Beranda / Analisis / Menambang Kemiskinan di Tanah Rencong

Menambang Kemiskinan di Tanah Rencong

Kamis, 18 Agustus 2022 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Aryos Nivada

Gambar ilustrasi. [Foto: Tirto]

Geliat Korporasi Tambang di Aceh

Sampai tahun 2020 data Izin Usaha Pertambangan (IUP) komoditas mineral logam dan batubara di Aceh sebanyak 28 IUP yang tersebar di delapan kabupaten/kota yaitu Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Kota Subulussalam.

Terdapat enam kabupaten yang memiliki deposit logam mulia, diantaranya adalah Aceh Jaya, Aceh Selatan (Kecamatan Sawang dan Manggamat), Pidie (Kecamatan Geumpang dan Tangse), Aceh Barat (Kecamatan Lancong, Tutut, dan Panton Reu), Nagan Raya (Kecamatan Krueng Cut/Beutong dan Krueng Kila/Seunagan Timur), dan Kabupaten Aceh Tengah.

Ironisnya, banyaknya sumberdaya alam di Aceh tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pada tahun 2021 Aceh masih menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Pulau Sumatera. Pada September 2021, tingkat kemiskinan di Aceh tercatat 15,43 persen. Naik dari periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 15,01 persen.

Meski kemudian mengalami sedikit penurunan selama periode September 2021-Maret 2022, dimana persentase penduduk miskin di Aceh turun dari 15,53 persen menjadi 14,64 persen. situasi ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Setidaknya sejak 2005, Aceh terus saja jadi provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di tanah Sumatera.

Konflik tambang yang terjadi belakangan ini marak adalah di Aceh tengah. Di kabupaten Aceh Tengah terdapat enam perusahaan tambang yang beroperasi untuk melakukan eksplorasi (penelitian umum) tambang emas yang terdapat di kecamatan Linge, Bintang, Ketol, Pegasing, Celala dan Rusip Antara.

Berdasarkan data yang dikeluarkan Dinas Perindag Aceh Tengah, saat ini keenam perusahaan yaitu PT. Linge Mineral Resources, PT. Takengon Mineral Resources, PT. Surya Mineral Resources, PT. Nanggroe Khuchi Peuga I dan II serta PT. Fajar Putra Manggala melakukan eksplorasi tambang emas di sejumlah kecamatan dengan total area seluas 95.451 hektar.

Kontroversi PT Linge Mineral Resource (LMR) yang akan melakukan penambangan emas di Abong Linge, Kabupaten Aceh Tengah di lahan seluas 36.420 hektar mendapat penolakan dari masyarakat setempat sejak 2019 lalu hingga saat ini.

Awalnya PT LMR mendapat izin usaha pertambangan eksplorasi Nomor 530/2296/IUP-EKSPLORASI/2009, seluas 98.143 hektar, di Kecamatan Linge dan Bintang, Kabupaten Aceh Tengah yang izinnya diterbitkan Bupati Aceh Tengah.

Dari luas tersebut, 19.628 hektar berada di Kawasan Ekosistem Leuser dan berstatus hutan lindung, dan sisanya di hutan produksi. Pada 4 April 2019, PT. Linge mengumumkan rencana usaha dan kegiatannya dalam rangka studi analisis mengenai dampak lingkungan [amdal] di media massa.

Dalam pemberitahuan itu, selaku kuasa Direktur PT. Linge Mineral Resource, Achmad Zulkarnain menyatakan, perusahaan akan menambang dan mengolah bijih emas dmp seluas 9.684 hektar di Desa Lumut, Desa Linge, Desa Owaq, dan Desa Penarun, Kecamatan Linge. Jumlah produksi maksimal 800.000 ton per tahun.

Perusahaan mengklaim, tambang emas akan memberi dampak positif. Sebut saja meningkatkan ekonomi dan kesehatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja, hingga menumbuhkan pembangunan daerah. Sementara dampak negatifnya adalah perubahan bentang alam, penurunan kualitas udara, peningkatan kebisingan, kualitas air permukaan menurun, dan gangguan terhadap habitat satwa liar beserta vegetasi.

Akibat unjuk rasa yang meluas, Direktur Jenderal Mineral dan Batu-Bara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menghentikan sementara Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Linge Mineral Resources (LMR), sejak 25 Februari 2019, berdasarkan Surat Nomor 705/30.07/DJB/2019, tanggal 12 Maret 2019.

Namun pertengahan 2021, tambang Abong Linge di Aceh Tengah ini tiba tiba terbit kembali izin eksplorasi, bahkan emiten tambang PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) juga telah melakukan reklasifikasi dana proyek pengembangan usaha US$123 juta setelah mendapatkan izin eksplorasi oleh PT LMR yang merupakan pemegang konsesi penambangan Linge Abong seluas 36.420 hektare di Provinsi Aceh.

Sejumlah pihak mengungkapkan kegelisahan terkait eksistensi PT LMR yang dinilai tidak hanya mengancam lingkungan, namun juga dikabarkan masyarakat setempat khawatir bakal kehilangan situs budaya kerajaan Linge dan wilayah kelola rakyat yang terancam.

Selanjutnya »     Sikap tegas masyarakat setempat ditunjuk...
Halaman: 1 2 3 4 5
Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda