Beranda / Berita / Aceh / Opsi Penundaan Pilkada Serentak ke 2025 Dinilai Sesat lagi Menyesatkan

Opsi Penundaan Pilkada Serentak ke 2025 Dinilai Sesat lagi Menyesatkan

Senin, 11 Oktober 2021 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Akhyar

Ketua Bidang Advokasi Gerakan Rakyat Menggugat (Geram), Harli Muin. [Foto: IST]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komisi Pemilihan Umum mengajukan opsi jadwal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang digelar serentak di Februari 2025. Opsi ini digelontorkan KPU apabila pemerintah tetap bersikeras jika Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) dilaksanakan bulan Mei 2024.

Merespons hal tersebut, Ketua Bidang Advokasi Gerakan Rakyat Menggugat (Geram), Harli Muin mengatakan, opsi penundaan Pilkada serentak ke 2025 telah mengebiri kewajiban Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memilih dan dipilih sesuai konstitusi.

“Penundaan terhadap right to be vote (hak memilih) dalam konstitusi telah membuat negara mencegah warganya untuk menikmati hak dipilih dan hak memilih, Sejak pemilu itu dilaksanakan lima tahun sekali pasal 22E ayat (1) UUD 1945, ” ujar Harli Muin kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Senin (11/10/2021).

Oleh karenanya, Harli Muin menegaskan agar pelaksanaan jadwal Pilkada serentak tidak lagi ditunda-tunda.

Dalam kacamata HAM, Harli Muin menegaskan jika penundaan Pilkada serentak ini sama halnya dengan seseorang yang memaksa orang lain untuk tidak menghirup udara yang notabenenya menjadi hak semua orang.

“Misalnya jika saya bilang hak bung menghirup udara dikurangi, berarti kan bung akan berpengaruh terhadap kesehatannya. Jadi penundaan Pilkada serentak itu juga berpengaruh sekali,” kata dia.

“Karena Pilkada ini momen kenegaraan, sifatnya tidak bisa ditunda-tunda. Di konstitusi jelas disebutkan jadwal pemilihan, tidak bisa ditunda. Itu konstitusi yang bicara,” sambungnya. 

Harli Muin kembali menegaskan jika penundaan Pilkada serentak telah memincangkan konstitusi. Apalagi jika perbandingan sistim negara parlementer dengan sistim negara presidensial sangat lah jauh berbeda.

Ia menjelaskan, jika pemilihan di sistim negara parlementer, yang pertama kali dipilih ialah legislatif. Pemenangnya nanti akan mengangkat perdana menteri, baru setelah itu eksekutif dipilih.

Sedangkan di sistim negara presidensial, kata dia, pemilihan legislatif dan eksekutif dilakukan secara bersamaan. Karena kebijakan dalam negara presidensial dibuat bersama antara legislatif dan eksekutif.

Oleh karenanya, tegas Harli Muin, opsi penundaan Pilkada serentak ke 2025 merupakan langkah sesat lagi menyesatkan.

“kalau penundaan Pilkada bagi saya sesat,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda