Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Dampak Ekplorasi Tambang PT LMR, Untung Atau Buntung?

Dampak Ekplorasi Tambang PT LMR, Untung Atau Buntung?

Jum`at, 19 Agustus 2022 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : ABY

Ilustrasi Tambang. [Foto: Istimewa]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kekayaan alam yang dimiliki dataran tinggi Gayo telah membuat PT Linge Mineral Resource (LMR) kepincut untuk 'menggarapnya'. Jika pembaca berpikir PT LMR akan mengelola keindahan danau laut tawar yang nan eksotis, atau pun potensi kopi Gayo yang telah mendunia itu, pikiran tersebut salah besar. Lalu?

Emas. Ya, emas lah sasarannya. PT Linge Mineral Resource (LMR) diketahui akan mulai melakukan penambangan logam mulia tersebut di atas lahan seluas 500 hektar di Abong Linge, Kabupaten Aceh Tengah. Berdasarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dimiliki PT LMR, terdapat 36.420 hektar yang dapat dikelolanya.

Meskipun penambangan belum dilakukan, namun proses dan tahapan ekplorasi terus berjalan.

“Memang penambangan saat ini belum dilakukan lantaran masih berada dalam tahap eksplorasi, perusahaan masih melakukan proses studi kelayakan Amdal dan studi lainnya,” kata Kuasa Direktur PT LMR Achmad Zulkarnain kepada awak media, Selasa 1 Maret 2022. 

Berdasarkan perkiraan pihaknya, dari luas 500 hektar tersebut, PT LMR mampu menambang seribu ton batu per harinya dan menghasilkan 1 sampai 2 kg emas.

Dengan asumsi produksi tersebut, PT LMR mengklaim pembukaan tambang emas di wilayah Abong Linge dapat menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh Tengah hingga 3 kali lipat dari PAD yang ada saat ini. 

"Kalau masalah terkait penolakan keberadaan tambang emas oleh PT LMR di Abong Linge, itu hal yang wajar, keberadaan kita juga mendongkrak perekonomian masyakarat setempat dan menyumbang PAD terbesar nantinya,” katanya. 

Terkait kapan akan melakukan produksi penambangan tersebut, dirinya mengaku PT LMR masih membutuhkan waktu sekitar empat tahun lagi. 

“Dari proses perizinan hingga produksi membutuhkan 3 sampai 4 tahun lagi,” terang Zulkarnain. 

Jika demikian, seperti apa reaksi masyarakat setempat terhadap rencana tersebut? Bagaimana dengan dampak lingkungan yang akan ditimbulkan dari aktifitas penambangan yang dilakukan PT LMR? Akan kah kegiatan eksplorasi alam mampu memberikan syafaat besar kepada umat seperti klaim yang disuarakan PT LMR? 

Reaksi masyarakat

Benar, bahwa investasi adalah salah satu faktor penting meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, juga perlu dilihat dan dikaji dampak yang akan terjadi dalam jangka panjang.

Dari segala rangkaian kehadiran sebuah perusahaan tambang hingga proses produksi, dampak terhadap lingkungan sekitar merupakan keniscayaan yang menjadi atensi semua pihak. Pasalnya, rakyat lah berikut generasi turunannya yang akan merasakannya secara turun temurun, dan dari waktu ke waktu. Polusi udara, ancaman banjir akibat hutan yang dirambah, tercemarnya air karena limbah industri, menjadi 'hantu' yang akan selalu 'meneror' warga dalam rotasi waktu yang tidak sebentar. Belum lagi soal pekerjaan masyarakat lokal yang telah sekian lama menggantungkan 'nasibnya' dari hasil hutan yang hendak digarap oleh para korporasi. 

Setidaknya, hal itu yang dikhawatirkan R, salah seorang warga Desa Linge yang namanya keberatan untuk disebutkan.

Kepada Dialeksis.com, R mengatakan, penolakan warga Desa Linge terhadap kehadiran PT LMR ini adalah hasil musyawarah bersama antara tokoh gampong dan semua lapisan masyarakat.

Adapun alasan penolakan disebabkan karena masyarakat khawatir kehadiran perusahaan tambang itu bakal menghilangkan mata pencaharian warga desa di sana. Belum lagi, tegas R, ada situs-situs sejarah yang perlu dilestarikan.

“Di situ kan ada situs sejarah Kerajaan Linge, sebuah peradaban asal muasalnya suku Gayo. Karena dari sanalah perkembangan suku Gayo. Alasan lainnya karena ada cagar budaya, makam-makam keramat yang kami khawatir bakal dikotorin oleh perusahaan,” ujar R kepada reporter Dialeksis.com, Aceh Tengah, Rabu (17/8/2022).

Di sisi lain, R menerangkan bahwa kawasan tempat berdirinya perusahaan tambang tersebut juga berada di dalam kawasan hutan lindung.

"Berbicara soal pendirian perusahaan dalam kawasan hutan lindung tidak bisa dilakukan secara serta merta, dan ini menjadi harapan R beserta seluruh warga lainnya agar pemerintah mengkaji kembali pendirian PT LMR di Linge Abong," sebut R.

R melanjutkan, advokasi dan aksi masyarakat setempat dalam menyuarakan penolakan kehadiran PT LMR ini juga didukung oleh organisasi konservasi lingkungan dan juga mahasiswa.

"Kami beserta mahasiswa juga sering melakukan orasi ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah menyoal polemik yang terjadi terhadap kehadiran perusahaan tambang tersebut dengan kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak," terang R.

Selaku perwakilan desa, R berharap agar semua jajaran stakeholder yang ada di Aceh Tengah untuk berpikir panjang mengenai polemik perusahaan tambang ini.

Dia mengaku belum siap menerima kehadiran PT LMR di daerahnya. Terkait hal ini, R memiliki alasan yang cukup rasional.

"Kehadiran perusahaan tambang tersebut bakal meluluhlantakkan semua adat istiadat, syariat Islam yang telah dibina selama bertahun-tahun lamanya. Kami takut nanti dengan perkembangan perusahaan besar ini bakal banyak pengaruhnya kepada kami,” pungkas R.

Jauh sebelum itu, masyarakat Gayo telah menolak kehadiran PT. Linge Mineral Resource [PT. LMR]. Mereka tidak rela tempat tinggal dan lingkungannya rusak akibat kegiatan tersebut.

Melalui tulisan yang diturunkan Mongabay, sebuah media yang concern pada isu lingkungan pada akhir Juni 2022 lalu, ketegasan rakyat Gayo terlihat saat perwakilan perusahaan bersama konsultan melakukan konsultasi publik tahap awal penyusunan dokumen Amdal, di Desa Lumut, Kecamatan Linge, pada Senin, 31 Mei 2021.

Dalam pertemuan itu, perwakilan masyarakat Desa Linge dan Owaq, yang berdampak langsung pada penambangan mengatakan, tidak rela kampung mereka rusak, baik dari segi lingkungan maupun budaya dan sejarah.

Dalam sebuah kesempatan berbeda, masih dinukil dari media yang sama, Koordinator Jaringan Anti Korupsi Gayo (Jang-Ko) Maharadi, menegaskan, sedari awal masyarakat Desa Linge telah tegas menolak kehadiran perusahaan tersebut.

“Setelah masyarakat Desa Linge menolak, masyarakat Desa Owaq mengikuti. Mereka tidak rela makam leluhur Raja Linge hilang,” terang Maharadi, Selasa, 8 Juni 2021.

Menurutnya, lebih baik mengembangkan kopi Arabika Gayo yang terbukti lebih memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.

“Selama ini, sebagian besar masyarakat di dataran tinggi Aceh, yaitu Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues hidup dari hasil pertanian dan perkebunan, khususnya kopi. Untuk apa mengundang kegiatan yang hanya menguntungkan segelintir orang,” ujarnya.

Sekilas Pandang Tentang PT Linge Mineral Resource (LMR)

Seperti yang telah diketahui, PT LMR merupakan pemegang konsesi penambangan emas Linge Abong seluas 36.420 hektar di Aceh.

Dikutip dari laman liputan6.com, pada tulisan yang berjudul "Bumi Resources Mineral Bakal Eksplorasi Tambang Emas Linge Abong di Aceh" tanggal 21 Desember 2021 disebutkan PT Bumi Resources Minerals Tbk melalui anak usahanya PT Bumi Sumberdaya Semesta (BSS) mereklasifikasi tambang emas Linge Abong milik PT Linge Mineral Resources (LMR) dari proyek pengembangan usaha menjadi aset eksplorasi dan evaluasi dalam neraca perseroan.

Manajemen PT Bumi Resources Minerals Tbk menyatakan, telah terjadi realisasi atas dana proyek pengembangan usaha sebesar USD 123 juta oleh anak usaha perseroan dalam hal ini BSS menjadi kepemilikan saham pada PT Linge Mineral Resources.

Penolakan Organisasi Masyarakat Sipil

Penolakan senada juga disuarakan oleh Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh. Melalui Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye FJL, Munandar Syamsuddin menerangkan, rencana eksploitasi tambang emas di Kecamatan Linge Aceh Tengah adalah kepentingan pemodal atau penguasa, bukan kepentingan warga Gayo.

Selama ini, kata dia, warga Gayo sudah cukup bahagia dengan hasil alam kopi dan hortikultura. Perkebunan kopi di Aceh Tengah 100 persen milik rakyat, artinya sebagian besar warga di sana bergantung hidup pada hasil tani.

"Jika tambang emas beroperasi aktivitas pertanian terancam, dikarenakan ketersediaan air tanah terganggu karena tambang, pencemaran udara, deforestasi, dan pemanasan global," ungkap Munandar saat diwawancarai Dialeksis.com, Kamis (11/8/2022).

Menurut dia, butuh waktu lama perubahan itu baru terasa. Namun jika itu terjadi, maka tidak bisa kembali ke posisi semula. Jadi sebelum alam Gayo rusak karena tambang harus dicegah dari sekarang.

"Jangan sampai kita mewariskan alam Gayo kepada anak cucu dalam keadaan rusak," kata Munandar.

Selain ancaman lingkungan, industri tambang juga berpotensi menghadirkan konflik sosial antar masyarakat. Tidak ada jaminan tambang akan mensejahterakan warga Gayo.

"Siapa berani menjamin itu? apakah Bupati? Bupati seharusnya mendengar suara arus bawah, suara hati petani kopi. Jika dibuat survei ke akar rumput secara independen saya yakin mayoritas warga akan menolak," tegasnya.

Munandar berharap, Bupati dan elit pejabat berpihak pada kepentingan rakyat banyak dan pada masa depan Tanah Gayo. Ia mengajak warga Gayo untuk mengkaji dampak terburuk terhadap eksploitasi tambang.

"Kenapa kita berpikir yang terburuk, karena alam yang terlanjur rusak tidak akan dikembalikan lagi ke kondisi semula. Tolak tambang di Gayo, sebelum kita menyesal semuanya," pungkasnya.

Sementara itu, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian menjelaskan tambang Abong Linge di Aceh Tengah ini sudah terbit izin eksplorasi sejak pertengahan tahun 2021 kemarin, bahkan emiten tambang PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) juga telah melakukan reklasifikasi dana proyek pengembangan usaha US$123 juta setelah mendapatkan izin eksplorasi oleh PT LMR yang merupakan pemegang konsesi penambangan Linge Abong seluas 36.420 hektare di Provinsi Aceh.

"Berhubung izin sudah terbit, maka perusahaan tersebut mau tidak mau harus tetap terbangun," ujar Alfian, Kamis (11/8/2022).

Dia menegaskan, perusahaan LMR tidak boleh melupakan asas terpenting, yakni soal kearifan lokal warga setempat. Menurutnya, adanya nada penolakan dari warga dikarenakan masyarakat khawatir perusahaan tersebut bakal menghancurkan konstruksi alam yang selama ini mereka rawat.

Oleh karenanya, ia meminta agar perusahaan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai lokal, untuk mampu membawa kesejahteraan kepada masyarakat, dan tidak menjadi kutukan bagi daerah.

“Belajar dari pengalaman yang menyangkut dengan tambang, memang rata-rata keberadaan tambang itu hanya menjadi kutukan bagi lingkungan, tidak berdampak membawa kesejahteraan kepada daerah. Contohnya bisa kita lihat dimana-mana. Tentu ini menjadi dilema yang sangat berat sehingga masyarakat hari ini wajar menolak secara tegas, apalagi dengan dasar-dasar kerusakan lingkungan,” jelas Alfian.

Di sisi lain, dia meminta peran Pemerintah Aceh untuk memveto perusahaan agar mau mensejahterakan rakyat. Pemerintah Aceh harus menginstruksikan kepada perusahaan untuk memaksimalkan tenaga kerja dari warga sekitar.

“kalau dibilang, ‘oh, warga daerah tidak punya skill’ ya, perusahaan punya kewenangan untuk membangun kapasitas warga hingga punya skill. Dalam hal ini pemerintah harus berani memveto. Pemerintah harus memastikan itu. Kalau perusahaan ini hanya menjadi kutukan bagi warga, pemerintah wajib mengusir,” tutur Alfian.

Dampak Kehadiran Perusahaan

Direktur Walhi Aceh, Ahmad Shalihin menjelaskan, penolakan Walhi Aceh terhadap perusahaan tersebut disebabkan banyak faktor.

Diantaranya, dapat mengancam wilayah pengelolaan rakyat, bakal mencemari kejernihan Daerah Aliran Sungai (DAS) Jambo Aye karena hulu sungainya ada di Linge Abong. 

"Kemudian karena di Aceh Tengah adalah dataran tinggi maka dikhawatirkan ketika tanahnya dikeruk untuk dijadikan tambang bakal menyebabkan konstruk lingkungan rawan longsor, kehilangan situs budaya kerajaan Linge dan lain sebagainya," terang Shalihin, Jumat (12/8/2022).

Direktur Walhi Aceh ini menegaskan, tidak pernah ada dalam tinta sejarah bahwa kehadiran perusahaan tambang dapat menyebabkan masyarakat sekitar perusahaan akan sejahtera.

“Sudah banyak kasus yang bisa kita jadikan contoh. Semua wilayah tambang itu yang pasti hanya meninggalkan kerusakan lingkungan, masyarakatnya bahkan nggak meningkat kesejahteraannya,” tegas Shalihin.

Meski demikian, lanjutnya, yang menjadi point of view (sudut pandang) penolakan warga di Aceh Tengah terhadap kehadiran PT LMR dikarenakan masyarakat khawatir bakal kehilangan situs budaya kerajaan Linge dan wilayah kelola rakyat yang terancam.

Meski dengan sudut pandang demikian, Walhi Provinsi Aceh beserta dengan komunitas sipil lainnya terus melakukan pendampingan kepada masyarakat untuk mengadvokasi dan mengatur strategis yang tepat terhadap kampanye penolakan PT LMR.

Ekploitasi Alam Untuk Siapa?

Dalam perspektif ekonomi, maraknya eksplorasi Sumber Daya Alam (SDA) disektor minyak dan gas di perairan laut Aceh baik dalam kewenangan Aceh atau nasional, serta banyaknya kegiatan ekploitasi SDA emas di berbagai tempat, kerap dijadikan pertanda betapa cerahnya masa depan Aceh.

Seakan, jika semua SDA itu dikelola maka semua persoalan pembangunan di Aceh akan teratasi, termasuk kemiskinan. Benarkah?

Sebentar. Mari melihat sejarah saat Aceh punya pengalaman terdekat dengan kegiatan eksploitasi migas Arun. Apa yang terjadi? Angka kemiskinan terbesar kala itu justru ada di Aceh Utara. 

Mark Twain, novelis berkebangsaan Amerika Serikat pernah mengingatkan soal tambang. Menurutnya, tambang adalah lobang besar yang di atasnya berbaris para pembohong.

Mark Twain ingin mengingatkan bahwa para investor belum tentu memikirkan soal kesejahteraan bagi penduduk yang dibawah buminya memiliki bahan tambang yang mereka eksploitasi, sebab yang utama mereka pikirkan adalah keuntungan bagi diri, perusahaan mereka sendiri.

Kita semua tentu tidak ingin karena eksploitasi sumber daya alam (SDA), lingkungan alam Aceh rusak. Untuk saat ini, banyak sektor-sektor lain yang dapat dimaksimalkan guna keluar dari problem kemiskinan dan pengangguran. 

Tapi, kalau SDA yang dikedepankan untuk dieksploitasi sebagai strategi mengatasi kemiskinan, rakyat patut bertanya, itu untuk siapa? Rakyat, atau untuk orang kaya yang sudah kaya?

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda