Beranda / Opini / Kuasa Modal dan Harapan Kepemimpinan Baru

Kuasa Modal dan Harapan Kepemimpinan Baru

Jum`at, 23 September 2022 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Jabal Ali Husin Sab. [Foto: For Dialeksis]


Saya termasuk salah satu yang mengapresiasi lompatan ekonomi pemerintahan Orde Baru setelah keterpurukan ekonomi yang parah di jaman Orde Lama. Keberhasilan capaian ekonomi ini tidak terlepas dari para begawan ekonomi lulusan luar negeri khususnya Amerika Serikat yang direkrut oleh Pak Harto ke dalam pemerintahan. Sebagian dari mereka menduduki posisi di Bappenas untuk menyusun konsep perencanaan pembangunan nasional.

Namun saya melihat ada suatu kesalahan fatal yang dampaknya kita rasakan hari ini akibat dari kebijakan privatisasi ekonomi, dalam istilah lain individualisme ekonomi atau kebijakan ekonomi liberal jaman Orde Baru. Kebijakan ekonomi liberal Orde Baru telah melahirkan konglomerasi ekonomi oleh minoritas namun mendominasi keseluruhan ekonomi Indonesia.

Di bawah rejim Orde Baru, mereka bergerak di bawah kontrol Pak Harto sekaligus mendapatkan privilige oleh rejim untuk bisa eksis dan mendominasi. Hanya saja Pak Harto yang memerintah dengan pola “otoriter-sultanistik” mampu mengontrol kongkomerasi di bawah kendali pemerintah.

Di jaman SBY situasi politik cenderung berjalan ke arah yang lebih stabil dan demokratis. Secara ekonomi, Indonesia mampu bergerak ke arah yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat rata-rata enam persen per tahun. Meskipun konglomerasi eksis, namun kebijakan pro-rakyat diantaranya berbagai subsidi dan penyaluran BLT mampu menekan laju ketimpangan ekonomi. Persentase kemiskinan dan pengangguran pun menurun secara signifikan.

Apabila kita melihat pada kondisi hari ini, konglomerasi telah mampu mengontrol biduk catur politik dengan melahirkan kebijakan yang pro konglomerasi dan tidak berpihak pada rakyat. Hal tersebut menjadi titik tolak mengemukanya kekuatan ekonomi-politik hari ini yang kita kenal dengan istilah oligarki.

Artinya, negara kita dijalankan secara oligarki oleh konglomerasi dengan jalan yang cenderung eksploitatif. Salah satu bentuknya adalah kemudahan korporasi dan konglomerasi dalam mengekalkan dominasinya di negara kita melalui kebijakan semisal Omnibus Law.

Omnibus Law mengesampingkan sejumlah aturan hukum di dalam undang-undang lain yang diatur secara spesifik, membuat undang-undang tersebut batal secara hukum - demi kepentingan dunia usaha kononnya - yang paling diuntungkan dari lahirnya undang-undang ini adalah para oligarki.

Harapan Kepemimpinan Baru

Untuk keluar dari keadaan yang tidak menguntungkan bagi rakyat kecil, ke depan kita butuh pemimpin yang berani melakukan intervensi politik dan punya komitmen kuat dalam mengontrol korporasi-konglomerasi melalui pengegakan aturan hukum yang berpihak kepada masyarakat luas.

Pemerintahan yang kuat perlu memegang fungsi kontrol terhadap konglomerasi dan bukan sebaliknya, malah dijadikan objek yang dikontrol oleh oligarki.

Keadaan negara hari ini merujuk pada skema ilmuwan politik Migdal adalah: weak state vis a vis strong society. Society disini adalah minoritas elit ekonomi yang mendominasi ekonomi kita. Ini adalah pola oligarki Indonesia yang sangat mungkin mengarah pada kekalnya ketimpangan sosial dan ekonomi dan jauh dari harapan pemerataan pembangunan.

Indonesia membutuhkan pemimpin yang memiliki komitmen untuk kepentingan rakyat kecil. Di saat pemerintah perlu memastikan laju pertumbuhan ekonomi yang baik dengan kemudahan akses investasi bagi korporasi, di sisi lain pemerintah juga perlu memastikan kestabilan ekonomi di sektor riil, salah satu contoh adalah dengan memastikan ketersediaan dan kestabilan harga bahan pokok bagi rakyat.

Keadilan ekonomi di negara kita harus diwujudkan dengan tidak hanya memihak pada kepentingan korporasi dan investor, tapi juga memastikan terwujudnya kesejahteraan rakyat banyak, dengan memastikan penyaluran subsidi tetap berlangsung, misalnya.

Untuk itu kita butuh pemimpin yang konsisten terhadap isu kesejahteraan rakyat dan berani mengontrol konglomerasi agar tidak mengintervensi kebijakan politik yang dapat merugikan rakyat.

Pemimpin yang diharapkan lahir adalah pemimpin yang memegang teguh nilai keadilan sosial bagi rakyat Indonesia, sebagaimana bunyi sila kelima dalam Pancasila. Untuk itu kita butuh pemimpin yang tidak hanya pro kepada perrumbuhan ekonomi makro, tapi juga pro pada stabilitas dan kesinambungan ekonomi di seluruh lapisan sosial. Dengan demikian, implementasi nilai-nilai pancasila dapat kita wujudkan di segala aspek, termasuk dalam bidang ekonomi. Jangan sampai Pancasila hanya menjadi jargon politik yang nihil implementasi.

Salah satu faktor yang dapat mengontrol oligarki adalah kepemimpinan yang mampu menjalankan penegakan hukum yang kuat. Yaitu dengan memastikan lahirnya aturan hukum yang bersumber dari aspirasi masyarakat. Setiap pembahasan undang-undang harus melibatkan banyak pihak dan harus lahir dari persetujuan publik. Untuk itu pemerintah perlu memastikan partisipasi politik dalam proses lahirnya undang-undang.

Partisipasi politik tidak akan terwujud apabila pemerintah tidak punya komitmen yang kuat terhadap demokrasi. Dengan memastikan aturan hukum lahir secara demokratis, maka kuasa oligarki pun dapat terkontrol.

Untuk mewujudkan hal tersebut, tidak hanya membutuhkan terwujudnya pemerintahan yang baik. Tapi juga butuh pemerintahan di bawah kepemimpinan yang berani, adil dan independen. Tanpa independensi dan keberanian di hadapan kuasa modal, akan sulit bagi pemimpin untuk memastikan terwujudnya keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.

* Oleh: Jabal Ali Husin Sab (Penulis adalah Pengurus Partai Demokrat Provinsi Aceh).

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda