Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Polemik Pelaksanaan Pemilu 2024, Sesuai UU atau?

Polemik Pelaksanaan Pemilu 2024, Sesuai UU atau?

Rabu, 13 Oktober 2021 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baga

Ilustrasi Pemilu. [Foto: Ist]

Wacana TNI dan Polri

Hingar bingar Pilkada serentak telah memunculkan wacana untuk menunjuk perwira tinggi TNI dan Polri memegang kekuasaan tentatif di daerah. Salah satu faktor pertimbangannya, tak lain karena faktor keamanan dan stabilitas sosial politik lokal.

Pj atau Pjs dari unsur TNI/Polri dianggap dapat lebih mudah melakukan kerja - kerja koordinasi pengamanan di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. Posisi Pj dianggap rentan jika diisi sekda setempat karena dikhawatirkan ada pengerahan Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk memilih kandidat tertentu.

Menurut Aryos Nivada, akademisi, pengamat politik dan keamanan, menyebutkan, bila merujuk pada Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada, kekosongan jabatan gubernur harus diisi dengan Penjabat yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya.

Definisi pimpinan tinggi madya telah disebutkan pada Pasal 19 ayat (1) huruf b UU ASN yaitu: Sekretaris jenderal kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga non-struktural, direktur jendral, deputi.

Inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, kepala sekretariat presiden, kepala sekretariat wakil presiden, sekretaris militer presiden, kepala sekretariat dewan pertimbangan presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara.

Meski demikian dalam UU yang mengatur TNI dan Polri, tak ada ketentuan tegas bagi personel TNI/Polri aktif menjabat sebagai penjabat kepala daerah, baik penjabat gubernur maupun penjabat bupati/walikota.

Tidak tercantum larangan penunjukan penjabat gubernur dari TNI/Polri baik UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Polri, dan Permendagri No. 1 tahun 2018 tentang tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara.

Selain itu, jelas Aryos, aturan yang dijadikan dasar pengangkatan anggota Polri sebagai PJ Gubernur adalah Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara.

Ketentuan ini berbunyi “Penjabat gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat atau pemerintah daerah provinsi”. Kata ‘setingkat’ di sini menimbulkan menimbulkan celah penunjukan TNI Polri sebagai gubernur.

Terlebih Aturan soal bersikap netral dalam UU TNI maupun UU Polri maksudnya bahwa anggota Polri bebas dari pengaruh semua partai politik, golongan, dan dilarang menjadi anggota serta pengurus partai politik. Bukan dilarang menduduki jabatan strategis dalam roda pemerintahan selama tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.

Menurut Aryos, bila menilik sejarah, Penempatan Perwira Polri maupun TNI sebagai Penjabat Gubernur sudah dilakukan sebelumnya, contohnya di Aceh yang dipimpin sementara waktu oleh seorang Mayjen TNI dan di Sulawesi Barat yang dipimpin sementara oleh perwira tinggi Polri.

Kedua wilayah tersebut relatif aman saat pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2017. Ketika itu Sulawesi Barat dipimpin oleh Plt. Gubernur Irjen Pol. Carlo Tewu dan di Aceh yang dipimpin oleh Plt. Gubernur Mayjen TNI Soedarmo.

Meski demikian yang perlu diperhatikan, sebelum negara menunjuk TNI Polri sebagai PJ atau Plt kepala daerah, pemerintah perlu mempertimbangkan beragam aspek dan faktor.

Selain pemerintah perlu menjelaskan secara komprehensif untuk bahwa kebijakan yang diambil tersebut telah sesuai atau belum sesuai dengan peraturan perundang- undangan, yang tak kalah penting adalah pemerintah perlu menjamin netralitas TNI Polri yang ditunjuk.

Pj atau Plt kepala daerah yang ditunjuk dari perwira tinggi TNI dan Polri harus bebas dari muatan politik kepentingan kelompok maupun golongan tertentu.

Atau ada alternatif lainya, tidak menutup peluang jika pensiunan TNI atau Polri dipercaya untuk menduduki posisi sebagai PJ, namun konsekuensinya harus dibuat aturan khusus, apakah berupa PP atau Kepres maupun di revisi UU Pemilu itu sendiri, sebut Aryos.

Siapa pun PJ apakah dari TNI Polri aktif maupun non aktif, sekali lagi diperlukan pelibatan semua pihak baik internal pemerintahan maupun eksternal pemerintahan dalam membahas pelibatan mereka. Sehingga keputusan diambil benar-benar matang dan sesuai harapan masyarakat Indonesia, sebut Aryos.

Selanjutnya »     Haruskah Ditunda? Minimnya anggaran tel...
Halaman: 1 2 3 4
Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda