kip lhok
Beranda / Opini / Reformasi Qanun Aceh

Reformasi Qanun Aceh

Sabtu, 18 Maret 2023 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Muhammad Ridwansyah. [Foto: dok pribadi]


DIALEKSIS.COM | Opini - Artikel ini ditulis atas perdebatan klausul Qanun Aceh dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang ingin dirubah dalam penguatan konten norma qanun Aceh. Definisi Qanun Aceh dalam norma UUPA yang lama menjelaskan bahwa Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. 

Sedangkan dalam usulan norma baru Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan berfungsi sebagai peraturan pelaksana dari undang-undangan pemerintahan Aceh. Perdebatan ini tentu menarik karena kanal UUPA banyak diberikan melalui Qanun Aceh semestinya, Qanun Aceh wajib selesai dah sah di DPRA dan Pemerintah Aceh sehingga self-government Aceh yang menjadi cita-cita MoU Helsinki tercapai dengan baik.

Kembali pada istilah qanun sebenarnya berasal dalam kamus besar bahasa Indonesia dikenal dengan nama kanun yang diartikan sebagai undang-undang, peraturan, kitab undang-undang, hukum dan kaidah. Perspektif bahasa Arab dijelaskan bahwa qanun adalah undang-undang, kebiasaan atau adat. 

Sedangkan pandangan rakyat Aceh menjelaskan bahwa qanun merupakan suatu aturan hukum atau penamaan suatu adat telah lama dipakai dan telah menjadi bagian dari kultur adat dan budaya Aceh. Aturan-aturan hukum dan juga adat yang dikeluarkan oleh Kerajaan Aceh banyak dinamakan Qanun. Di beberapa negara-negara Islam qanun disamakan atau disetarakan dengan undang-undang dalam negeri modern konstitusional sekarang.

Secara normatif yuridis, munculnya qanun baru pada tahun 2001 dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pasal 1 angka 8 undang-undang a quo menyatakan “Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah peraturan daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus. Setelah diberikan kewenangan pelaksanaan undang-undang maka dimulai membentuk beberapa qanun kala itu. 

Qanun Aceh yang banyak disoroti secara nasional dan internasional mengenai qanun syari’at Islam antara lain: Qanun Prov. NAD No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya, Qanun Prov. NAD No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir, dan Qanun Prov. NAD No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat.

Namun posisi qanun saat itu masih belum dikenal dalam sistem ilmu perundang-undangan yang ada di Indonesia, perjalanan Qanun Aceh masih terjal dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan masih menjelaskan dan menyamakan secara hierarki setara dengan peraturan daerah lainnya. Seharusnya ada posisi yang berbeda dalam materi muatan qanun yang telah diamanah oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001.

Paska pengesahan MoU Helsinki dan dengan disahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Cakupan Qanun Aceh menjadi luas bahkan bisa diklasifikasikan menjadi dua kategori: 

Pertama, Qanun Aceh yang bersifat umum yang mengatur tentang peraturan umum pemerintahan di Aceh. Sedangkan Qanun Aceh yang bersifat khusus mengatur tentang materi kekhususan dan keistimewaan yang ada di Aceh. Qanun dalam UU No. 11 Tahun 2006. 

Kedua, rancangan qanun Aceh masih harus melalui Kementerian Dalam Negeri dan dievaluasi agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferior). Seharusnya pengajuan sah suatu Qanun Aceh tidak lagi di Pemerintah Pusat, Qanun Aceh selesai di Aceh dengan diatur oleh Peraturan Pemerintah mengenai tentang tata cara pembuatan Qanun Aceh sehingga kewenangan Pemerintah Pusat yang bersifat absolut tidak diabaikan begitu saja.

Era sekarang Qanun Aceh sudah sangat baik sejak 16 tahun ini, perubahan itu banyak merubah perilaku masyarakat Aceh terutama reformasi Qanun Aceh baik itu legal substance, legal structure, dan legal culture. Legal substance Qanun Aceh sudah sangat menjiwai rakyat Aceh meliputi aturan tertulis dan tidak terulis. Dapat dijadikan dasar untuk diterapkan dan ditegakkan dengan demikian pola perilaku rakyat Aceh dalam bermasyarakat akan mematuhi norma qanun yang berlaku. 

Dalam tataran sejarah juga dijelaskan bahwa qanun Aceh sudah lama hidup dalam tata kehidupan rakyat Aceh, yang dibutuhkan bagaimana qanun Aceh menjadi pengembangan hukum dan membawa rakyat Aceh semakin taat terhadap norma-norma yang ada dalam qanun. Salah satu Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah menjadi terobosan baru dari sisi materinya bahkan lebih maju selangkah dari penerapan KUHP. 

Legal substance rakyat perlu diperkuat lagi secara terpadu agar pelaksanaanya semakin sempurna. Namun yang perlu dikembangkan dari legal substance qanun adalah pengesahan qanun Aceh dan inkcrah langsung di Aceh tidak lagi ada hubungannya dengan Kementerian Dalam Negeri walaupun dalam harmonisasi supaya tidak tumpang tindih dengan qanun-qanun lain diperlukan.

Legal structure Qanun Aceh, menanamkan institusionalisasi dari entitas-entitas hukum. Struktut penegakan hukum yang ada di Aceh baik itu Mahkamah Syar’iyyah Aceh, Wilayatul Hisbah, Penyidik (Polisi), dan Penuntut Umum (Jaksa). Dalam tataran norma memang sudah diamanahkan dan dibentukan struktur hukum di Aceh dan ada pembeda dengan daerah-daerah lain tetapi perlu penguatan kembali, bagaimana seharusnya pengadilan yang ada di Aceh. 

Khusus di Aceh harus ada penyatuatapan peradilan sehingga lembaga peradilan di Aceh hanya satu yakni Mahkamah Syar’iyyah Aceh yang membawahi kamar-kamar peradilan seperti pengadilan negeri (PN), pengadilan tata usaha negara (PTUN), dan pengadilan militer (PM-1). 

Tetapi dalam konteksi kasasi tetap dibawah Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi negara dalam konteks kekuasaan kehakiman dan bebera pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Kemudian Wilayatul Hisbah dan Polri harus disatuatapkan sehingga nama kepolisian di Aceh berbeda namun dalam bingkai NKRI. Hal ini sebenarnya bagian dari penguatan konten norma UUPA dalam konteks MoU Helsinki.

Terakhir, legal culture Qanun Aceh untuk menjelaskan hubungan antara perilaku sosial dalam kaitannya dengan hukum. Artinya peran dan hukum selama qanun Aceh berlaku di Aceh. Artinya pembangunan dan pengembangan budaya hukum diarahkan untuk membentuk sikap dan perilaki anggota masyarakat termasuk para penyelenggara negara sesuai dengan nilai norma kekhususan dan keistimewaan rakyat Aceh. 

Legal culture Qanun Aceh juga diharapkan mampu membangun kesadaran untuk makin menghormati dan menjunjung tinggi HAM diarahkan pada pencerahan harkat dan martabat manusia. Ditujukan untuk terciptanya, ketentraman, ketertiban,dan tegaknya hukum. Dapat dipahami bahwa Qanun Aceh sejatinya membangun kesadaran hukum penyelenggaraan special region Aceh dan rakyat Aceh perlu ditingkatkan dan dikembangkan secara terus menerus.

Perkembangan pengaturan Qanun Aceh sudah banyak dirasakan baik itu Qanun Jinayah, Qanun LKS, Qanun Konservasi Bank Aceh ke sistem syariah, dan beberapa qanun lain. Penerapan Qanun Aceh demi kemaslahatan hidup manusia, baik rohani ataupun jasmani, individual, dan sosial bagi rakyat Aceh. 

Bahwa reformasi Qanun Aceh untuk memperkuat kedudukan Qanun Aceh dalam penyelenggaraan sistem penyelenggarran Aceh yang memang bersifat khusus dan istimewa. Qanun Aceh harus menjadi pintu keran pelaksana terkait derivasi UUPA. Jika tidak demikian maka Qanun sebagai pengaturan pelaksana semakin sulit untuk menjalankan UUPA dan mindset Pemerintah Pusat tetap mengatakan Qanun Aceh sama dengan Peraturan Daerah.

Penulis: Muhammad Ridwansyah*

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda