Menambang Kemiskinan di Tanah Rencong
Font: Ukuran: - +
Reporter : Aryos Nivada
Gambar ilustrasi. [Foto: Tirto]
Berdasarkan catatan akhir tahun 2020 JATAM, terjadi 45 konflik pertambangan, yaitu 22 kasus pencemaran dan perusakan lingkungan, 13 kasus perampasan lahan, delapan kasus kriminalisasi warga yang menolak tambang (korban kriminalisasi 69 orang), dan dua kasus pemutusan hubungan kerja.
Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun 2019 dengan 11 konflik. Sehingga, total konflik tambang yang muncul di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo sejak 2014 adalah 116 kasus.
Begitu juga dengan intimidasi dan kriminalisasi di bidang Pertambangan, sepanjang tahun 2020, dari rekaman JATAM terdapat 8 kasus kriminalisasi tambang yang menimbulkan korban kriminalisasi sebanyak 69 orang dan 6 diantaranya mengenai remaja dibawah umur yang menggunakan 12 pasal yang tersebar dalam empat (4) undang-undang mulai dari KUHP, UU Minerba lama No. 4 Tahun 2009 maupun UU Minerba baru No. 3 Tahun 2020, hingga UU Mata Uang No. 7 Tahun 2011.
Belum lagi berbicara konflik yang ditimbulkan dari pertambangan ilegal yang tidak terdata dan eksistensinya hampir merata di seluruh Indonesia. Tahun 2021, Kementerian ESDM mencatat sedikitnya ada 2.741 lokasi pertambangan tanpa izin atau PETI alias tambang ilegal yang diketahui tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan 96 lokasi di antaranya merupakan tambang ilegal batu bara yang tersebar di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Bengkulu, dan Sumatera Selatan. Sedangkan sisanya atau sebanyak 2.645 lokasi tambang ilegal mineral yang tersebar merata di hampir seluruh provinsi.
Yang menjadi anomali, wilayah eksplorasi tambang di Indonesia umumnya justru termasuk dengan wilayah ketimpangan sosial dan kemiskinan mencolok dibanding daerah lain yang tidak ada industri pertambangan. Keprihatin tersebut sempat diungkap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata pada tahun 2021 lalu.
Ia mengaku prihatin dengan kondisi usaha pertambangan di Indonesia. Sebab, dia melihat masih banyak warga di daerah eksplorasi pertambangan yang hidupnya berada dalam kemiskinan.
Data JATAM menunjukan 80 persen dari seluruh wilayah tambang di Indonesia berisiko terhadap ketahanan pangan dan berujung pada kemiskinan. Area bekas tambang merusak kondisi lahan, mengontaminasi air, dan kandungan air dalam tanah juga menjadi rusak. Tambang dianggap merusak potensi lahan untuk bercocok tanam. Nelayan dan petani kehilangan produktivitas hingga 50 persen untuk padi dan 80 persen untuk ikan.
Yang paling rentan adalah faktor psikososial di masyarakat setempat yang berpandangan bahwa sumber daya alam di daerahnya secara kultural adalah milik penduduk lokal. Namun mereka menilai justru dimarginalisasi secara politik, diabaikan nilai-nilai budayanya, dan tidak diberi akses terhadap sumber daya alam tersebut. Secara psikologis, solidaritas masyarakat lokal terbentuk dan terus meningkat. Mereka merasa tidak perlu izin untuk mengakses sumber daya di daerahnya, yang menurut mereka seharusnya menjadi milik bersama
Selanjutnya » Geliat Korporasi Tambang di Aceh Sampai...- Warga Desa Linge Tegaskan Tak Terima Kehadiran PT LMR
- Terkait PT LMR di Aceh Tengah, Pemerhati Lingkungan Ini Harap Masyarakat Tentukan Sikap
- Terkait PT LMR di Aceh Tengah, Afriadi: Industri Tambang Berpotensi Hadirkan Konflik Sosial
- Terkait PT LMR di Aceh Tengah, Walhi: Tambang Tak Bisa Buat Masyarakat Sejahtera