Beranda / Klik Setara / Menyigi Partisipasi Perempuan dalam Struktur Pemerintahan Gampong

Menyigi Partisipasi Perempuan dalam Struktur Pemerintahan Gampong

Senin, 05 Juli 2021 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Abdullah Abdul Muthaleb. [Foto: Ist.]


Sebuah Refleksi dari Kota Banda Aceh

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sejarah Aceh tidak bisa dilepaskan dari kemajuan Islam dan kiprah perempuan didalamnya. Dr. Agustin Hanafi (2015) menjelaskan sejarah peradaban Aceh merupakan perpaduan Melayu dan Islam yang secara politik kaum perempuan turut berperan dalam pembangunan peradaban. Kepemimpinan empat Sultanah serta kepahlawanan tokoh perempuan Aceh telah menunjukkan hal tersebut. Aceh pernah berjaya dengan kerajaan Melayu-Islamnya yang diakui oleh dunia, dengan kaum perempuan yang hebat dan berkarakter kuat. 

Menurut Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh itu, budaya Aceh masa lalu tidak menjadikan perempuan pada posisi marginal, subordinat apalagi kelas dua. Ia menegaskan juga realitas saat ini menunjukkan bahwa selain tulisan-tulisan yang komprehensif tentang perempuan-perempuan Aceh masa lalu nampak kurang, juga tidak adanya perempuan - pada saat ini yang mampu berkiprah secara nyata dan menjadi tokoh dalam masyarakat seperti tokoh-tokoh perempuan Aceh dahulu. Padahal menurutnya, dalam era demokratisasi gender, kaum perempuan lebih dituntut untuk mampu menunjukkan perannya secara signifikan.

Pertanyaannya adalah bagaimana kita menarik benang merah tentang sejarah gemilangnya kepemimpinan perempuan Aceh tempoe doloe Aceh dengan kondisi perempuan saat ini? Pandangan Dr. Agustin Hanafi di atas ada benarnya, tetapi apakah dapat diterima dengan logis bahwa “tidak adanya perempuan - pada saat ini yang mampu berkiprah secara nyata dan menjadi tokoh dalam masyarakat seperti tokoh-tokoh perempuan Aceh dahulu?” Bila pun itu benar, bagaimana kita melihat tantangan yang dihadapi perempuan Aceh saat ini? Apakah kita akan melihatnya seperti pasar bebas dengan kaca mata kuda lalu menunggu di ujung landasan pacuan: siapa yang akan sampai di garis finish?

Tulisan ini bermaksud menyigi (menerangi, menyelidiki) sekaligus merefleksikan bagaimana sebenarnya saat ini kita membuka ruang sekaligus mengakui eksistensi perempuan Aceh dalam kehidupan di ranah publik. Keterlibatan di sini bukan pada jumlah perempuan di dalam forum rapat atau musyawarah dalam penentuan kebijakan pubik. Namun melihatnya pada ruang pengambilan keputusan yang perempuan diberikan akses untuk mengemban posisi penting sepertinya halnya laki-laki. Apakah kemudian kebanggaan kita dalam bercerita “Aceh dari dulu sudah maju dan memberikan peluang yang besar bagi kepemimpinan perempuan” masih relevan hingga saat ini? Jawabannya tidak perlu jauh-jauh hingga ke tingkat Pemerintahan Provinsi atau Kabupaten/Kota, karena urusannya akan berakhir pada debat kusir yang seringnya juga memasang kacamata kuda. Cukup kita melihatnya pada tataran lebih dekat, yakni Gampong kita. Benarkah keterlibatan perempuan di dalam struktur pemerintahan gampong sudah sangat ideal atau justru sebaliknya?

Dengan data yang ada, penulis akan menguraikannya bagaimana keterlibatan perempuan dalam ranah pengambilan keputusan di tingkat gampong di Kota Banda Aceh. Tulisan ini disarikan dari “Profil Gender Kota Banda Aceh Tahun 2020” yang diterbitkan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Banda Aceh. Penulis yang menjadi bagian dalam penyusunan dokumen tersebut memandang penting untuk menguraikannya di sini sehingga menjadi refleksi bersama dalam melihat partisipasi perempuan pada posisi pengambilan keputusan di tingkat gampong di Aceh, khususnya di Kota Banda Aceh.

Keucik

Pemerintah Gampong adalah Keuchik, Sekretaris Gampong beserta Perangkat Gampong lainnya yang memiliki tugas dalam penyelenggaraan Pemerintah Gampong. Data per 31 Desember 2019 menunjukkan bahwa terdapat 1.004 orang yang menjadi bagian dari Pemerintah Gampong di Kota Banda Aceh. Sebanyak 90 diantaranya sebagai Keuchik dan selebihnya merupakan Sekretasis Gampong, Kaur, Kasi Dan Ulee Jurong. Ada pun proporsi perempuan sebagai bagian dari Pemerintah Gampong pada tahun 2019 di Kota Banda Aceh sebesar 18,42%. Angka ini sangat kecil dibandingkan dengan keseluruhan jumlah perangkat gampong tersebut di Kota Banda Aceh.

Saat ini, hanya Gampong Cot Mesjid di Kecamatan Lhueng Bata yang keuchiknya perempuan. Adanya perempuan yang menjadi keuchik (perempuan keuchik) menjadi fenomena menarik. Mengapa demikian? Meskipun di Aceh sejarah mencatat begitu strategisnya perempuan dalam kancah politik dan pemerintahan, dari peran di medan perang hingga menjadi seorang Sultanah. Tetapi dalam konteks kekinian, menjadi seorang keuchik saja, tantangan seorang perempuan di Aceh menjadi begitu kuat. Tidak mudah bagi perempuan diterima keberadaannya untuk tampil menjadi pemimpin di gampong. Padahal Aceh sebagai daerah modal memiliki sejarah panjang bagaimana perempuan telah memainkan peran pentingnya dalam ranah publik. Ibaratnya, cerita masa lalunya kita ukir dengan tinta emas. namun dalam realitasnya di masa modern ini “ dengan sosial budaya yang diperkuat dengan tafisaran agama yang misoginis - menyebabkan tidak mudahnya bagi perempuan untuk tampil dalam posisi strategis, di tingkat gampong sekali pun.

Keterlibatan perempuan dalam struktur Pemerintah Gampong memang sangat dinamis. Dengan total 184 orang perempuan dan dibagi rata per gampong di Kota Banda Aceh maka hanya ada 2,04 perempuan per gampong. Padahal dalam satu gampong rata-rata terdiri dari 10 orang perangkat gampong. Artinya, jika mengacu pada kebijakan afirmasi selama ini, keterlibatan perempaun dalam perangkat gampong masih jauh dari harapan. Kemudian, apabila dilihat dari sebaran perempuan yang menjadi bagian perangkat gampong, tingkat partisipasinya berbeda antara satu kecamatan dengan kecamatan lainnya. Prosentase tingkat partisipasi perempuan tertinggi berada di Kecamatan Kuta Alam sebesar 26,92% dan terendah di Kecamatan Meuraxa sebesar 11,93%. Sangat besar kemungkinan perbedaan antara kecamatan tersebut, salah satu aspek kuncinya tergantung pada tingkat inklusifitas masyarakat terhadap perempuan.

Sekilas tergambar bawah rendahnya tingkat partisipasi tersebut karena dua hal pokok yaitu: (a) karena di setiap gampong yang ada partisipasi perempuan sebagai bagian dari perangkat gampong jumlahnya juga masih terbatas; (b) masih banyak gampong yang memang sama sekali tidak ada perempuan yang terlibat menjadi bagian perangkat gampong. Hal ini belum lagi kita melihatnya dari perspektif budaya dan tafsiran agama yang makin mempersempit ruang perempuan untuk berpartisipasi. Dengan demikian, tidak mengherankan masih ada sebanyak sembilan gampong yang sama sekali tidak ada perempuan dalam sruktur pemerintahannya. Dalam situasi demikian, bagaimana kita bersikap?

Sekretaris, Kaur dan Kasi Perempuan

Pada tahun 2019, terdapat 14 gampong yang sekretarisnya perempuan. Rata-rata perempuan yang dipercayakan sebagai Sekretaris Gampong ini berusia 36 tahun. Lagi. Lagi, Kecamatan Kuta Alam menduduki posisi tertinggi prosentase perempuan yang menjadi sekretarias gampong, yakni mencapi 54,55% dari total gampong di kecamatan tersebut. Urutan kedua yakni Kecamatan Kuta Raja, 33,33% gampong di wilayah tersebut sekretarisnya perempuan. Bagaimana dengan posisi Kaur? Data menunjukkan tidak kurang dari 137 perempuan tersebar di sebagian besar gampong menjadi Kaur dalam struktur pemerintah gampong. Kaur tersebut terdiri dari Kaur Pemerintahan, Kaur Kesejahteraan, Kaur Pelayanan, Kaur Umum dan Perencanaan, dan Kaur Keuangan.


Posisi perempuan dalam pemerintahan dominan pada jabatan Kaur Keuangan sedangkan angka paling rendah pada posisi Kasi Kesejahteraan. Di sini dapat dilihat kentalnya sterotype atau pelabelan yang masih berlaku di tengah masyarakat jika urusan keuangan maka perempuan sepertinya dipandang lebih teliti dalam pengelolaannya. Angka 46 ini menunjukkan jika lebih dari 51,1% gampong di Kota Banda Aceh, Kaur Keuangan di gampong adalah perempuan. Sedangkan Kaur Umum dan Perencanaan (39 gampong dijabat perempuan), Kasi Pemerintahan (35 gampong dijabat perempuan), Kasi Pelayanan (30 gampong dijabat perempuan), dan paling rendah adalah Kasi Kesejahteraan, hanya 10 Gampong yang Kasi-nya perempuan. Jika angka ini dikalkulasikan maka terdapat 5 jabatan x 90 gampong = 450 jabatan. Dengan demikian, proporsi perempuan dalam kelima jabatan tersebut di Kota Banda Aceh mencapai 35,5%. Dengan data tersebut, terlihat pula adanya kecenderungan partisipasi perempuan dalam jabatan di pemerintahan gampong akan semakin tinggi jika posisi Sekretaris Gampong adalah perempuan.

Kaur Keuangan menjadi posisi paling dominan partisipasi perempuan dalam struktur pemerintahan gampong, diikuti kemudian posisi Kaur Pemerintahan, dan Kaur Umum dan Perencanaan diurutan ketiga. Menarik untuk dianalisis mengapa demikian? Sangat memungkinkan terjadi salah satu asumsinya adalah faktor ketelitian dalam pengelolaan keuangan yang diperlukan, yang selama ini dilabelkan kepada perempuan yang dianggap lebih teliti sekaligus bertanggungjawab dalam pengelolaan anggaran gampong. Akan tetapi, apakah ada faktor lain atau pelabelan tersebut cukup kuat argumentasinya tentu diperlukan riset lanjutan sehingga diketahui faktor apa saja yang menentukan di dalam penyusunan “kabinet” pemerintah gampong tersebut. Berbeda dengan jabatan Ulee Jurong, pada tahun 2019 hanya ada 3 perempuan yang menjadi Ulee Jurong di Kota Banda Aceh.

Tuha Peuet Gampong

Munawiah dan Kamaliah (2017) menjelaskan bahwa sejak zaman kejayaan Kesultanan Iskandar Muda, gampong- gampong di Aceh telah mengenal adanya Tuha Peut. Tuha Peut merupakan lembaga adat dan lembaga Pemerintah Gampong. Saat ini, Tuha Peut gampong kembali diakui dan memiliki peranan penting di Pemerintahan Gampong dengan posisinya sebagai salah satu unsur dalam penyelenggara pemerintahan gampong. Istilah lain tuha peut gampong, adalah badan permusyawaratan gampong, yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan gampong dan menyalurkan aspirasi masyarakat setempat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggara pemerintahan gampong.

Dalam Qanun Kota Banda Aceh Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pemerintahan Gampong disebutkan bahwa Tuha Peuet Gampong adalah unsur pemerintahan gampong yang berfungsi sebagai badan permusyawaratan gampong. Tuha Peuet Gampong berkedudukan tersebut sebagai unsur penyelenggara pemerintahan gampong. Merujuk pada Qanun tersebut, Tuha Peuet Gampong mempunyai fungsi untuk: (a) membahas dan menyepakati Rancangan Reusam Gampong bersama Keuchik; (b) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat gampong; (c) melakukan pengawasan kinerja Keuchik; dan (d) penyelesaian sengketa masyarakat secara adat bersama Keuchik dan perangkat adat lainnya.

Tuha Peuet Gampong mempunyai 13 tugas pokok. Tugas tersebut yaitu: menggali aspirasi masyarakat; menampung aspirasi masyarakat; mengelola aspirasi masyarakat; menyalurkan aspirasi masyarakat; menyelenggarakan musyawarah Tuha Peuet Gampong; menyelenggarakan musyawarah gampong; membentuk panitia pemilihan Keuchik; menyelenggarakan musyawarah gampong khusus untuk pemilihan keuchik antar waktu; membahas dan menyepakati rancangan Reusam Gampong bersama Keuchik; melaksanakan pengawasan terhadap kinerja Keuchik; melakukan evaluasi laporan keterangan penyelenggaraan Pemerintahan Gampong; menciptakan hubungan kerja yang harmonis dengan Pemerintah Gampong dan lembaga Gampong lainnya; dan melaksanakan tugas lain yang diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang“undangan.

Berdasarkan data DPMG Kota Banda Aceh, per 31 Desember 2019 diketahui bahwa total Tuha Peuet mencapai 751 orang dengan rincian 676 laki-laki dan selebihnya sebanyak 75 perempuan. Dengan demikian, rata-rata perempuan dalam struktur Tuha Peuet Gampong pada tahun 2019 mencapai 0,8 orang per gampong. Tidak sampai 1 orang per gampong mengingat ada banyak gampong di Kota Banda Aceh tanpa perempuan sebagai Tuha Peuet. Dari 90 gampong, terdapat 37 gampong tanpa perempuan dalam struktur Tuha Peuet Gampong. Tentu ini angka yang sangat besar dengan jumlah 304 orang Tuha Peuet dari 37 gampong tersebut, atau mencapi 40,48% dari total 751 Tuha Peuet di Kota Banda Aceh. Pada sisi lain maka dari 90 gampong di Kota Banda Aceh, hanya 53 gampong yang didalamnya terdapat perempuan dalam struktur Tuha Peuet Gampong tersebut. Akan tetapi, proporsi perempuan sangat kecil dibandingkan jumlah keseluruhan Tuha Peuet di gampong tersebut.


Fauzi Abubakar (2015) menjelaskan bahwa membicarakan peran perempuan dalam hal ini terkait dengan sistem sosial budaya di Aceh yang didominasi oleh sistem patriarki. Adat dan budaya ini menjadi panduan bagi masyarakat untuk berperilaku sehari-hari yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan mendarah daging membentuk cara berpikir. Sehingga masih ditemui adanya pembatasan terhadap perempuan yang diawali dari stereotipe (pelabelan) dan subordinasi (penomorduaan). Di sektor domestik apalagi di sektor publik, perempuan seringkali dianggap tidak memiliki kekuatan yang sama dengan laki-laki dalam melakukan sesuatu hal. Apa yang dihasilkan perempuan tetap saja diberi label hanya sebagai sambilan. Subordinasi dan stereotype ini menyebabkan perempuan berada pada posisi yang sangat lemah sebagai pengambil keputusan.

Padahal menurutnya, jika dilihat dari aspek hukum adat, perempuan dipandang sebagai subjectum yuris (badan hukum) yang memiliki hak hukum pribadi sehingga mempunyai kecakapan berhak dan dengan demikian juga memiliki kecakapan bertindak. Sedangkan dalam lembaga Tuha Peut perempuan dapat berperan untuk menjadi tokoh fungsional/pendamping perangkat Gampong dan dalam lembaga-lembaga adat lainnya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Artinya ada akses dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk berperan dalam lembaga ini. Keterlibatan perempuan dalam lembaga Tuha Peut menunjukkan sudah mulai terjadi peningkatan terhadap posisi perempuan dalam pandangan sosial budaya.

 Keberadaan Tuha Peuet perempuan itu penting sekali. Munawiah dan Kamaliah (2017) menjelaskan bahwa Tuha Peut gampong sebagai badan legislatif gampong, setiap kebijakan diambil berdasarkan hasil musyarakah lembaga Tuha Peut. Keterlibatan perempuan dalam lembaga Tuha Peut gampong, memberikan ruang bagi perempuan di Kecamatan Meureudu untuk mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki dalam setiap kebijakan yang diambi. Baik dari sisi pembuatan peraturan gampong, pembangunan insfratruktur gampong, peningkatan ekonomi, kegiatan sosil kemasyarakatan, pelestarian adat istiadat, dan lain sebagainya

Fauzi Abubakar (2015) dalam penelitiannya di Kota Lhokseumawe tersebut menunjukkan bahwa perempuan sebagai anggota Tuha Peut sama seperti laki-laki memiliki peran dalam memberikan masukan, saran, dan pemikiran kepada Keuchik dalam penyusunan rancangan Reusam Gampong pelaksanaan Syari’at Islam misalnya. Apabila terjadi konflik atau sengketa dalam masyarakat yang berkaitan dengan syari’at Islam dapat diselesaikan secara hukum atau adat istiadat yang berlaku dalam Gampong setempat. Dalam merumuskan Reusam Gampong harus memperhatikan kebutuhan dan kondisi sosial, budaya, adat istiadat dan kearifan lokal guna menghindari terjadinya konflik dalam Gampong yang bersangkutan. Demokratisasi Gampong memberi ruang yang luas bagi perempuan untuk berperan dalam menjalankan kewenangan Tuha Peut sebagai lembaga Pemerintahan Gampong. Menurutnya, di sinilah peran perempuan sangat penting dalam menentukan kebijakan yang berkeadilan gender.

Hilangnya Kata “Gender” Dalam Regulasi

Jika dibandingkan antara Qanun Kota Banda Aceh Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Pemerintahan Gampong dengan UU Nomor Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa khususnya pada klausul “Kewajiban Kepala Desa” atau “Kewajiban Keuchik” terdapat dua hal yang menarik. Pertama, sebuah kekhususan di atur dalam Qanun yaitu “menjalankan dan menegakkan syariat islam di Gampong”, sebuah kewajiban yang tidak diatur dalam UU Desa. Tentu ini hal positif sebagai bagian dari keistimewaan lokal yang menerapkan Syariat Islam. Kedua, dalam UU Desa, salah satu kewajiban Kepala Desa adalah “melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender”, sedangkan pengaturan dalam Qanun redaksinya diubah menjadi “melaksanakan kehidupan demokrasi yang berkeadilan”.

Hilangnya satu kata “gender” dalam Qanun tersebut kesannya memang tidak ada persoalan. Akan tetapi, sebenarnya ini hal demikian tidak selaras dengan semangat Pemerintah Kota Banda Aceh yang sejak awal sudah mencanangkan kehidupan yang berkeadilan gender. Dalam penjelasan visi Kota Banda Aceh Tahun 2017-2022, Banda Aceh sebagai Kota Gemilang yang ingin dicapai adalah menjadikan Kota Banda Aceh yang termasyhur dan terpandang dalam 3 pilar utama yaitu agama, ekonomi, dan pendidikan, menuju kejayaan dengan memperhatikan keadilan gender. Sekali lagi, hilangnya satu kata “gender” sangat dimungkinkan karena pemahaman yang keliru tanpa ada penjelasan yang komprehensif kepada para pihak yang teribat dalam penyusunan regulasi tersebut.

Adopsi UU Desa ke dalam Qanun Pemerintahan Gampong, semua ketentuan terkait kewajiban kepala desa (keuchik-red) semuanya di“copypaste’kan, kecuali kata “gender” yang dihilangkan. Atau boleh jadi karena sikap resistensi para pihak yang terlibat dalam penyusunan Qanun ini tanpa melihat konsepnya secara benar. Padahal, kata “berkeadilan dengan “berkeadilan gender” itu sangat jauh bedanya. Berkeadilan itu bisa saja netral gender, tidak melihat perbedaan pengalaman, kebutuhan, aspiraasi dan permasalahan yang berbeda-beda antara satu warga kota dengan warga kota lainnya, antara laki-laki dan perempuan, antara warga kota yang normal dengan kelompok rentan lainnya seperti penyadang disabilitas dan lansia. Perbedaan-perbedaan demikian adanya pada upaya membangun keadilan yang memperhatikan aspek gender atau dalam regulasi ini dikenal dengan “berkeadilan gender”.

Refleksi: Angka Saja Masih Susah

Negara mengatur dan menjamin akses untuk perempuan terlibat dalam penyelenggaran pemerintahan dan pembangunan di tingkat gampong. Perlunya keterlibatan perempuan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembagunan termasuk di tingkat gampong tersebut bukan upaya untuk “melawan dan menggantikan laki-laki”, bukan pula untuk menguasai gampong. Anggapan keliru ini menjadi tantangan hingga saat ini, konon lagi kalau sudah pada aspek kapasitas atau kemampuan.

Sering terdengar, “Silahkan perempuan terlibat dalam struktur gampong, silahkan juga menjadi keuchik tetapi ingat semua itu perlu kemaampuan, perlu kapasitas yang baik”. Pertanyaannya, apakah pernyataan demikian juga dialamatkan kepada laki-laki? Siapa pun laki-laki yang mau menjadi “pejabat” di gampong pada berbagai posisi itu juga ditagih dengan hal serupa? Nyatanya tidak bukan? Bahkan tidak jarang kita melihat laki-laki yang mengembang jabatan itu nyatanya juga hanya sekedar simbol belaka? Situasi demikian harus jujur kita akui bahwa tatanan masyarakat kita yang belum memperlakukan secara adil terhadap manusia dengan jenis kelamin yang berbeda ini. Bersikap serba menerima keadaaan laki-laki tanpa syarat, sebaliknya selalu mempertanyakan kapasitas perempuan jika ingin tampil di ruang publik.

Meskipun secara angka masih terbatas (bukan hanya di level gampong, tingkat provinsi bahwa nasional juga demikian) bukan berarti serta merta pula dapat menyimpulkan “tidak adanya perempuan - pada saat ini yang mampu berkiprah secara nyata dan menjadi tokoh dalam masyarakat seperti tokoh-tokoh perempuan Aceh dahulu, padahal dalam era demokratisasi gender, kaum perempuan lebih dituntut untuk mampu menunjukkan perannya secara signifikan”. Lagi-lagi kesimpulan Dr. Agusti Hanafi itu sepertinya terlalu menyederhanakan masalah. Banyak perempuan di Aceh saat ini, termasuk di birokrasi yang punya kredibilitas dan kapasitas yang baik, tetapi apakah mereka diakui? Atau perempuan yang hebat itu harus seperti Sultanah, seperti Cut Nyak Dhien dan Laksamana Malahayati? Bukankah setiap era kehidupan dengan tantangan zaman yang berbeda, maka kiprah tokoh perempuan menjadi lebih beragam? Tetapi lagi-lagi ini perspoalannya bukan tidak ada orangnya tetapi pengakuan sosial kita yang memang patriakhis. Kita berharap perempuan sekarang ketokohannya layaknya Sulthanah tetapi tidak pernah menggugat apakah para lelaki yang memimpin sekarang sudah layaknya Sultan?

Semuanya dilihat dari sudut padang laki-laki sebagai simbol ketokohan. Bukankah kondisi yang sama juga terjadi di kampus, yang notabenenya punya kapasitas akademik yang memadai? Oleh sebab itu, sekali lagi, kita tidak bisa serta merta menyebut bahwa “tidak adanya perempuan-pada saat ini yang mampu berkiprah secara nyata dan menjadi tokoh dalam masyarakat seperti tokoh-tokoh perempuan Aceh dahulu” karena laki-laki yang mayoritas tampil dalam ranah pengambilan keputusan di ruang publik pun saat ini juga tidak setara dengan Raja Iskandar Muda, dan para lelaki hebat lainnya di masa dulu bukan? Bagaimana berharap perempuan lebih maju jika masih ada anggapan seperti dinyatakan Dr. Agustin Hanafi sendiri bahwa “salah satu tugas utama perempuan adalah mendidik anak-anaknya karena memiliki sifat keibuan yang luar biasa” terus diproduksi hingga saat ini?

Pertanyaannya kemudian, benarkah mendidik anak itu tanggungjawab mutlak seorang perempuan - isteri, bukan menjadi tanggung jawab bersama dengan suami di dalam keluarganya? Apabila hal-hal domestik tidak didorong untuk menjadi tanggung jawab bersama (kecuali: menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui yang menjadi kodrat perempuan) maka akses yang sudah dibuka dan dijamin oleh negara bagi perempuan untuk terlibat dalam ruang-ruang publik, termasuk di tingkat Gampong, menjadi kehilangan maknanya, bukan?

Salah satu pangkal kekeliruan kita adalah selalu melihat perempuan dari sisi “jenis kelaminnya perempuan” belaka. Seharusya kita harus melihat perempuan dari sisi yang berbeda: bagaimana perempuan itu dikonstruksikan oleh masyarakat? Bagaimana ia ditempatkan dalam cara berpikir masyarakat, apakah sudah sesuai dengan konteksnya atau malah memperkuat diskriminasi yang semakin membuat perempuan terpuruk? Dengan cara demikian, yang lahir tidak lain kecuali cara pikir kita hingga kebijakan negara yang bersadar pada ”kasihan perempuan” bukan berbasis pada hak perempuan yang sudah semestinya ia terima sebagai makluk ciptaan Tuhan, sama halnya dengan laki-laki.

Sebenarnya, dalam tulisannya “Peran Perempuan dalam Islam” yang diterbitkan dalam Jurnal Gender Equality: Internasional Journal of Child and Gender Studies, PSGA UIN Ar Raniry tersebut, Dr. Agustin Hanafi sudah menguraikannya dengan terang benderang bahwa terjadinya peminggiran peran dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan disebabkan oleh beberapa alasan, faktor yang paling utama adalah konstruksi budaya yang telah mengkristal dalam masyarakat. Selain itu, budaya patriarkhi yang bersifat androsentris turut dipahami sebagai sebuah dogma yang dijustifikasi dengan pemahaman agama oleh sebagian pemikir Islam. Sejumlah ayat al-Qur?an dan hadis-hadis Nabi ditafsirkan secara misogonis (menyudutkan perempuan) yang mempertajam persepsi yang keliru terhadap eksistensi perempuan. Hal demikian pada tataran teori bahwa agama mengajarkan kesetaraan, namun dalam praktik tidak selalu diikuti orang. Itulah kemudian yang selalu diteriakkan perlunya penghargaan yang sama akibat kita hanya melihat pada level teks, tapi bukan pada praktik. Dan apa yang kita lihat, menurutnya kadangkala memang mengenaskan.

Ulasan tersebut sudah tepat sekali, tetapi penulis melihat sepertinya ada yang tidak sinkron antara konseptual, cara berpikir dan kesimpulan yang dibangun oleh Dr. Agustin Hanafi. Satu sisi beliau menyuguhkan ragam faktor penyebabnya yang sangat mengena dengan fakta selama ini, namun konklusi yang dibangun menjadi berjarak dengan kondisi yang selama ini dihadapi oleh perempuan. Di sisi yang lain, seolah-olah sama sekali juga tidak ada perempuan yang pantas dan layak untuk tampil karena yang dibayangkan adalah perempuan-perempuan hebat era kejayaaan Aceh masa lalu. Padahal para lelaki yang mayoritas tampil di ranah jabatan publik selama ini pun tak pernah dipertanyakan, apakah mereka sudah sehebat para lelaki yang menjalankan amanat di era jayanya Aceh tempoe doloe?

Afirmasi saja Tidak Cukup

Berkaca pada situasi di Kota Banda Aceh dengan partisipasi perempuan di tingkat gampong yang masih rendah ini, bagaimana dengan kabupaten/kota lainnya di Aceh? Jawaban pastinya memang harus kita cek kembali data di masing-masing daerah. Tetapi penulis meyakini bahwa ada kecenderungan angkanya bisa lebih rendah. Jika pun lebih besar, angka itu tidak akan jauh dari posisi di Banda Aceh saat ini. Dengan demikian, bukan sekedar kebijakan afirmasi yang diperlukan, bukan lagi sebatas musyawarah khusus bagi perempuan ala Musrena yang diharapkan. Lebih jauh dari itu adalah bagaimana mendorong adanya perubahan sosial budaya dan tumbuhnya semangat ber-Islam yang lebih menyejukkan sehingga penerimaan posisi perempuan di ruang-ruang publik menjadi lebih baik. Tidak ada lagi penolakan dengan berbagai dalih yang tidak sehat.

Mesti ada upaya yang serius mengubah situasi tersebut sehingga yang didorong bukan sebatas peningkatan kapasitas perempuan seperti yang selama ini digalakkan oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh melalui dinas yang mengurusi pemberdayaan perempuan. Akan tetapi, bagaimana penerimaan sosial-keagamaan juga perlu dikritisi dan dicarikan solusinya yang tentunya mesti kerja lintas sektor. Karena dua hal tersebut (yang sifatnya berkelindan) sangat menggelisahkan dan bahkan menjadi alasan mengapa banyak perempuan yang memilih tidak berada dalam struktur pemerintahan. Jangankan pada level lebih tinggi, menjadi seorang keuchik saja begitu beratnya beban psikologis yang ia terima padahal kapasitasnya di atas rata-rata.

Karena perempuan adalah pasangan kehidupan bagi laki-laki, maka segala upaya untuk membangun kehidupan yang adil bagi keduanya adalah cara yang elegan dalam membangun peradaban yang lebih baik. Islam sudah membebaskan perempuan dari segala tindakan diskriminatif. Tugas kita kemudian adalah memastikan lingkungan keluarga, tatanan masyarakat dan cara kita beragama yang benar-benar memandang dan menempatkan perempuan dan laki-laki pada posisi setara dalam tatanan kehidupan sosial, termasuk dalam penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan.[*]

Penulis: Abdullah Abdul Muthaleb

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda