Beranda / Berita / Aceh / WALHI Aceh Tegas Tolak Tambang Emas PT LMR di Aceh Tengah

WALHI Aceh Tegas Tolak Tambang Emas PT LMR di Aceh Tengah

Jum`at, 20 Oktober 2023 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin. [Foto: ist.]


DIALEKSIS.COM | Aceh - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh tegas menolak tambang emas PT Linge Mineral Resource (LMR) demi menyelamatkan lingkungan hidup, Hak Asasi Manusia (HAM), perekonomian dan sosial budaya di dataran tinggi Gayo. 

Kehadiran tambang emas di Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah akan berdampak serius terhadap keberlangsungan ekosistem, terutama berefek terhadap kualitas kopi sebagai komoditas unggulan dan pendapatan utama masyarakat di dataran tinggi Gayo.

Penolakan terhadap tambang emas PT. LMR tersebut tertuang dalam surat tanggapan Pengumuman Tambahan Rencana Studi AMDAL Kegiatan Penambangan dan Pengolahan Bijih Emas DMP milik PT. LMR. WALHI Aceh sudah mengirimkan dokumen tanggapan tersebut ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan kantor pusat PT. LMR di Jakarta.

“Demi melindungi lingkungan hidup, HAM, perekonomian dan sosial budaya menjadi alasan utama bagi WALHI Aceh untuk menolak kehadiran tambang emas tersebut dan dokumennya sudah kami kirimkan ke KLHK dan PT LMR,” kata Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin alias Om Sol, Jumat (20/10/2023).

Hasil analisis WALHI Aceh, sebut Om Sol, keberadaan PT LMR tidak hanya menyebabkan terganggu ekosistem di Aceh Tengah, juga merupakan kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Jambo Aye Lumut, Linge, Owaq, dan Penarun. Dampaknya tidak hanya di hulu, tetapi juga sampai ke hilir yang meliputi Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara dan Bener Meriah.

Hal ini selaras sebagaimana tercantum dalam Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2016 “ 2036, Menyebutkan area konsesi merupakan area pengendalian daya rusak air (Pasal 19 ayat 2) meliputi Krueng Jambo Aye.

Celakanya, dari total 974 DAS di Aceh, terdapat 20 DAS dalam kondisi kritis atau harus dipulihkan, satu di antaranya adalah DAS Jambo Aye yang masuk dalam perizinan PT LMR. Bila perusahaan tersebut beroperasi, diperkirakan kondisinya akan semakin parah dengan adanya tambang emas tersebut.

Berdasarkan telaah WALHI Aceh, izin PT LMR banyak mengangkangi Qanun RTRW Aceh Tengah. Selain yang sudah disebutkan di atas, pada Pasal 19 ayat 5 Kecamatan Linge merupakan daerah Cekungan Air Tanah seluas 3.492,14 Ha. Kerentanan lainnya, areal izin tambang emas tersebut merupakan kawasan rawan bencana gempa bumi, banjir, longsor, serta kebakaran hutan dan lahan.

Kemudian dalam Qanun RTRW Aceh Tengah juga disebutkan Kecamatan Linge kawasan diperuntukan untuk pertanian dan perkebunan. Selain itu juga termasuk Kawasan Strategis Kabupaten (KSK), meliputi; KSK Pengembangan Peternakan Ketapang Linge; KSK Situs Kerajaan Linge di Kecamatan Linge.

“Ini jelas tidak hanya berdampak di dataran tinggi Gayo, juga sampai ke pesisir Aceh Utara dan Aceh Timur. Terlebih lagi DAS Jambo Aye merupakan DAS prioritas berdasarkan SK 328/MenHut-II/2009 Penetapan DAS Prioritas,” tegasnya.

Selain itu, tambang emas ini juga akan berdampak terhadap objek wisata Danau Lut Tawar yang merupakan bagian dari hulu DAS Peusangan yang juga masuk dalam kondisi kritis. Padahal DAS ini sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat yang ada di Kabupaten Bireuen, Lhokseumawe, dan Aceh Utara. 

Sementara itu berdasarkan kajian dan analisis seorang dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Tajuddin Bantacut, kata Om Sol, keberadaan tambang emas berdampak buruk terhadap 3 aspek, yaitu ekologi, ekonomi dan sosial budaya. 

Dari aspek lingkungan hidup, kata Om Sol dipastikan akan terjadi kerusakan ekosistem yang berpengaruh terhadap kehilangan biodiversitas, tangkapan air, situs budaya, sejarah, dan penurunan produksi pertanian. Selain itu juga berpotensi menurunnya kualitas udara dan kesuburan tanah serta siklus hidrologi.

“Tentunya kondisi ini cukup berbahaya bagi kelangsungan hidup masyarakat di Aceh Tengah dan Bener Meriah hingga ke pesisir,” tegasnya.

Perubahan ekosistem akibat adanya lubang tambang akan mengalami gangguan signifikan terhadap iklim mikro dan siklus hidrologi permukaan dan air tanah, karbon dan hara, karena adanya cemaran langsung berupa bahan kimia, lumpur dan limbah domestik akan berdampak terhadap perubahan iklim.

Adanya konversi lahan pertanian dan hutan menjadi lubang atau bekas tambang juga berdampak terhadap kualitas kopi di dataran tinggi Gayo. Tak hanya itu, banyak juga flora dan fauna dalam kawasan akan hilang. Terlebih lagi areal izin PT LMR juga masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang merupakan hutan konservasi tinggi yang menjadi jalur migrasi 4 satwa kunci yang dilindungi. 

“Habitat satwa endemik juga berpotensi hilang dan bahkan bisa menyebabkan kepunahan. Bila ditinjau dari aspek ekonomi, tidak banyak kemanfaatan yang didapatkan warga dengan adanya tambang emas itu dibandingkan dengan perkebunan kopi,” tegasnya lagi.

Namun yang harus dipahami distribusi pendapatan timpang antara pemilik modal dan pemilik kawasan, yaitu masyarakat dataran Tinggi Gayo. Justru PAD yang diperoleh nantinya tidak sebanding dengan kerusakan hutan pasca tambang. 

“Kopi memberikan kemanfaatan berkelanjutan (antar generasi), sedangkan tambang hanya untuk satu atau dua generasi saja, setelah itu ekosistem rusak dan butuh waktu lama untuk memulihkan kembali,” jelasnya.

Om Sol menyebutkan, investasi tambang merupakan praktek eksploitasi Sumber daya Alam (SDA), sementara perkebunan kopi bentuk pemanfaatan SDA yang berkelanjutan sampai generasi ke generasi tanpa batas.

Kalau dikaji dari aspek sosial, keberadaan tambang hanya mengeksploitasi tenaga kerja yang diperlukan saja, artinya tidak merata dan adil. Justru nantinya banyak tenaga kerja didatangkan dari luar daerah, sedangkan warga setempat hanya mendapatkan pekerjaan kasar dan berpotensi terjadi konflik sosial di tengah masyarakat.

“Sedangkan perkebunan kopi melibatkan banyak petani, pedagang, pengolah dan ritel lainnya. Tambang hanya mengeksploitasi tenaga kerja yang diperlukan saja,” jelasnya.

Sebenarnya kopi di dataran tinggi Gayo telah menjadi bagian dari budaya, mulai dari pergaulan hingga kerjasama sosial-ekonomi. Karena kebun kopi dapat dikendalikan sehingga tidak merusak situs budaya dan siklus ekosistem. Sedangkan tambang mengubah ekosistem atau hamparan (landscape) yang menghancurkan banyak hal.

Lebih parah lagi, sebut Om Sol, keberadaan tambang emas di Kecamatan Linge berpotensi kehilangan identitas Aceh, khususnya dataran tinggi Gayo. Karena di lokasi izin PT LMR juga terdapat situs budaya makam Kerajaan Linge yang memiliki sejarah pentingnya berdirinya provinsi Aceh.

Oleh sebab itu, WALHI Aceh sebagai lembaga wali lingkungan yang diatur dalam undang-undang secara tegas menolak keberadaan PT LMR yang hendak mengeksploitasi SDA di dataran tinggi Gayo. Karena lebih banyak mudharatnya dibandingkan manfaat yang diterima masyarakat. 

“Belum ada dalam sejarah warga yang tinggal di lingkar tambang sejahtera, faktanya tambang Migas PT Arun misalnya, jelas warga di sekitar tetap miskin hingga sekarang. Belum lagi kita lihat tambang emas di Papua, warga tetap saja miskin,” tegasnya.

Lalu bagaimana dengan potensi emas yang ada di sana? Om Sol menjelaskan, lebih baik dicadangkan untuk generasi yang akan datang sampai mereka mampu menambang dengan modal sendiri dan menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan.[*]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda