Beranda / Klik Setara / Berharap Keadilan dari Gedung Adhyaksa?

Berharap Keadilan dari Gedung Adhyaksa?

Rabu, 24 Maret 2021 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Catatan Kritis atas Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana

Oleh: Abdullah Abdul Muthaleb

“Bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional tanggal 8 Maret 2021, saya ucapkan selamat atas terbitnya Pedoman Kejaksaan RI Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan Dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana, semoga dapat memberikan kontribusi positif bagi pembangunan hukum nasional dan bermanfaat bagi para peserta sekalian dalam melaksanakan tugas dan pengabdian bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.”

Itulah pernyataan Dr. ST. Burhanuddin, SH. MH selaku Jaksa Agung mengakhiri sambutannya saat peluncuran Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana sebagaimana tertulis dalam siaran pers Nomor: PR“203/38/K.3/Kph.3/03/2021.

Dengan adanya Pedoman tersebut diharapkan menjadi acuan bagi Jaksa dalam menangani perkara pidana yang melibatkan perempuan dan anak baik sebagai Pelaku, Korban, maupun Saksi.

Pedoman tersebut lahir hasil kerja kolaborasi antara Kejaksaan Agung RI (Kejagung RI) dengan Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2), USAID Empowering Access to Justice (USAID-MAJU), Rutgers WPF Indonesia, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS). Pada 21 Januari 2021, Pedoman tersebut ditandatangi Kejagung RI dan secara seremonial diluncurkan pada 8 Maret 2021 lalu.

Terlepas dari upaya merespon permasalahan yang seringkali dihadapi Jaksa/Penuntut Umum dalam menangani perkara perempuan dan anak, lahirnya pedoman ini memberikan angin segar sekaligus harapan baru dalam pemenuhan rasa keadilan bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum di Indonesia.

Lahirnya Pedoman ini selaras juga dengan salah salah satu Prinsip Dasar Pembangunan Nasional sebagaimana tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yakni Menjamin Keadilan. Prinsip tersebut diwujudkan melalui upaya (a) menjamin akses dan kesempatan yang sama bagi seluruh masyarakat tanpa diskriminasi untuk berpartisipasi seluas-luasnya dalam pembangunan dan mendapatkan manfaatnya;

(b) menjamin akses dan kesempatan yang sama bagi seluruh masyarakat tanpa diskriminasi untuk berpartisipasi seluasluasnya dalam pembangunan dan mendapatkan manfaatnya; dan (c) menumbuhkan kepercayaan dan tanggung jawab antar pelaku pembangunan agar tercipta pembangunan ekonomi yang berkualitas dan inklusif.

Nah, setelah Pedoman baru ini diluncurkan, bagaimana kita harus memaknainya: semakin optimis atau masih sebaliknya? Adakah implikasi khusus atau seperti apa institusi Kejaksaan harus mensikapinya sehingga keberadaan Pedoman tidak menjadi sekedar dokumen?

Tulisan ini bukan hanya akan menguraikan cuplikan umum apa saja yang dimuat didalamnya tetapi juga akan menyajikan analisis kritis sehingga akan memberikan sudut pandang yang berbeda dalam melihat Pedoman tersebut.

Kejaksaan dan Kesetaraan Gender

Kejaksaan RI merupakan salah satu institusi negara yang juga menerima perintah dari Presiden RI melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.

Menindaklanjuti Inpres tersebut, Jaksa Agung saat itu yakni H. MA. Rachman, S.H kemudian menerbitkan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-680/JA/XI/2001 Tentang Pengarusutamaan Gender Di Lingkungan Kejaksaan RI.

Dengan demikian, lahirnya Pedoman ini terlepas dari apresiasi yang harus diberikan ke Gedung Adhyaksa, sebenarnya bukan sesuatu yang sangat wah juga! Karena memang sudah semestinya dilakukan oleh Kejaksaan Agung.

Mengapa? Karena itulah salah satu bagian dari pelaksanaan Inpres Nomor 9 Tahun 2000, yang malah bila tidak didorong oleh banyak kalangan dari ekternal, siapa pun punya keyakinan yang sama, Pedoman ini bisa saja belum lahir juga saat ini. Meskipun sebelumnya juga sudah pernah diterbitkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-007/A/JA/11/2011 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan.

Perempuan dan Anak Berhadapan Dengan Hukum

Supanto (2004) menyebutkan bahwa aparat penegak hukum bekerjanya cenderung mendasarkan pada pemikiran yuridis normatif yang logis dan sistematis dalam arti sempit, tetapi belum memanfaatkan metode yuridis dalam arti luas yang mengaitkan aspek sosial kemasyarakatan, khususnya penyetaraan gender sehingga kasus pelecehan seksual hanya dilihat sebagai pelanggaran kepentingan pribadi dan ditindak untuk menjaga ketertiban.

Hal ini relevan dengan pandangan Barnet (1997) yang menjelaskan bahwa dalam pandangan Feminist Legal Theory, hukum dipandang sebagai produk patriarki. Hukum tersebut dibuat oleh laki-laki dan untuk laki-laki sehingga ketika perempuan menjadi korban dalam proses hukumnya terdapat bias gender yang tercermin dalam putusan hukum, misalnya.

Lebih jauh dijelaskan oleh Barnet, dalam persidangan misalnya, ketika laki-laki menjadi pelaku, maka pertanyaan yang diajukan kepada korban adalah pertanyaan mengenai gaya hidup dan personality korban itu sendiri, pertanyaan yang mengasumsikan pelaku laki-laki tidak bersalah.

Bestha Inatsan Ashila (2021) dari Research Associate dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menyebutkan bahwa perempuan memiliki kecenderungan menjadi korban suatu tindak pidana sebanyak enam kali dibandingkan lelaki. Di sisi lain, sebesar 70 persen korban perdagangan orang di indonesia adalah perempuan dan anak-anak.

Diperkirakan juga 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya. Sedikitnya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap hari dengan kecenderungan usia korban yang semakin muda. Kita juga dihadapkan pada data bahwa 66,7 persen korban kekerasan seksual adalah perempuan.

Bestha menjelaskan sejumlah permasalahan yang dihadapi perempuan dan anak saat berhadapan dengan hukum. Permasalahan tersebut seperti (a) belum optimalnya implementasi pidana tambahan dalam UU PKDRT; (b) adanya stereotip, victim blaming dan reviktimisasi pada korban;

(c) APH belum memberikan pertimbangan mengenai dampak psikis; (d) belum semua PBH mendapatkan pendampingan, (e) Korban tidak melaporkan perkara ke jalur hukum; (f) pemidanaan masih fokus pada pemenjaraan pelaku; dan (g) kesulitan menghadirkan alat bukti dan korban di persidangan.

Karena itu hadirnya Pedoman ini diharapkan menjadi bagian dari upaya untuk mengatasi masalah tersebut sekaligus memperkuat upaya pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak.

Pedoman Nomor 1 Tahun 2021: Melihatnya Lebih Dekat

Dari sisi nama, menarik untuk dilihat perbedaan antara Peraturan yang diterbitkan MA dengan Pedoman yang diterbitkan Kejaksaan Agung meskipun memiliki tujuan yang sama.

Akan tetapi, penamaan dari Mahkamah Agung dirasakan lebih proaktif dari sisi institusi bahwa para Hakim harus bertindak bagaimana seharusnya ketika mengadili perkara perempuan agar terpenuhi akses yang setara dalam memperoleh keadilan. 

Berbeda dengan Pedoman yang diterbitkan Kejaksaan RI yang “terkesan” membuka jalan perempuan dan anak sehingga seolah-olah yang harus proaktif itu perempuan dan anak, bukan para Jaksa-nya.

Meskipun di dalamnya diatur bahwa Jaksa yang harus melakukan hal-hal sesuai dengan Pedoman untuk pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum menjadi lebih optimal saat perkaranya ditangani.

Dari sisi dasar hukum juga berbeda. PERMA selain mengacu pada UU Kehakiman, juga mengacu pada sejumlah regulasi terkait dengan isu gender seperti UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).

Selain itu juga memuat pengertian secara khusus terkait perihal konsep gender seperti relasi kuasa, stereotip gender, keadilan gender hingga analisis gender.

Sedangkan Pedoman yang diterbitkan Kejaksaan ini dasar hukumnya selain UU Kejaksaan dan peraturan internal Kejaksaan lainnya, tidak mencantumkan regulasi seperti UU CEDAW, termasuk tidak ada juga penjelasan umum terkait dengan perihal konsep gender.

Perbedaan dalam penyusunan tentu wajar karena memang institusinya juga berbeda. Hanya para pihak yang terlibat langsung dalam penyusunannya baik PERMA maupun Pedoman dari Kejaksaan RI saja yang tahu persis argumentasi dibalik pilihan-pilihan tersebut. Bagi penulis, perbedaan tersebut tidak menjadi persoalan mendasar karena yang paling penting adalah bagaimana subtansi pengaturan dan tingkat efektifitas dalam penerapannya.


Terkait dengan Pedoman ini, Dr. Fadil Zumhana, S.H., M.H, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan RI saat peluncuran menjelaskan jika perkara terkait perempuan dan anak menjadi trend yang terus meningkat dari tahun ke tahun dan bukan termasuk perkara yang bobot perkaranya ringan.

Selama ini banyaknya tahapan penanganan perkara yang belum tersentuh, meskipun sudah tersedia dalam UU. Menurutnya, peraturannya sudah bagus namun pelaksanaan yang masih belum maksimal seperti perintah perlindungan dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Oleh karena itu, Pedoman ini mengatur bagaimana Penuntut Umum atau Jaksa dapat berperan aktif dalam menjamin keberlangsungan ketentuan di peraturan perundang-undangan yang sudah ada namun tidak ada aturan pelaksanaannya, atau belum jelas.

Ditambahkan olehnya bahwa fakta selama ini sering penegak hukum tidak membuat konstruksi hukum secara tepat. Kesalahan konstruksi hukum akan mengakibatkan perempuan dan anak tidak “diposisikan” dengan benar sesuai haknya. Di sisi lain, trend selama ini sering hukum tidak dilihat dalam perspektif gejala sosial. Artinya hukum dipandang punya cara sendiri dalam memposisikan perempuan dan anak berdasarkan orientasi tujuan pemidanaan, asas serta konsep hukum.

Fadil Zumhana menyebutkan jika Pedoman ini tidak hanya disusun berdasarkan perspektif gender, namun juga berdasarkan perspektif ilmu hukum yang melihat posisi perempuan dan anak lebih kepada persamaan di depan hukum. Pedoman ini juga menyoroti banyaknya teminologi yang berbeda antara satu UU dengan UU lainnya dan dapat menyebabkan kerancuan.

Karena itu dengan Pedoman ini diharapkan agar Jaksa akan memiliki standar kehati-hatian yang tinggi dalam mengkualifisir terminologi dalam menangani perkara perempuan dan anak.

Dijelaskan juga bahwa Pedoman ini juga merangkum kurang lebih sebelas UU yang memiliki ketentuan untuk memberikan perlindungan bagi terjaminnya hak perempuan dan anak seperti KUHP, UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Pornografi, UU SPPA, UU HAM, UU Pengadilan HAM dan masih banyak lagi.

Hal ini dipandang akan akan membuat penegak hukum kewalahan sehingga institusi Kejaksaan sangat mendukung semangat untuk menyatukan dalam sebuah Pedoman.

Dengan demikian, Pedoman ini bagi Fadil Zumhana merupakan bentuk semangat untuk menyatukan serta mensimplifikasi penggunaan ketentuan pidana dalam pembangunan hukum supaya penegakan hukum dapat berjalan lebih konsisten, berkepastian hukum serta dapat dilaksanakan tanpa menimbulkan kesulitan praktek di lapangan.

Menurutnya, penegak hukum perlu menangani perkara dengan teliti, dapat mengkonstatir fakta hukum dengan baik lalu memasukkannya ke dalam kotak-kotak hukum yang tepat. Diharapkan Pedoman ini dapat menjadi solusi bagi penegak hukum dalam menangani kesulitan di lapangan serta pada akhirnya memberikan perlindungan yang lebih baik bagi perempuan dan anak di Indonesia.


Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Ali Mukartono, S.H., M.M menjelaskan jika Tindak Pidana Khusus dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dapat dipastikan akan menghadapi perempuan dan anak, baik perempuan dan anak itu sebagai saksi atau korban atau bahkan sebagai tersangka, atau terdakwa atau terpidana dalam penanganan perkara tindak pidana khusus.

Karenanya, ia menilai jika hadirnya Pedoman ini akan memberikan manfaat untuk meningkatkan kesadaran para Jaksa dalam rangka memberdayakan penghormatan harkat dan martabat manusia khususnya bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum dalam lingkup tindak pidana khusus seperti dalam penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Dan TPPU, Perkara bidang Perpajakan, Kepabeanan, Cukai dan TPPU, Perkara peristiwa pelanggaran HAM yang berat.

Menurut IJRS (2021) Pedoman ini mengatur agar dalam proses pemeriksaan di Pengadilan, setiap Jaksa tidak mengeluarkan pertanyaan yang seksis, menimbulkan diskriminasi berbasis gender, dan membangun asumsi yang tidak relevan sehingga merugikan perempuan dan anak.

Jaksa juga diharapkan dapat lebih menggali kondisi perempuan dan anak baik dari sisi psikologis, relasi kuasa, respon akibat dampak trauma psikologis dan fisik serta lebih peka terhadap kondisi stereotip gender.

Dalam menguraikan fakta dan perbuatan tindak pidana yang terkait kesusilaan, Penuntut Umum sedapat mungkin menghindari uraian yang terlalu detail, vulgar dan berlebihan.

Penyusunan surat dakwaan dan tuntutan juga harus menghormati hak asasi, martabat dan privasi perempuan dan anak serta mencegah pengulangan trauma korban (reviktimisasi).

Selanjutnya, tidak hanya dalam proses pemeriksaan, Pedoman ini juga mengatur proses dan teknis pemulihan bagi korban tindak pidana, baik melalui ganti rugi, restitusi, dan kompensasi.

Pedoman ini memberikan kesempatan bagi korban dan saksi untuk didampingi baik oleh pekerja sosial, Lembaga Saksi dan Korban (LPSK), keluarga ataupun pendamping lainnya.

Selain itu, adanya perlindungan terhadap informasi dan indentitas korban/saksi dalam hal kasus-kasus terkait seksualitas dan bagaimana pelaksanaan putusan dalam pidana tambahan dan pembuktian dalam tindak pidana KDRT.

Menjawab Tantangan: Kunci Efektifnya Pedoman

Setelah Kejaksaan RI meluncurkan Pedoman Nomor 1 Tahun 2021, pertarungan institusi ini untuk membuktikan komitmennya seperti tersalin dalam Pedoman tersebut baru saja dimulai. Ya, baru saja dimulai dan publik akan menguji sekaligus menanti aksi nyata dari Gedung Adyaksa!

Penantian publik ini khususnya perempuan dan anak harus dijawab oleh para punggawa Adhyaksa dengan memberikan respon terhadap sejumlah hal yang sebenarnya menjadi tantangan bagi Kejaksaan RI.

Paling tidak, terdapat tiga aspek kunci yang harus menjadi perhatian institusi tersebut jika Pedoman ini diharapkan benar-benar diterapkan di internal Adhyaksa. Ketiga aspek ini sifatnya berkelindan, tidak bisa dipisakan, dan memang memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya.


Pertama, aspek komitmen dan perspektif. Isu keadilan dan kesetaraan gender bukan perkara mudah untuk diterima sehingga butuh dialektika dengan membongkar perspektif setiap individu di Gedung Adhyaksa. Apalagi jika dihubungkan dengan keberpihakan kepada perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum, tidak akan pernah selesai jika hanya sekedar dibagikan Pedoman ini satu per satu ke tangan Jaksa/Penuntut Umum!

Contoh paling sederhana misalnya bagaimana memastikan seluruh Jaksa baik laki-laki maupun perempuan yang akan menangani perkara perempuan dan anak memahami konsep seksualitas dan seksisme sehingga tidak berujung pada reviktimisasi? Tentu secara verbal mudah diucapkan, menghafal teori dan memberikan penjelasannya tetapi harus disadari bahwa perspektif tersebut membutuhkan usaha yang lebih kuat sehingga terinternalisasi dari diri setiap Jaksa.

Jika tidak, maka proses penegakan hukum akan mudah “kambuh” yang harapannya pro dengan perempuan dan anak, tetapi dalam realitasnya berbeda. Penanganan perkaranya penuh anomali: prosesnya terkesan pro perempuan dan anak tetapi dalam praktiknya justrui sangat maskulin dan abai dengan kepentingan anak!

Perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum tidak boleh diperlakukan secara homogen hanya karena berjenis kelamin yang sama. Akan beda konteksnya antara kasus yang masuk kategori Pidana Umum dan Pidana Khusus.

Dalam konteks ini penting sekali bagi Jaksa selain untuk diperkuat pemahaman tentang Feminist Legal Theory, juga membangun sensitifitas gender secara baik. Perspektif ini bukan hanya di level Jaksa/Penuntut Umum yang berhadapan langsung dengan kasus per kasus melainkan yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana jalannya Pedoman ini benar-benar dijalankan di daerah baik di tingkat Kejati maupun Kejari.

Dalam konteks Aceh misalnya, Pedoman tersebut akan sia-sia jika tanpa tanggungjawab dan komitmen yang penuh dari elite Kejati Aceh dan Kejari di seluruh kabupaten/kota di Aceh. Oleh karena itu, setelah diluncurkan maka harus segera disosialisasikan kepada seluruh Jaksa/Penuntut Umum di Aceh sehingga tidak ada lagi yang bersikap acuh tak acuh dengan hadirnya Pedoman ini.

Kedua, aspek sumber daya manusia. Siapa pun yang mengikuti dan selama ini bekerja dalam isu pembelaaan atas hak-hak perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum, akan dihadapkan juga pada aspek ini. Bagaimana dengan ketersediaan sumber daya manusia: Jaksa/Penuntut Umum? Persoalannya bukan semata-mata jumlah (kuantitas) tetapi yang juga tidak kalah pentingnya juga perkara kualitasnya.

Dalam konteks ini tentu akan fokus pada satu pertanyaan kunci: dari total Jaksa/Penuntut Umum yang ada saat ini, berapa prosentasenya yang benar-benar clear dengan perspektif gender dan anak? Pertanyaan ini menjadi salah satu kunci tingkat efektifitas pemberlakukan Pedoman yang sudah diluncurkan ini, apakah akan berjalan maksimal atau hanya sekedar cek kosong tanpa makna? Jelas di sini diperlukan lebih banyak “Diklat Penanganan Perkara Berbasis Gender” yang selama sudah ada tetapi dinilai masih terbatas jumlahnya.

Ketiga, politik anggaran. Pelaksanaan Pedoman ini harus didukung dengan politik anggaran yang memberikan jaminan agar implementasinya sesuai harapan. Ada kebutuhan fasilitas pendukung, ada kepentingan penguatan kapasitas, keperluan membangun jejaring sampai dengan dukungan adanya monitoring dan evaluasi atas jalannya Pedoman ini.

Komitmen dan perspektif yang memadai serta didukung oleh SDM yang mumpuni pun akan pincang geraknya jika tidak ditopang dengan politik anggaran dari Gedung Adhyaksa.

Oleh sebab itu, menjadi penting adanya keberpihak untuk memastikan Pedoman ini benar-benar aplikatif dari nasional hingga daerah melalui dukungan pembiayaan yang memadai.

Hal ini selaras dengan hasil riset FITRA dan IJRS (2019) bahwa ada kebutuhan penganggaran atas penanganan isu perempuan dan anak di institusi Kejaksaaan yang kemudian dapat mendukung ketersediaan SDM yang memiliki perspektif gender dan perlindungan anak sehingga lembaga ini bisa bekerja lebih optimal dalam penanganan kasus perempuan dan anak.

Jika tiga aspek kunci ini terabaikan, bisa jadi Pedoman ini akan bernasib sama dengan PERMA Nomor 3 Tahun 2017 yang sudah diterbitkan Mahkamah Agung yang dinilai belum sepenuhnya diimplementasikan dengan sempurna. Maisarah, (2019) dalam penelitiannya tentang Implementasi PERMA di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Banda Aceh, ia menyimpulkan bahwa PERMA itu belum diimplementasikan dengan baik.

Menurutnya, hambatan dalam implementasinya karena faktor hukum yang tergolong masih baru dan kurangnya disosialisasikan kepada seluruh target aturan hukum tersebut. Aparat penegak hukum yang kurang peka atau kurangya pemahaman bagaimana menangani kasus-kasus perempuan berhadapan dengan hukum, faktor sarana atau fasilitas pendukung yang belum memadai, faktor masyarakat dan budaya yang banyak memberikan pandangan yang menyalahkan korban.

Temuan yang sama juga dikemukakan oleh Ishlah, dkk (2020) dengan tema penelitian yang serupa meskipun lebih spesifik pada perkara perceraian. Hasil penelitian ini sama dengan temuan Maisarah (2019) bahwa PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tidak terlalu memberikan perubahan pada hakim dalam mengadili perkara.

Jangka Panjang: Apa yang Sebaiknya Dilakukan?

Supanto (2004) menyebutkan bahwa Jaksa adalah satu-satunya lembaga negara yang mempunyai wewenang mengadakan penuntutan terhadap semua perkara pidana. Di samping menerima berkas perkara yang merupakan hasil pemeriksaan penyidikan dari penyidik, jaksa juga melimpahkan berkas perkara yang diterimanya kepada hakim untuk diperiksa dalam sidang pengadilan.

Di sini mejadi penting sekali tugas Jaksa untuk membuat surat dakwaan, karena berdasarkan pada surat dakwaan inilah hakim akan melakukan pemeriksaan perkara, bukan berdasarkan berkas perkara dari penyidik. Akan tetapi pemeriksaan penyidikan akan menjadi dasar pembuatan surat dakwaan dan akan menentukan keberhasilannya.

Hadirnya Pedoman ini harus menjadi pembuktian Jaksa/Penuntut Umum akan dapat menangani perkara perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum bukan hanya dalam koridor memberikan kepastian hukum tetapi juga memastikan prosesnya adil dalam kaidah gender perspective secara benar.

Dengan proses demikian, institusi ini dapat melimpahkan perkaranya ke Pengadilan yang secara maksimal sudah memenuhi akses keadilan yang bukan hanya dari aspek persamaan di depan hukum tetapi juga dilandasi pada aspek keadilan hukum berbasis gender.

Kondisi ideal itu tentu butuh proses sehingga selain fokus pada tiga aspek kunci di atas, institusi Kejaksaan khususnya dan para pihak lainnya yang selama ini menjadi mitra srategis Adhyaksa dalam mendorong pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum harus bekerja keras “membingkai” Pedoman ini dalam koridor yang lebih luas.

Berikut beberapa hal yang harus dilakukan agar Pedoman ini, selain menjadi entry point namun dalam jangka panjang dapat menjadi arus-utama (mainstreaming) dalam kerangka pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum yang menjadi domain kerja Jaksa/Penuntut Umum di Indonesia.

Pertama, pedoman ini harus menjadi bagian dari kerja-kerja penguatan kapasitas SDM di Gedung Adhyaksa. Semangat pentingnya dilahirkan Pedoman ini tidak boleh dipandang parsial yang lepas dari skema penguatan kapasitas internal Kejaksaan. Artinya, mnimal konsepsi Gender, Konvensi Hak Anak, dan Feminist Legal Theory harus menjadi bagian dari kurikulum penguatan kapasitas Jaksa/Penuntut Umum sehingga jalannya Pedoman ini ke depan tidak lagi seperti bagian terpisah melainkan menjadi inheren dalam diri Jaksa/Penuntut Umum, baik laki-laki maupun perempuan.

Kedua, perlu kebijakan afirmasi untuk memperkuat kapasitas Jaksa Perempuan. Terkait aspek ini menarik jika dihubungkan dengan pernyataan Kepala Hubungan Internasional Kejaksaan Agung, Laksmi Indriyah Rohmulyati pada tahun 2014 lalu. Saat itu, ia menyatakan bahwa tidak ada efek langsung atas kasus-kasus kejahatan yang menimpa perempuan yang ditangani oleh Jaksa Perempuan.

Laksmi juga mengatakan tidak ada perintah langsung di Kejaksaan agar kasus yang terkait dengan perempuan ditangani oleh Jaksa Perempuan meskipun beberapa tahun lalu ada kebijakan tidak tertulis agar kasus yang menimpa perempuan ditangani oleh Jaksa Perempuan. Menurutya, kebijakan tersebut tidak diterapkan lagi, karena institusinya melihat bahwa setiap setiap Jaksa baik laki-laki atau perempuan harus sensitif dalam menangani kasus yang terkait perempuan dam anak.

Kondisi saat ini sudah berubah. Kejaksaan RI sudah menerbitkan Pedoman ini yang justru didalamnya mencantumkan bahwa dalam kondisi tertentu ada sejumlah tugas yang akan diemban oleh Jaksa Perempuan. Ketika poin tersebut dicantumkan, menjadi penting untuk dikritisi: bagaimana kuantitas dan kapasitas Jaksa Perempuan?

Jangan sampai Pedoman ini justru berpotensi melahirkan beban baru bagi Jaksa Perempuan! Hal ini menjadi krusial dan mesti ada kebijakan afirmasi sehingga tidak kemudian menjadi persoalan baru bagi Jaksa Perempuan mengingat terbatasya jumlah dan kapasitas dalam menjalankannya.

Ketiga, perlu mengintegrasikan aspek gender ke dalam proses revisi UU Kejaksaan. Saat ini, UU Nomor 16 Tahun 2014 tentang Kejaksaan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2021. Hal ini strategis mengingat UU Kejaksaan yang berlaku saat ini dapat dipandang netral gender.

Karena itu perlu dikaji ulang dan kemudian diberikan muatan subtantif terkait aspek gender, khususnya dalam penanganan perkara perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum. Apabila hal tersebut sudah ada, jaminan akses keadilan bagi perempuan dan anak sudah memiliki acuan hukum yang lebih kuat. Publik menanti pembaharuan UU Kejaksaan yang secara eksplisit terkait isu perempuan dan anak sehingga hambatatan yang selama ini dihadapi dapat diatasi secara tuntas.

Keempat, Komisi Kejaksaan RI harus berperan lebih aktif dalam memantau jalannya penanganan perkara perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu agenda prioritas, terlebih lagi ketika Pedomannya sudah diterbitkan. Tanpa ada kontrol resmi dari Komisi ini maka sekuat apa pun kontrol publik akan garing rasanya dan terkesan seperti nyamuk di luar kelambu.

Kelima, kontrol publik tetap diperlukan terutama pegiat HAM dan isu perempuan dan anak. Jalan tidaknya pedoman ini secara maksimal, juga sangat dipengaruhi oleh sekuat mana kontrol publik dalam mengawasinya. Melaporkan jika ada penyimpangan dari Pedoman ini sekaligus memberikan pendidikan politik berbasis hak kepada perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum menjadi pilihan yang tepat.

Hal ini untuk mencegah terjadinya asimetris informasi antara haknya sebagai warga negara sekaligus bagaimana kewajiban para Jaksa/Penuntut Umum dalam menjalankan tugasnya. Selain itu memperkuat gerakan pengawalan agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) segera ditetapkan haris menjadi agenda bersama sehingga upaya pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum menjadi paripurna.

***

Akhir kata, selamat datang Pedoman yang baru! Publik pun akan menanti aksi-aksi baru para Jaksa/Penuntut Umum dari Gedung Adhyaksa: bagaimana Pedoman baru ini dieksekusi. Apakah akan memberikan keadilan yang lebih nyata atau masih sebatas jargon?

Semoga tidak demikian, sebaliknya publik akan memberikan apresiasi bahwa Pedoman ini telah menjadi penumbuh optimisme: perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum mendapatkan perlakukan yang lebih adil, setara dan bebas dari diskriminatif.


Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda