feminist bisa disebut wujud lain praktik yang diskriminatif? Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Utut Adianto yang secara tidak langsung dapat ditafsirkan wujud intimidasi, bukan?

"Tetapi saya juga bilang, bahwa ke depan itu jangan hilang karakternya, kritis tetap boleh, harus rajin. Singkat kata, dia juga meminta maaf kepada fraksi, karena dengan ini merepotkan banyak pihak dan DPR termasuk yang di-bully, intinya itu. Tapi tidak ada marah-memarahi, tidak ada. "Ya saya bilang, 'Kamu ini diva', kan dahulunya, kalau diva itu kan mengisi relung hati, kalau profesor-doktor mengisi kepala kita. Jadi intinya itu".

Secara singkat, apa yang dialami Krisdayanti tentu menggangu zona nyaman parlemen. Mentalitas anggota parlemen yang memang gerah sendiri karena rakyat lebih bisa membandingkan antara "upah" dan fasilitas yang terima dengan pengabdian kepada rakyat yang telah membayar dan memfasilitasi kehidupan mereka. Oleh sebab itu, tulisan ini dihadirkan untuk menjadi catatan di kemudian hari sehingga tidak menguap begitu saja. Bukan tulisan dari seorang pendukung apalagi membela mati-matian seorang Diva! Sebaliknya, tulisan ini sebagai penanda ketidaksetujuan segala bentuk pembukaman terhadap perempuan di parlemen. Siapa pun perempuan itu, dengan latar politik apa pun.

Berharap agar apa yang terjadi di balik peristiwa blak-blakan seorang Krisdayanti, dengan gayanya yang terkesan "tanpa beban" itu sebenarnya ada makna-makna lain yang harus diurai lebih nyata. Bagaimana perempuan politisi layaknya seorang anggota DPR RI itu diposisikan? Apakah hal demikian hanya akan terjadi dengan partai politik seperti PDI-P semata dan tidak akan terjadi di parlemen dengan tingkatan yang lebih rendah di provinsi dan kabupaten/kota? Atau jangan-jangan semua partai politik akan setali tiga uang, memperlakukan politisi perempuan hanya sekedar memenuhi kuota ketika musim Pemilu tiba?

Rakyat Membandingkan

Masyarakat pasti kaget meskipun dapat disebut kaget dengan kadar rendah. Krisis kepercayaaan yang akut terhadap parlemen saat ini menjadi salah satu penyebab rasa kaget itu tidak menjadi keheranan yang luar biasa. Meskipun demikian, pengakuan itu bisa menjadi langka di tengah kesibukan bangsa ini menghadapi pandemi yang tak kunjung usai. Ketika gaji dengan deretan fasilitas yang diterima setiap anggota DPR RI, salah satu aspek yang dibandingkan adalah persepsi publik terhadap kinerja parlemen yang buruk.

Temuan Transparency International (TI) Indonesia dalam "Global Corruption Barometer Asia 2020 Indonesia" menarik untuk dibaca ulang. Dalam laporan GCB 2020 ini, Indonesia memiliki responden terbanyak yang percaya bahwa parlemen (51%), pemerintah daerah (48%), pemerintah pusat (45%), dan kepolisian (33%) merupakan institusi paling korup selama satu tahun terakhir. Temuan parlemen sebagai lembaga terkorup ini juga sejalan dengan trend di tingkat Asia bahwa lembaga parlemen, birokrasi, dan kepolisian berturut-turut merupakan lembaga yang dipersepsikan paling korup di tahun 2020.

Di sudut berbeda, Lucius Karus dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyatakan pengakuan Krisdayanti tersebut juga membuat Formappi sendiri kaget. Bagaimana tidak, pengakuan sang Diva ini dipandang sebagai hal yang tidak lazim sehingga harus diapreasiasi. Lucius menyebutkan keberanian Krisdayanti bukan hanya membuat publik kaget, justru dengan anggaran sebesar itu publik dapat membandingkan antara anggaran yang diterima dengan kinerja DPR. 

Misalnya, Lucius mencontohkan, berbicara anggaran Rp 450 juta untuk penyerapan aspirasi atau apa pun istilahnya, tentu dalam konteks bagaimana anggota DPR menjalankan penyerapan aspirasi dari Dapil-nya itu. Tetapi Lucius mempertanyakan, seberapa banyak kebijakan yang lahir di DPR ini berdasarkan aspirasi masyarakat?

Komentar menarik juga dapat disimak dari pernyataan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI). Melalui Sekretaris Jenderal, Mike Verawati mengungkapkan bila dirinya tidak menampik jika keterbukaan penggajian anggota dewan selama ini memang masih simpang siur. Menurut Mike, publik sebagai pembayar pajak yang menjadi sumber dana gaji wakil rakyat pun, tak banyak bisa mengakses informasi soal ini.

 Terlebih, melihat respons partai politik dan parlemen terkait tindakan Krisdayanti itu cenderung masih dianggap tabu. Mike menilai, penyampaian Krisdayanti itu sebaiknya digunakan sebagai refleksi terkait kinerja parlemen sendiri dengan sejumlah fasilitas terbaik yang diberikan negara.

Mendadak Lupa

Setelah penyataan Krisdayanti bergulir, pro dan kontrak di tingkat elite politik hingga komunitas pun terjadi. Giliran Fahri Hamzah, mantan anggota DPR RI itu tampil bicara. Politisi yang dikenal vokal dan kini menjadi bagian dari pendiri Partai Gelora itu memberikan apreasiasi atas sikap Krisdayanti tersebut.

"Hikmah dari Krisdayanti harus kita dibongkar lebih dalam, jangan dibiarkan lewat begitu saja. Jadi Krisdayanti berjasa, jangan distop bicaranya," tegas Fahri saat diundang oleh Deddy Corbuzier. Podcast tersebut yang diposting pada 22 September 2021 itu, viewer-nya sudah mencapai lebih dari 2,9 juta pada saat tulisan ini dirampungkan.

Namun demikian, di sisi lain penulis dan mungkin juga Anda selaku pembaca akan merasa tidak percaya dengan pernyataan M. Nasir Djamil yang kemudian menjadi polemik. Dalam sesi wawancara sebuah stasiun televisi swasta, anggota DPR RI asal Aceh itu mengatakan tidak ingat lagi berapa gajinya sebagai anggota parlemen.

"Saya pribadi tidak pernah tahu sebenarnya berapa gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang diberikan kepada saya dan juga anggota DPR lainnya. Saya pribadi ya, saya tidak tahu. Kalau kegiatan-kegiatan seperti kunjungan ke daerah pemilihan, kemudian kunjungan reses, kemudian kunjungan kerja komisi, tentu itu ada tanda tangannya. Tapi gaji yang langsung diberikan ke rekening pribadi angggota DPR RI, itu tidak ada tanda tangan. Apakah itu gaji pokok, kemudian tunjangan-tunjangan lainnya, dan saya juga tidak pernah tahu, berapa, tidak pernah tahu dalam arti tidak pernah ingat, berapa gaji pokoknya, berapa tunjangan-tunjangannya. Mungkin karena sudah empat periode, jadi sudah tidak ingat lagi ".

Pada bagian yang lain, penjelasan M. Nasir Djamil terkait dengan pengelolaan dana reses bagi anggota DPR RI itu, justeru lebih clear. Besaran angka Rp 450 juta yang diterima lima kali dalam setahun seperti pernyataan Krisdayanti benar adanya meskipun penjelasan sang diva sebelumnya tidak sedetail uraian M. Nasir Djamil yang kemudian dipandang mengundang kegaduhan. Mengapa lebih detail, karena host mengejar informasi yang lebih dalam dibandingkan Akbar Faizal saat mewawancarai Krisdayanti. Belakangan Krisdayanti meluruskan ulang pernyataan itu.

Sebenarnya, polemiknya hanya satu hal saja yakni ketika publik merasa ada yang begitu ditutup-tutupi perkara besaran gaji. Bagi Anda yang selama ini mengikuti sepak terjang seorang M. Nasir Djamil akan membayangkan bagaimana patron berpolitik seorang M. Nasir Djamil dua puluh tahun yang lalu. Ia selalu tampil berbeda dengan mengendepankan semangat untuk terbuka kepada publik. Jika patron tersebut masih ada, pasti jawabannya soal besaran gaji itu tidak akan demikian. Sayangnya, ia memilih jalan lain dan tiba-tiba seperti mendadak lupa. Tentunya pernyataannya itu tidak sepenuhnya dikritik, tetap ada yang memberikan tanggapan positif dan mendukungnya dengan alasan masing-masing. Sebagai bagian dari berdemokrasi hal demikian adalah lumrah, berbeda pandangan atas aksi-aksi politisi di parlemen.

Namun, kita harus membayangkan bagaimana sikap publik jika yang berlaku mendadak lupa itu dilakukan oleh seorang perempuan anggota parlemen? Andaikan saja yang mendadak lupa itu dilakukan oleh Krisdayanti atau sebut saja oleh Illiza Sa’aduddin Djamal, mantap Walikota Banda Aceh yang kini juga menjadi anggota DPR RI, apa yang akan terjadi? Pastinya akan meriah jagat media massa, juga media sosial, membahas sikap mendadak lupa itu. Poin kunci di sini, bisa jadi bukan saja dirinya akan segera dipanggil layaknya Krisdayanti, tetapi akan penuh dengan hujatan yang seksis dan semuanya akan bermuara pada kritik terhadap gerakan politik perempuan dengan segala persepsi negatifnya.

Tetapi sekal lagi, karena yang mendadak lupa soal besaran gaji itu adalah seorang laki-laki, seorang M. Nasir Djamil yang merupakan legislator yang kerap sekali tampil menghisasi layar kaca dan media massa, dan juga politisi senior empat periode di DPR RI, maka hal demikian tidak begitu terjadi. Di sini rasa pemakluman sekaligus rasionalisasi sepertinya bekerja keras untuk memposisikan sikap mendadak lupa, paling tidak apa yang dilakukan sang politisi itu ada benarnya.

Berkaca pada polemik ini, akar masalahnya adalah keterbukaan alias transparansi yang dibangun parlemen! Ini baru bicara aspek transparansi belum bicara perkara akuntabilitas atas pengelolaan dana itu di luar gaji dan tunjangan. Sorotan publik seperti dana reses 450 juta dikalikan 5 kali dalam setahun, bagaimana publik bisa benar-benar memantau, mengawasi pengelolaan dana itu. Mungkin ini yang menjadi pesannya Fahri Hamzah, ambil hikmahnya dari pernyataan Krisdayanti. Lakukan pembenahan dimana DPR RI bersama Sekretariat-nya mesti memikirikan ulang apa yang harus dilakukan agar publik bisa lebih mudah mengawasi, memperoleh informasi sehingga polemik ini tidak lagi terulang.

Melawan Patriakhi

Parlemen kita baik di tingkat nasional hingga ke daerah wajahnya sama. Wajah maskulin yang hebohnya mencari kandidat perempuan tetapi setelah terpilih sebagai anggota parlemen, perlakuan terhadap perempuan politisi itu tidak selalu setara dengan laki-laki. Padahal, begitu sulit ia memutuskannya ketika ingin terjun ke dunia politik, dan kesulitan itu tidak berhenti di masa Pemilu semata tetapi kenyatannya terus bergulir hingga kursi diraihnya. Meminjam teorinya Walby (2014), maka posisi perempuan politisi itu harus menghadapi tembok patriarki di parlemen yang merupakan "patriarki publik". Meskipun bukan "patriarki privat" tetapi apa yang selama ini berkembang tidak bisa dilepaskan dari patriakhi yang diparktikkan anggota parlemen di ruang-ruang privat, maka kian menguat pula patriarhi publik di gedung parlemen.

Dalam kondisi demikian, menarik jika kita juga menyimak pandangan Feri Amsari (2019) terkait kenaikan jumlah kursi perempuan di parlemen. Ia menegaskan capaian tersebut akan sia-sia kalau para politisi perempuan tersebut tidak mendapat jabatan strategis pada pimpinan dan alat kelengkapan di parlemen Peneliti di Universitas Andalas tersebut menyatakan pula bila keterwakilan perempuan baru bisa berbunyi lebih kuat jika memang ketentuannya diberikan pada posisi-posisi kunci. Tidak jauh berbeda dengan Feri, Iim Halimatusa'diyah (2019) dalam risetnya menemukan bahwa selama kuota 30% tidak terpenuhi, maka tidak ada efek signifikan dari keterwakilan perempuan pada kesejahteraan perempuan. Selain memenuhi minimal 30% keterwakilan, peningkatan kualitas anggota legislatif perempuan juga harus didorong agar keterwakilan perempuan di parlemen memberi dampak yang signifikan.

Menurut Iim Halimatusa'diyah (2019), setidaknya ada tiga alasan mengapa tidak ada efek signifikan dari keterwakilan perempuan terhadap kebijakan yang mendukung perempuan yaitu (a) angka keterwakilan perempuan di parlemen. (b) perempuan di parlemen seringkali tidak berada di posisi strategis sebagai penentu kebijakan. Ia kembali mengutip data yang dirilis Puskapol UI menunjukkan bahwa sekitar 40% anggota parlemen perempuan tidak pernah terlibat dalam penyusunan anggaran. Ketidakterlibatan ini tidak selalu terkait dengan kualitas anggota perempuan, tapi karena kuatnya budaya patriarki. (c) secara personal, kualitas kandidat yang terpilih juga berpengaruh terhadap kinerja mereka. Banyak kandidat calon legislator perempuan yang terpilih adalah mereka yang memiliki hubungan kekerabatan atau kekuasaan rujukan (reference power) dengan elit politik, atau mereka yang sukses karena modal finansial dan popularitas semata.

Setuju atau tidak dengan pandangan di atas, publik sering sekali berpikir ketika perempuan sudah di parlemen maka akan dengan mudah baginya juga untuk berkiprah. Berharap kinerjanya akan maksimal tanpa melihat tantangan demi tantangan yang belum sepenuhnya selesai. Apabila terkait dengan kualitas, dengan orientasi sekedar memenuhi kuota, pasti partai politik lebih memperhitungkan siapa yang bisa diatur partai ketimbang memiliki kualifikasi jitu untuk menjadi seorang legislator. Di sisi lain, ketika kinerja anggota parlemen perempuan belum memuaskan publik, pertanyaannya yang sama: bagaimana dengan anggota parlemen laki-laki yang mayoritas? Berkali-kali musim Pemilu, mereka menguasai gedung parlemen, apakah kinerjanya juga sudah sangat memuaskan? Jawaban secara kasat mata, tentu masih jauh dari harapan.

Dalam polemik ini, ketika Krisdayanti, seorang pesohor yang blak-blakan maka keterbukaan itu dihubungkan dengan kepribadian dan gaya hidupnya. Lalu kemudian sistem partai bekerja, memangginya. Krisdayanti secara tidak langsung “dibungkam” haknya untuk bersuara menyatakan pendapatnya yang pendapat itu hanya seputar gaji, tunjangan dan fasilitas yang diterima anggota parlemen. Bisa dibayangkan, kalau seorang Krisdayanti berbicara hal yang lebih strategis dan berlawanan dengan arus kepentingan partai, apa yang akan terjadi? Ketika bersuara saja hal demikian, lalu bagaimana berharap partai politik legowo memberikan posisi strategis kepada perempuan di parlemen seperti yang dinyatakan oleh Feri Amsari? Padahal, perkara berbicara merupakan sebuah keniscayaan, sesuatu yang menjadi inheren dalam kerja-kerja seorang legislator. Saat kebebasan itu dicabut dengan dalih apa pun dan saat bersamaan kita menyatakan demokrasi di parlemen semakin berkualitas, bukankah itu sebuah ironi?

Seperti uraian sebelumnya, tulisan ini bisa jadi mengulas peristiwa yang sudah dilupakan publik. Sayangnya, ketika dilupakan maka tanpa disadari hal tersebut menjadi preseden buruk di masa mendatang dalam upaya memperkuat representasi politik perempuan di Indonesia. Apa yang dialami Krisdayanti bisa sangat mungkin selama ini juga terjadi di dalam parlemen, bukan hanya di nasional tetapi juga di daerah. Suara perempuan tidak mendapatkan tempat yang setara dengan laki-laki, konon lagi ketika mendapatkan tekanan dari partai. Semua partai politik berpeluang melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan terhadap Krisdayanti, hanya saja caranya yang mungkin saja berbeda. Tidak terbuka ke publik, tetapi pembungkaman terhadap sikap kritis anggota parlemen berjenis kelamin perempuan itu bisa saja terjadi, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Perspektif Perempuan

Belajar dari peristiwa ini ketika dihubungkan dengan politik, perempuan dan parlemen adalah bagaimana memastikan bahwa ketika perempuan menjadi politisi, ia tidak berhenti menjadi perempuan. Keperempuanan ini yang harus berada di tempat pertama, karena ia mengandung kekuatan intelektual dan potensi-potensi kreatif yang berbeda. Benar kemudian seperti yang dikemukakan Prof. Anna Tibaijuka (2002), Profesor dari Tanzania bahwa perempuan telah mencoba masuk dalam dunia politik dan berusaha bersikap seperti laki-laki. Hal demikian tidak akan berjalan. Menurutnya, anggota parlemen perempuan harus membawa perbedaan, emosi, cara melihat sesuatu, bahkan penelusuran terhadap segala proses yang terkait dengan kerja-kerja parlemen dengan lensa perempuan.

Mengacu pada pandangan tersebut, sudah seharusnya setiap anggota parlemen perempuan tetap memainkan gerakan politikya dengan perspektif perempuan, tanpa “harus menjadi laki-laki”. Bukan jenis kelaminnya, tetapi lebih pada sepak terjang politik yang pada umumnya memang maskulin. Dr. Wan Azizah (2002), politisi perempuan dari Malaysia pernah mengatakan bahwa perlu juga diingat untuk jangan hanya mempersoalkan bagaimana cara meningkatkan perwakilan perempuan di parlemen; yang lebih penting lagi adalah memberikan contoh dan pengalaman nyata bagaimana kaum perempuan dapat mempengaruhi proses politik pada saat mereka bekerja di dalam struktur parlemen.

Kembali pada polemik seorang Krisdayanti, secara tidak langsung memberikan kita pelajaran penting adanya tantangan mengubah wajah parlemen tetap tidak ringan. Dunia politik khususnya wajah parlemen kita masih merupakan bukan wilayah perempuan (no-woman’s land). Politik jangankan di tingkat nasional, pada level kampung pun masih tabu bagi perempuan. Artinya, gerakan perempuan dan pihak mana pun yang selama ini menjadi bagian dari barisan yang memperkuat representasi politik perempuan harus secara terus menerus merefleksikan capaian dan tantangan yang semakin dinamis, termasuk transformasi politik jika dihubungkan dengan isu kesetaraan. Berbicara blak-blakan saja bisa berbalik arah dan kemudian seolah-olah menjadi bersalah dan minta maaf. Sulit akhirnya kita membedakan antara politik yang santun dengan sikap meredam kebebasan setiap anggota parlemen untuk menggunakan haknya untuk bicara. Padahal haknya bicara itu dilindungi oleh undang-undang, bukan?

Bila itu kondisinya seperti Krisdayanti, apakah transformasi politik yang lebih berkeadilan gender sudah berada pada track yang benar dengan capaian yang positif? Bila di level nasional demikian, bagaimana kita bisa meyakini bahwa pengalaman senada tidak dialami oleh perempuan parlemen lainnya tingkat daerah, kabupaten/kota dan provinsi? Senyapnya suara anggota parlemen perempuan di tingkat lokal, apakah penanda pula jika arogansi patriakhi masih bercokol di dalam parlemen? Pastinya perlu diteliti lebih mendalam dan jika benar itu adanya maka patut direnungkan dan menjadi evaluasi kritis atas strategi perjuangan memperkuat representasi perempuan dalam ranah politik itu.

Atau jangan-jangan, transformasi politik menjelang abad ke-21 salah satunya ditandai oleh fenomena runtuhnya tatanan patriarki (the end of patriarchy) di berbagai belahan dunia seperti yang diutarakan Manuell Castells (1997) tidak berlaku bagi Indonesia? Menurut Castells, keruntuhan patriarki tersebut bukan semata-mata dalam pengertian tampilnya perempuan di wilayah publik mengimbangi dominasi laki-laki baik dalam jumlah maupun kapasitas, namun secara mendasar lebih mengarah pada perubahan fundamental formasi sosial politik dan budaya baik dalam ranah privat maupun publik yang menempatkan dominasi kaum laki-laki dalam pembagian kerja dan peran.

Terima kasih, Krisdayanti

Menutup tulisan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada seorang Krisdayanti! Terima kasih karena Anda dengan terbuka menolak untuk lupa. Penulis percaya, tidak mudah bagi seorang perempuan parlemen yang setelah blak-blakan itu, lalu tiba-tiba dipanggil dan kemudian meminta maaf dengan alasan tertentu. Sekali lagi, tidak mudah dan itu bukan sesuatu yang harus disesali.

Sebaliknya, penulis yakin bahwa publik masih berharap agar sang diva tidak kemudian memilih kalem dan menjadi anggota parlemen yang menutup kran informasi kepada masyarakat. Tidak pula peristiwa ini membangun rasa kekhawatiran apalagi ketakutan berle ibhan bagi setiap perempuan yang saat ini menjadi anggota parlemen saat ini di seluruh Indonesia untuk berani menyatakan pendapatnya. Dalam jangka panjang, apa yang dialami Krisdayanti tak pula menjadi preseden buruk dalam upaya memperkuat representasi perempuan dalam kancah politik.

Krisdayanti, sekali lagi terima kasih! Karena blak-blakan Anda itu kesadaran publik seperti terpanggil kembali bahwa mesti ada kontrol yang lebih kuat atas parlemen. Hal ini bukan hanya bagi anggota dewan laki-laki tetapi juga harus diarahkan dengan cara yang sama kepada anggota dewan perempuan. Bukan untuk saling mempertentangkan dan mencari jenis kelamin mana yang hebat menjadi anggota parlemen. Sama sekali bukan, tetapi cara demikian adalah wujud dari upaya menciptakan perpolitikan di parlemen yang lebih adil dan setara, tanpa diskriminasi. ***

Oleh: Abdullah Abdul Muthaleb

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda