Beranda / Opini / Masalah Utama Aceh Itu Bernama “Kekhususan”

Masalah Utama Aceh Itu Bernama “Kekhususan”

Rabu, 28 September 2022 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Pemerhati Syariat Islam dan Sosial Politik, TM Jafar Sulaiman. [Foto: ist]

Betapa besar energi terbuang percuma dan sia-sia , energi yang seharus menjadi nuklir, namun berubah menjadi energi kincir untuk udang vaname. Kampus yang begitu besar, setiap tahun menerima ribuan intelektual, legacy-nya formalisasi syariat Islam, bukan pengetahuan.

Lain lagi dengan para kepala daerah. Kita sangat heran dan muak sekali, sampai detik ini masih ada kepala daerah di Aceh, yang dihadapan publik sering mengucapkan, "Saya mendukung sepenuhnya pelaksanaan syariat Islam di Aceh ".

kenapa mesti diucapkan, tanpa diucapkan pun itu memang sudah imperatif, sudah tanggung moral Anda sebagai seorang muslim, lalu mengapa kalimat-kalimat itu harus diucapkan dihadapan publik?

Cuma tanggung jawab moral Anda mendukung syariat Islam itu, bukan syariat Islam seperti di kepala Anda, syariat Islam untuk cambuk orang, syariat Islam untuk razia perempuan, syariat Islam yang selalu menyalahkan konser musik, syariat Islam untuk keuangan syariah yang eksklusif, tetapi syariat Islam yang rahmatan lil'alamin, syariat Islam yang mensejahterakan, syariat Islam yang menjaga lingkungan, syariat Islam yg membolehkan ada bioskop, membolehkan adanya konser musik.

Para politisi lain lagi kesehariannya. Para politisi yang modalnya ujian persamaan, yang modalnya premanisme, malas membaca, malas menganalisa, miskin gagasan, yang dimana-mana sering bicara akhirat, juga langsung tampil menjadi pembela agama, bukan pembela hak-hak rakyat. 

Politisi jenis ini paling suka dengan isu-isu agama , karena "low cost high profit", modal sekecil-kecilnya, bahkan tanpa modal sama sekali, mendapatkan keuntungan politik sebesar-besarnya. 

Lalu bagaimana dengan agamawan? Di Aceh, agamawan itu seperti yang dikatakan oleh Jalaluddin Rumi: "Para ahli-ahli fikih, para pembuat hukum itu sebenarnya membuat hukum untuk diri mereka sendiri, tidak ada hubungan sama sekali dengan Tuhan, supaya tidak ada orang yang berzina, supaya tidak ada orang yang mabuk, supaya tidak ada orang yang berjudi, supaya mereka tenang dan tidak ada yang mengusik, jadi tujuannya untuk mereka sendiri, tidak ada hubungan sama sekali dengan Tuhan”. Seperti inilah gambaran yang terjadi di Aceh.

Politisi, akademisi, birokrat yang kaya gagasan, kaya ide, brilliant, tidak akan pernah tampil menjadi pembela agama, tidak akan pernah muncul sebagai pembela formalisasi syariat, tetapi mereka tampil sebagai pembela kemajuan, pembela kesejahteraan, pembela kebebasan berekspresi. Lalu jika kita menemukan ada politisi, akademisi, birokrat yang sering bicara "hormatilah kekhususan Aceh..Aceh berbeda..dan sebagainya ", maka tidak perlu dianalisa lagi, bisa dipastikan bahwa mentalnya bermasalah dunia dan akhirat dan pasti tidak pernah mau berfikir untuk memajukan Aceh dan hanya berfikir untuk memajukan dirinya sendiri. 

Di dunia ini, narasi yang paling ambigu dan paling bermasalah adalah "kekhususan Aceh", karena ini paling bertentangan dengan spirit Islam rahmatan lil'alamin. 

Dalam kasus pendirian rumah ibadah misalnya, mereka-mereka ini selalu bicara, “hormatilah kekhususan Aceh”, memang kekhususan Aceh itu apa?

Jika kekhususan Aceh itu memang Syariat Islam, lalu mempersulit pendirian ruma ibadah apa itu Islam rahmatan lil’alamin? Menghambat dan mempersulit para seniman, budayawan, pekerja seni, untuk mengekspresikan kebebasan karya-karyanya? Apakah ini rahmatan lil’alamin ? Apa model kekhususan begini yang selalu dibangg-banggakan. 

Padahal di akhirat pun tidak akan ada pertanyaan apa kekhususan Aceh. 

Selanjutnya »      Jika ada yang melabelkan “anti syari...
Halaman: 1 2 3
Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda