kip lhok
Beranda / Analisis / Gugat Kesetaraan Kuota Caleg Partai di Aceh

Gugat Kesetaraan Kuota Caleg Partai di Aceh

Kamis, 22 Desember 2022 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Aryos Nivada

Aryos Nivada. [Foto: dok Dialeksis]


Pengantar

Langgam (landscape) berdemokrasi konteks lokal Aceh, dimana diizinkan mendirikan partai politik lokal (Parlok), sebagai peneguhan bentuk identitas keasimetrisan politik lokal Aceh. Tertera ketentuannya di UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Selanjutnya diatur lebih lanjut dan menjabar di PP No. 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.

Esensi kehadiran partai politik lokal ini, keberadaannya buah dari kesempatan antara GAM dan Pemerintah Indonesia. Intinya parlok di Aceh konsensus, dan ini adalah bagian sarana terkecil mewujudkan perdamaian saat itu. Keberadaannya jadi warna sekaligus alternatif bagi pemilih di Aceh, ketika berpartisipasi secara politik saat Pemilu berlangsung.

Keasismetrisan inilah membuat Aceh berbeda perlakuan sistem politiknya secara nasional, khusus ketika pesta demokrasi dilangsungkan. Namun saat dipraktikan, keikutsertaan parlok ternyata berpolemik, pada objek pemberlakuan kuota calon legislatif yang diisi oleh partai politik.

Penyebabnya terletak adanya pembedaan perlakuan antara parlok dan partai politik nasional (Parnas). Perbedaan tersebut adalah dalam hal pengajuan kouta calon legislatif. Dimana Parlok dapat mengajukan caleg 20 persen lebih banyak dari Parnas. Parlok dapat mengajukan maksimal 120 persen dari kouta yang ditetapkan. Sedangkan parnas hanya 100 persen.

Kita ketahui bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri mewajibkan partai politik untuk memperhatikan kuota pengajuan bacaleg paling banyak 100 persen dari jumlah kursi di daerah pemilihan.

Hanya saja, karena di Aceh terakomodasi parlok yang mana di dalam Qanun Aceh No.3/2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilu Anggota DPRA dan DPRK, disebutkan bahwa daftar Bacaleg dari parlok memuat kuota paling banyak 120 persen dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan, dan memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Disinilah diperlukan pencermatan logika hukum agar terang sejelas jelasnya berdasarkan peraturan ataupun UU yang mengaturnya, apakah bermasalah dan melenceng ?.

Selanjutnya »     Logika Hukum Ditinjau dari historis pel...
Halaman: 1 2 3 4 5
Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda