Beranda / Opini / Alarm Literasi Aceh Carong

Alarm Literasi Aceh Carong

Jum`at, 17 Maret 2023 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Feri Irawan

Feri Irawan, S.Si, M.Pd, Kepala SMKN 1 Jeunieb dan Ketua IGI Daerah Bireuen. [Foto: for Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Tidak bermaksud menguburkan situasi iklim literasi sekolah, literasi keluarga, dan literasi masyarakat Aceh saat ini. Sekedar sebagai otokritik dan rekonstruksi tradisi literasi, bahwa praktek literasi Aceh Carong mengalami trend menurun. Fakta kasat mata, hampir setiap hari, di lembaga pendidikan, warung kopi, dan tempat-tempat umum lainnya, kaum intelektual millenial Aceh ternyata lebih nyaman belajar secara instan (google) daripada membaca media cetak dan belajar dari buku yang lengkap.

Berdasarkan data Pustaka Wilayah Aceh tahun 2022, pasalnya, sepanjang Januari - November tahun 2022 jumlah pengunjung Pustaka Wilayah Aceh hanya sebanyak 63.615 pengunjung. Jumlah ini terbilang memprihatinkan, bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. 

Berdasarkan data yang dikutip dari BPS Aceh tahun 2022, jumlah penduduk dari kedua daerah ini sebanyak 672.125 jiwa, dan belum lagi bila dibandingkan dengan penduduk Aceh 5,4 juta jiwa. Artinya, hanya 9,4 persen warga Kota Banda Aceh dan Aceh Besar yang berkunjung ke Pustaka Wilayah. Belum lagi bila dikalkulasi dengan jumlah siswa dan mahasiswa berbagai sekolah dan perguruan tinggi lainnya yang dekat dengan gedung Pustaka Wilayah.

Rendahnya pengunjung ke Pustaka Wilayah Aceh dan minimnya minat warga membaca selaras dengan data yang dikeluarkan BPS tahun 2022. Diketahui tingkat minat baca masyarakat Indonesia secara umum berada pada angka 59,52 dengan durasi membaca antara 4-5 jam perminggu. Budaya membaca di Indonesia sampai saat ini masih belum menjadi kebiasaan atau kita kenal dengan istilah reading habbit.

Selaras dengan Survei Indeks Literasi Digital Nasional yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bersama Katadata Insight Center pada 2022 menyebutkan skor atau tingkat literasi digital masyarakat Indonesia sebesar 3.54 dari 5.00. Walaupun angka tersebut meningkat 1,43% atau 0,05 poin dibandingkan tahun 2021 yang sebanyak 3,49 poin, justru indeks literasi digital Aceh menurun dari sebelumnya 3,57.

Fakta lain, data statistik dari UNESCO tahun 2019 menyebutkan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Ini merupakan jumlah yang memprihatinkan, ternyata budaya membaca di Indonesia masih sangat rendah.

Reading habbit. [Foto: by VRN/Getty Images]

Jika tahun 2021 indeks literasi digital Aceh di peringkat 9 nasional, tahun 2022 peringkatnya terjun bebas keluar dari 15 besar nasional. Hal yang menggembirakan, untuk tingkat kegemaran membaca tahun 2022, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI) menempatkan provinsi Aceh pada peringkat 8 dengan 65,85 poin.

Ironisnya, berdasarkan data dari DataIndonesia.id, Indonesia menjadi negara urutan kelima pengguna smartphone terbanyak di dunia pada 2022 setelah Cina, India, dan Amerika. Tercatat ada 192,15 juta pengguna smartphone di Indonesia sepanjang tahun lalu. Meski minat baca rendah tapi orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. 

Ya, nyaris sepanjang hari. Aktivitas paling padat hanya kicauan di media sosial. Bayangkan saja, ilmu minimalis, malas baca buku, tapi sangat suka menatap layar gadget berjam-jam, ditambah paling cerewet di media sosial, maka jangan heran jika Indonesia jadi sasaran empuk untuk info provokasi, hoax, dan fitnah.

Padahal dalam rangka meningkatkan literasi masyarakat, sejak 2016 pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah meluncurkan program Gerakan Literasi Nasional yang terdiri dari Gerakan Literasi Sekolah (GLS), Gerakan Literasi Keluarga, dan Gerakan Literasi Masyarakat. Melalui terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23/2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, yang mana salah satu tujuannya berupaya untuk memperkuat budaya literasi siswa.

Rekontruksi Literasi Sekolah

Mengakui atau tidak, realitasnya saat ini, rendahnya budaya literasi di sekolah disebabkan siswa hanya disuruh membaca, sedangkan guru masih sebatas menyuruh mereka untuk membaca. Guru tidak tergerak untuk menjadi pelaku membaca.

Menurut Lenang Manggala Founder Gerakan Menulis Buku Indonesia, cara terbaik untuk meningkatkan kualitas karakter, kompetensi dan kesejahteraan hidup seseorang, adalah dengan menanamkan budaya literasi (membaca-berpikir-menulis-berkreasi). Untuk menanamkan budaya literasi yang kuat pada seseorang pastinya dengan menjadikannya sebagai seorang penulis. Karena setiap penulis, secara otomatis akan melewati tahapan membaca, berpikir, dan tentu saja menulis serta berkreasi.

Lalu apa yang harus dilakukan sekolah? Pertama, meningkatkan pelayanan di dalam perpustakaan sekolah. Saatnya sekolah beralih ke perpustakaan yang mengacu konsep pustaka abad 21 atau pustaka 4.0 sehingga menjadi motivasi siswa mengunjungi pustaka. Misalkan, menjadikan pustaka sekolah sebagai “Mall Baca” di mana pustaka tidak hanya baca buku dan pinjam buku saja tapi juga dilengkapi dengan sarana pendukung lainnya seperti e-katalog, pojok pajangan kerajinan, cafetaria, fasilitas tontonan, dan lainnya.

Koleksi buku perpustakaan harus bervariasi, jangan lagi didominasi buku paket yang membuat para siswa kehilangan minat baca. Upayakan fasilitas di ruang perpustakaan tidak sumpek, sempit, dan kekurangan ventilasi udara sehingga para siswa merasa tidak betah berada di sana. Selain itu, buku-buku juga harus tertata secara teratur untuk kenyamanan pembaca.

Kedua, memperbaiki pola pembelajaran di sekolah. Misalnya dalam proses pembelajaran guru memberikan suatu permasalahan dalam proses pembelajaran tersebut yang kemudian dapat didiskusikan secara bersama-bersama dengan para siswa sehingga dapat mendorong siswa tersebut untuk menggali lebih banyak lagi informasi melalui aktivitas membaca. Jarangnya kegiatan diskusi atau pemberian suatu permasalahan tentang materi yang sedang dibahas untuk kemudian diselesaikan bersama-sama juga dapat membuat siswa tidak termotivasi untuk mencari informasi dari sumber yang lain dan tidak terlatih untuk menambah pengetahuan dengan membaca serta membuat pengetahuan yang dimiliki para siswa menjadi terbatas.

Ketiga, menjadikan guru sebagai role model guru bagi siswa dalam hal membaca. Masih ada beberapa guru yang belum menjadikan membaca sebagai kebutuhan dalam pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari pemanfaatan waktu luang di sekolah bagi para guru dan tendik. Tidak banyak guru yang mengisi waktu luang untuk membaca. Kebanyakan kalangan guru mengisi waktu luangnya dengan aktivitas kicauan di medsos, mengobrol, bersenda gurau, atau kegiatan lainnya yang tidak berhubungan dengan aktivitas membaca sehingga siswa pun tidak memiliki teladan dari kalangan guru dalam hal gemar membaca.

Jangan pernah mengabaikan, menafikkan proses literasi. Karena aktivitas literasilah yang melahirkan perubahan peradaban. Peradaban kuno, tradisional-konservatif menuju perubahan modern karena pengaruh gerakan literasi. [**]

Penulis: Feri Irawan, S.Si, M.Pd (Kepala SMKN 1 Jeunieb dan Ketua IGI Daerah Bireuen)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda