Gereja Katolik tidak Terakomodir di Aceh Singkil, Kesepakatan Perlu Diperbaharui
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Keberadaan gereja di Aceh Singkil terus menjadi polemik dari masa ke masa, seakan tanpa ada titik temu. Pada tahun 1979, tokoh Islam dan tokoh Kristen di Singkil menyepakati hanya diizinkan 1 unit gereja di sana, yaitu di Desa Kuta Kerangan.
Lalu pada tahun 2001, muncul kesepakatan baru yang merupakan pembaharuan dari kesepakatan 1979. Kesepakatan tahun 2001 adalah dibenarkan berdiri 1 unit gereja dan ditambah 4 unit undung-undung (gereja kecil).
Kelima tempat ibadah yang disepakati pada tahun 2001 semuanya adalah milik umat Kristen dan dari aliran Gereja Kristen Prostestan Pakpak Dairi (GKPPD). Sementara gereja Katolik belum terakomodir satu pun dalam kesepakatan yang ada.
Persoalan tersebut dibahas dalam diskusi yang diinisiasi Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) di Banda Aceh, Selasa (12/7/2022). YARA menghadirkan narasumber Pj Gubernur Aceh, Ketua FKUB Aceh H A Hamid Zein, Pembimas Katolik Kanwil Kemenag Aceh Baron Ferryson Pandiangan, dan Pembimas Kristen Kanwil Kemenag Aceh Samarel.
Menurut Ketua YARA, Safaruddin SH, kesepakatan tahun 2001 di antara tokoh Islam dan Kristen di Aceh Singkil itu perlu diperbaharui karena tidak mengakomodir rumah ibadah umat Katolik.
“Demi rasa keadilan, kami pikir kesepakatan tahun 2001 tentang rumah ibadah Kristiani di Singkil perlu diperbaharui sehingga dimasukkan pengakuan terhadap gereja Katolik,” ujar Safaruddin saat mengawali diskusi yang dibuka oleh Kakanwil Kemenag Aceh, Dr. H. Iqbal Muhammad.
Diskusi yang diinisiasi oleh YARA terkait polemik rumah ibadah di Aceh Singkil, Selasa (12/7/2022). [Foto: dok. YARA]Safaruddin juga meminta Pj Gubernur Aceh untuk mengaktifkan kembali tim penyelesaian sengketa rumah ibadah di Aceh Singkil atau Tim TP4 yang pernah dibentuk pada tahun 2021.
“Tim TP4 itu kerjanya belum tuntas, masih pancong alias setengah, jadi harus diaktifkan lagi,” kata Safaruddin.
Senada dengan Ketua YARA Safaruddin, Pembimas Katolik Kanwil Kemenag Aceh, Baron Farryson Pandiangan, juga mengatakan bahwa belum terakomodir rumah ibadah Katolik dalam kesepakatan tahun 1979 dan 2001.
“Awalnya gereja Katolik di Singkil ada 4 unit, lalu pada tahun 2015 diminta untuk dibongkar 2 unit. Kami patuh pada pemerintah setempat dan menerimanya dengan lapang dada. Sekarang kami mohon agar gereja yang masih ada di Singkil agar dilegalkan,” ujar Baron.
“Perlu kesepakatan baru lagi sebagai bukti kehadiran pemerintah. Saya rasa harus ada political will dari Pj Gubernur dan Pj Bupati Aceh Singkil ke depannya,” papar Baron.
Sementara Pj Gubernur Aceh yang diwakili Mustafa dari Kesbangpol Aceh mengatakan, Pemerintah Aceh telah membentuk Tim TP4 untuk membantu penanganan polemik rumah ibadah di Aceh Singkil.
“Tim TP4 sudah melaksanakan beberapa tahapan dan turun langsung ke lapangan pada tahun 2021. Saya ikut turun langsung ke Aceh Singkil bersama tim,” kata Mustafa.
Sementara Ketua FKUB Aceh, Hamid Zein, mengatakan, tim TP4 yang ditugaskan membantu penyelesaian sengketa rumah ibadah di Singkil sudah habis masa kerjanya.
“Tim TP4 sudah membuat laporan ke Gubernur Aceh melalui Kepala Kesbangpol Aceh. Sebenarnya kami mempunyai sejumlah agenda lanjutan dalam membantu penyelesaian polemik rumah ibadah di Aceh Singkil,” kata Hamid Zein.
Pada sesi pembukaan, Kakanwil Kemenag Aceh, Dr Iqbal meminta agar polemik rumah ibadah di Singkil untuk tetap diselesaikan di Aceh dan jangan sampai tergiring oleh pihak tertentu untuk dilaporkan ke luar wilayah provinsi Aceh.
Diskusi dihadiri sejumlah wartawan dan, aktivis LSM dan pegiat agama di Aceh. [*]