Beranda / Sosok Kita / Durratul Baidha, Sosok di Balik Keterbatasan Yang Bangkit Membangun Komunitas

Durratul Baidha, Sosok di Balik Keterbatasan Yang Bangkit Membangun Komunitas

Minggu, 20 Desember 2020 13:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Alfi Nora
Foto : Istimewa 

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Lahir dan besar di sekolah biasa, berpaku di Kecamatan sendiri karena terkendala biaya, ingin sekolah di tempat yang megah, tetapi akhirnya ia percaya semua sekolah itu baik tergantung bagaimana cara seseorang mampu menjadikan dirinya lebih baik. 

Hidup dengan keterbatasan sudah biasa tetapi tidak dengan keterbatasan gerak. Ia dipaksa oleh keadaan untuk berjuang dengan langkahnya sendiri. Sekolah dengan modal uang jajan dari hasil jualan, dari hasil menang lomba. Semua itu terbentuk karena kebiasaan. Hidup tidak indah jika hanya mengeluh pada keadaan. Hidup akan terus berjalan, sedangkan manusia hanya ingin mengeluh saja.

Begitulah yang dikatakan oleh Durratul Baidha, mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Unsyiah asal Indrapuri Aceh Besar, saat dihubungi Dialeksis.com, Minggu (20/12/2020).

Mulai dari SD ia sudah belajar mandiri, ke sekolah membawa kue untuk menambah uang jajan. Hingga akhirnya ia bisa kuliah keluar dari Kecamatan meski tidak keluar daerah. Ia percaya, bisa sukses di manapun jika ada keberanian dan siap melawan semua ketakutan, mulai dari ketakutan akan keuangan, cibiran dan ketakutan karena tatapan sinis org lain.

Selain kuliah, ia menyempatkan waktu untuk menerima project buku, menjadi editor dan mendampingi dosen menulis, juga mengajar di beberapa sekolah, sebagai guru pengganti dan guru tetap ekstrakurikuler menulis.

“ Aktif juga di beberapa organisasi kampus dan luar kampus. Alhamdulillah sudah mendirikan dua komunitas yang sedang bertumbuh yaitu Tersenyum ID yang fokus pada pengembangan bakat dan minat anak-anak dan literacy Club yang fokus pada pengembangan literasi pemuda,” ujar Durratul.

Semua yang dilakukan tidak serta merta hadir dan bisa berjalan begitu mulus, tentu ini karena lingkarannya yang begitu baik. Ia juga berkesempatan hadir dalam lingkaran Etos ID,

“ Beasiswa saya yang mengajarkan untuk tetap semangat menebar manfaat. Kontribusi, ilmu pasti, harus selalu berjalan lurus. Meski banyak tantangan semuanya harus dilewati dengan melihat peluang,” ucapnya.

Selama ini, dirinya selalu memastikan capaian yg diperoleh meski sedikit tetapi bisa berdampak pada diri sendiri dan orang lain. Semisal mendapatkan banyak juara, tidak ada gunanya jika ilmu juara itu tidak pernah ditebarkan kepada orang lain.

“Sebenarnya semakin banyak prestasi semakin besar amanah kita. Alhamdulillah pernah beberapa kali menang lomba kepenulisan lokal dan nasional, tulisan dimuat di beberapa media. Capaian yg paling memuaskan batinku adalah bisa membangun komunitas,” kata Durratul.

“ Setiap orang mempunyai capaian yg berbeda dengan ruang berbeda. Saya merasa membangun komunitas adalah hal terberat yg pernah saya perbuat, karena komunitas bukan sekadar prestasi dalam satu hari, harus bertumbuh berbulan-bulan untuk mengembangkan komunitasnya,” tambahnya.

Baginya, mengatur waktu, mengelola tim agar terus bisa maju bersama-sama itu tidak mudah, tetapi terasa indah jika dijalani dengan pikiran yg megah.

Tidak hanya itu, dari kecil dirinya selalu dianggap remeh sama teman-temannya, punya tubuh yang kecil, punya wajah yang pas-pasan, sering sekali menjadi bahan ejekan, dengan sebutan “ bibir dower" dari dulu hingga sekarang.

“ Sejak itu, saya jadi memilih milih kawan, jadinya nggak bersyukur saat berteman dengan orang-orang cantik yang menjadi pusat perhatian. Saya mulai menata hati dengan menerima bagaimanapun bentuk fisik saya,” ucapnya.

Dari cemoohan orang-orang yang terus-menerus menghinanya, ia buktikan dengan prestasinya menjadi juara kelas, pembina upacara bendera, melatih kemampuan public speaking. Lalu apakah dirinya akan dipuji? Tidak.

Tidak menerima pujian melainkan cacian yang semakin berat. Semakin ia memborong juara kelas dan piala-piala semakin dicaci.

“ Pernah dengan perkataan, “Sini bibir kutampar biar makin dower, bibir kok kayak ember,” tersudut terpojok, tentu! apakah dengan bentuk fisik seperti ini adalah mauku,” sebut Durra.

Saat ini, ia tetap masih berkarya, berprestasi tanpa peduli omongan orang lain, sebab yang melihatnya punya kemampuan adalah gurunya bukan mereka yang mencibir fisiknya.

“ Sekarang saya percaya, saya cantik dengan bentuk fisik yang Allah kasih, saya bisa cantik karena ilmu, karena pengalaman dan akhlak yg baik yang dimiliki. Percayalah, Jika kamu tidak punya paras sempurna di mata orang, setidaknya punya ilmu yang akan terasa sangat cantik. Kecerdasanmu menentukan secantik apa kamu di depan orang lain,” pungkasnya.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda