kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Tanggung Jawab Moral Akademisi, Harus Berani Bersuara Walau Dianggap Anti Syariat Sekalipun

Tanggung Jawab Moral Akademisi, Harus Berani Bersuara Walau Dianggap Anti Syariat Sekalipun

Senin, 05 Juli 2021 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Akhyar

Pemerhati Masalah Agama dan Sosial Kemasyarakatan Aceh, TM Jafar Sulaiman. [Foto: Ist.]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di saat Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) hampir diimplementasikan, sisi negatif mulai menonjol akibat perampungan qanun tersebut.

Salah satunya yaitu dengan adanya Qanun LKS menyebabkan bank-bank konvensional pada minggat dari Aceh.

Bahkan operasional-operasional seperti BRILink juga kabarnya akan ditarik semua dari Aceh. Masalah-masalah ini yang kemudian dinilai banyak pihak membuat pertumbuhan ekonomi di Aceh menjadi sedikit melambat. Oleh karenanya munculusulan revisi Qanun LKS dari Anggota DPR Aceh.

Berdasarkan pendalaman butir Qanun LKS dari para akademisi dan ahli-ahli ekonomi yang ada di perguruan tinggi, dengan melihat realita serta fenomena yang terjadi di Aceh, menyimpulkan bahwa ada efek negatif yang terjadi jika bank konvensional tidak ada lagi di Aceh.

Tetapi para akademisi ini kebanyakan tidak berani bersuara, karena takut dianggap "Anti Syariah" atau dianggap tidak pro Islam.

Pemerhati Masalah Agama dan Sosial Kemasyarakatan Aceh, TM Jafar Sulaiman menilai banyaknya akademisi yang adem ayem pada persoalan Qanun LKS ini sebagai reaksi yang berlebihan dan lebay.

Hal ini ia sampaikan karena para akademisi punya pertanggungjawaban atas moral keilmuannya sehingga Jafar berharap para akademisi Aceh berani lantang menyuarakan pendapatnya.

"Di Aceh ini, makin kita bicara kritis dan makin dianggap anti syariat malah semakin bagus. Karena orang-orang itu berani keluar dari kotak pandora (sistem) sesuai dengan apa yang berlaku di dunia sekarang. Jika di luar dari itu, maka kita akan terus tergilas dan tertinggal," ungkap Jafar Sulaiman saat dihubungi reporter Dialeksis.com, Senin (5/7/2021).

Ia melanjutkan, Qanun LKS yang sudah terlanjur rampung jika ingin direvisi kembali maka pembenahannya haruslah menyeluruh meliputi isi Qanun LKS.

Jafar mengatakan, sikap elit politik yang dulunya sempat keblinger ingin cepat-cepat menyelesaikan Qanun LKS hanyalah kerja-kerja kejar program atau sebatas ingin dianggap pahlawan syariah oleh masyarakat tanpa memedulikan imbas dari Qanun LKS yang menimpa Aceh sekarang ini.

"Kerja-kerja politisi memang keblinger semua itu. Sudah buat Qanun kemudian revisi, buang yang lama masukin yang baru. Begitu-gitu aja kerja mereka. Kurang ajar mereka itu," kata Jafar.

"Sementara pedagang-pedagang kecil, UMKM yang selama ini mitra di BRILink. Kemudian beasiswa yang tertahan, bantuan BLT yang bermasalah. Dan ironisnya, yang terkena dampak itu hanya orang-orang kecil semua, yang di atas kan nggak ada permasalahan sama sekali. Jadi, dimana letak islaminya kalau begitu," tegas Jafar.

Walaupun demikian, Jafar juga tidak menampik sikap heroisme dan patrotisme Islam para politisi Aceh dalam melawan sistem yang riba, rentenir, dan kapitalisme. Namun, di saat Qanun yang diagung-agungkan malah berimbas kebalikan dari semua itu, lanjut Jafar, menandakan bahwa aturan ini hanyalah egosentris keislaman tanpa persiapan yang matang.

Pada kesempatan yang sama, Jafar Sulaiman juga menyampaikan sebuah teori dari pemikir Islam yang berbunyi, "setiap penafsiran atas syariat, setiap perkataan atas syariat, atau aturan-aturan atas nama syariat yang dilakukan manusia, yang ditafsirkan oleh manusia, atau yang dibicarakan oleh manusia bukanlah syariat itu sendiri."

"Itu hanya penafsiran manusia, itu hanya perkataan manusia, itu hanya pembicaraan manusia. Dan itu juga sudah di luar konteks syariat yang sebenarnya," ucap Jafar sebagaimana mengutip teori yang dikembangkan oleh Said Husain Abdul Said Khoros.

Kepada para akademisi, Jafar berpesan agar jangan khawatir mengkritisi fenomena yang ada. Harus terus dipacu walau dilabeli "anti syariat" sekalipun.

"Orang yang suka menuduh orang lain sesat, biasanya dalam diri dia tidak ada kebenaran. Dia hanya suka mencari-cari kesalahan. Nah, kepada akademisi harus pacu terus, harus disuarakan. Masa nggak berani bersuara karena takut dianggap anti syariat, rugi kita jadi manusia," tutup Jafar. [AKH]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda