Beranda / Opini / Memperingati dan Mengenang Teungku Syiah Kuala

Memperingati dan Mengenang Teungku Syiah Kuala

Sabtu, 03 September 2022 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +


[Foto: Kompas]

Menyambut Milad ke 61 Universitas Syiah Kuala ( 1961 - 2022 ): MEMPERINGATI DAN MENGENANG TEUNGKU SYIAH KUALA

-Oleh: T.A. Sakti


ALHAMDULILLAH, selamatlah gelar tokoh ulama besar Syiah Kuala bagi nama sebuah universitas perdana di Aceh, yaitu Universitas Syiah Kuala (USK). Pergantian singkatan Unsyiah kepada “USK” tidaklah berpengaruh kepada nama besar Syekh Abdurrauf alias Syiah Kuala. Itulah suatu keputusan yang bijak yang dapat dirasakan bagi kita pecinta Universitas Syiah Kuala!.

Namun, sayangnya keagungan tokoh Teungku (Tgk.) Syiah Kuala ini masih kurang diperkenalkan secara utuh ke khalayak dunia hingga hari ini!.

Patut kiranya ke depan, dalam rangka memperingati Hari Milad Universitas Syiah Kuala dilaksanakan berbagai acara terkait Syekh Abdurrauf-Teungku Syiah Kuala.

Banyak hal yang dapat diangkat dari tokoh ulama Besar Aceh ini, seperti dari profil pribadi yang amat haus ilmu, sampai 19 tahun belajar di Tanah Arab pada puluhan guru besar dan belasan Dayah. Sebelumnya, tentu sudah bertahun-tahun belajar di Aceh.Serta menghasilkan karya tulis yang cukup banyak dan terwariskan hingga sekarang , juga mampu mendamaikan konflik agama dan politik di Kerajaan Aceh Darussalam. 

Selain itu; pameran kitab-kitab beliau, mencetak ulang karya-karya itu, berziarah ke makam Tgk Syiah Kuala, Seminar pengaruh pemikiran Tgk .Syiah Kuala di dunia Islam dan Asia Tenggara, lomba mengarang dan baca cae-puisi tentang sosok beliau dan sebagainya. 

Kapan hal demikian kemungkinan berlangsung???.

Mudah-mudahan pada Perayaan Hari Milad 60 Universitas Syiah Kuala (USK ) bulan September tahun 2021 ini nanti!!!.

Berikut ini saya sampaikan bagaimana nenek moyang kita mengenang dan memperingati sosok Teungku Syiah Kuala. Walaupun, tak mungkin dicontoh keseluruhannya, paling kurang dapat terkail inspirasinya!.

Peristiwa mengenang atau memperingati ulama besar Syiah Kuala, sejauh yang sudah saya ketahui pada empat buah kampung. Saya yakin, hal serupa juga berlangsung di berbagai kampung lain di Aceh, tapi belum ada pihak yang mau meliputnya!.                                 

Gampong pertama adalah Gampong Tampieng Baroh, Mukim Caleue, Kecamatan Indra Jaya, Kabupaten Pidie. Gampong kedua dan tiga, adalah gampong Dayah Muara dan gampong Sawiet, yang keduanya dalam kecamatan Pekanbaro, Kabupaten Pidie.

 Informasi ‘peumulia’( memuliakan) Teungku Syiah ini saya peroleh dari Drs. Zulkifli AZ alias Pak Joel, yang pernah menjadi Teungku Imum di gampong Tampieng Baroh. Saya mewawancarai Pak Joel beberapa waktu lalu.

Penduduk Tampieng Baroh memiliki sebuah Meunasah( Langgar) yang sejak dulu bernama Meunasah Teungku Syiah. Dinamakan demikian, karena dipercaya Tgk Syiah pernah hadir dan bersembahyang di Meunasah itu. Beberapa tahun lalu, saya sempat melihat sendiri bangunan asli Meunasah Teungku Syiah, walaupun sudah ‘dipojokkan’ di pinggir halaman meunasah karena sudah dibangun Meunasah baru.

Beberapa tiang dari bangunan lama Meunasah Teungku Syiah juga masih terlihat utuh. Sebuah batu yang dipercaya pernah ditapaki(diinjak) Tgk Syiah untuk naik ke Meunasah masih ada sampai hari ini.

 Dulu, bila orang hendak naik ke Meunasah harus mencuci kaki(sekalian berwudhuk) di sumur, kemudian melangkah di atas batu sebagai alas tapak kaki hingga ke tangga Meunasah. Salah satu batu itulah yang masih dijumpai di Meunasah itu yang digelari “batee Teungku Syiah”( batu Teungku Syiah).

Menurut kisah turun-temurun masyarakat setempat, Tgk Syiah yang dianggap pernah mengunjungi kampung mereka adalah Syekh Abdurrauf, yang juga bergelar Teungku Syiah Kuala.

Menurut Drs. Zulkifli AZ , kampung lain yang juga dipercaya pernah didatangi Tgk Syiah adalah gampong Dayah Muara dan gampong Sawiet. Meunara yang disebut Muara tempat mengumandangkan azan itu masih berdiri kokoh sampai sekarang. Ketiga kampung itu letaknya bertetangga.

Sebab itulah ketiga kampung ini setiap tahun selalu mengadakan “Khanduri Teungku Syiah” dalam rangka mengenang dan mengambil berkah seumpeuna kunjungan ulama besar yang bergelar Tgk Syiah itu.

Oleh karena masyarakat setempat percaya, bahwa Tgk Syiah yang mereka hormati itu adalah Syekh Abdurrauf atau Teungku Syiah Kuala, maka berarti Kenduri (kenduri) Teungku Syiah telah berlangsung beberapa abad. 

Menurut pengalaman Pak Joel yang juga pernah menjadi dosen Universitas Jabal Ghafur (Unigha) Sigli, tradisi khanduri Tgk Syiah di kampungnya telah dilakukan cukup lama dan tak pernah putus.

Paling-paling hanya tata cara pelaksanaannya yang berubah sesuai perkembangan zaman. Pak Joel sendiri sudah menyaksikan lebih 30 kali khanduri Tgk Syiah, yakni sejak ia berkeluarga serta tinggal di gampong Tampieng Baroh.

Tempo dulu, acara kenduri Tgk Syiah berlangsung cukup bersahaja. Ketiga kampung itu melaksanakannya secara khusus sebagai upacara istimewa. Masing-masing rumah/keluarga mempersiapkan hidangan nasi- lengkap dengan lauk-pauknya untuk dihantarkan ke Meunasah. Tamu yang diundang adalah penduduk dari dua kampung bertetangga. 

Jika yang melangsungkan kenduri kampung Tampieng Baroh, maka warga kampung Dayah Muara dan Sawiet akan diundang ke Meunasah Teungku Syiah untuk menyantap kenduri. Begitu pula sebaliknya.

Namun, jika acara kenduri lebih besar, barulah warga di kampung-kampung lain turut diundang. Berarti mengundang warga dua kampung yang pernah disinggahi Teugku Syiah; nampaknya termasuk wajib.

Dalam pelaksanaan Khanduri Tgk. Syiah yang sudah bergantian abad itu, pernah pula dibuat kenduri tiga hari berturut-turut. Misalnya, hari pertama adalah kenduri Maulid, hari kedua merupakan khanduri Tgk Syiah, sedangkan di hari ketiga adalah khanduri blang(kenduri bersawah).

 Namun, beberapa tahun terakhir, khanduri Tgk Syiah sudah diserentakkan dengan kenduri maulid Nabi Muhammad Saw. Hingga kini, masyarakat sekitar masih menganggap ‘keuramat’ Meunasah Teungku Syiah itu.

 Hal ini terkesan dengan masih adanya orang-orang yang membayar nazar(peulheueh kaoy). Misalnya, bila tanaman padi di sawah diganggu hama tikus, maka warga pun bernazar ke Meunasah itu. Ketika nazar terkabul, maka mereka pun mengantar sejumlah kiloan padi buat dana abadi Meunasah Tgk Syiah.

Begitulah yang dipraktekkan masyarakat kampung Tampieng Baroh, Dayah Muara dan gampong Sawiet , Kabupaten Pidie sejak dulu sampai kini.

HANYA DENGAN PERNAH DISINGGAHINYA SEKALI KE KAMPUNG MEREKA OLEH SEORANG TEUNGKU SYIAH YANG AMAT DIHORMATI, MAKA MEREKA PUN TELAH MELANGSUNGKAN “KHANDURI TEUNGKU SYIAH” BERKALI-KALI BERGANTIAN ABAD!!!. 

Bila bagi masyarakat tiga gampong di Pidie mempunyai Meunasah Teungku Syiah dan Khanduri Teungku Syiah, maka bagi masyarakat Blang Oi, kota Banda Aceh juga punya kenangan tersendiri terhadap Syekh Abdurrauf-Teungku Syiah Kuala. 

Mereka memiliki Bale Teungku Syiah, yang tetap terpelihara turun-temurun sampai peristiwa tsunami Aceh, 26 Desember 2004. Bale itu terletak dalam komplek Meunasah Blang Oi.

Alkisah, diceritakan Tgk Syiah Kuala pernah mengunjungi kampung Blang Oi dan melangsungkan pengajian agama di balai itu. Dulu, di kawasan Meunasah Blang Oi, selain Bale Teungku Syiah juga terdapat Bale Panyang dan Bale Tambo (Balai Bedug). 

Sebagai kelaziman tempo dulu, Bale itu selain sebagai tempat pengajian, pada malam hari juga menjadi tempat penginapan bagi pemuda-pemuda lajang sekampung.

 Namun, bila tidur di Bale Teungku Syiah, mereka harus berlaku tertib, suci dan sopan. Bila melanggar, pasti ada peristiwa aneh yang bakal terjadi.

“Barangsiapa yang tidur tanpa mencuci pipis(hana rah iek), besok pagi kita lihat ia tertidur dalam rumput di halaman Bale Tgk. Syiah”, kisah Prof. Dr. Yuswar Yunus( sudah almarhum tahun 2020) kepada saya sambil ketawa terkekeh. Beliau penduduk asli gampong Blang Oi, Banda Aceh.

Buat mengenang kunjungan Tgk Syiah Kuala yang hampir empat abad lalu, sekarang dalam bekas areal Meunasah Blang Oi telah didirikan sebuah masjid yang bergelar Mesjid Syekh Abdurrauf al Singkily beserta sebuah yayasan yang diberi nama “Yayasan Syekh Abdurrauf al Singkily” pula. 

HAI INI MENUNJUKKAN, BEGITU BESAR PENGHARGAAN MASYARAKAT BLANG OI KEPADA ULAMA BESAR MEREKA; SYEKH ABDURRAUF “ TEUNGKU SYIAH KUALA, YANG SUDAH BERPULANG KE RAHMATULLAH LEBIH TIGA ABAD LALU.

Di negeri orang, termasuk di Jawa, jenis kisah berupa dongeng, legenda, haba jameun turun-temurun seperti ini terwariskan dengan cukup baik, karena sudah terkumpul dalam berbagai buku, filem dan alat-alat rekaman jejak lainnya.

Kini, kisah-kisah serupa di Aceh nyaris punah, karena tak ada pihak yang peduli …!


T.A. Sakti, Peminat naskah lama-sastra Aceh,

*Email: t.abdullahsakti@gmail.com

*Blog: www.tambeh.wordpress.com

*Youtube drahaceh

(Sumber: Rubrik Jurnalisme Warga Harian Serambi Indonesia, 11 Januari 2021, tentu setelah kena polesan manis dari sang Redaktur JW. Inilah artikel JW perdana saya dalam Serambi Indonesia).

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda