Soal Pilkada Aceh, Yara Sebut Posisi Politik Aceh Lemah di Hadapan Jakarta
Font: Ukuran: - +
Reporter : ASYRAF
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin SH menyebut lemahnya kekuatan politik di Aceh saat ini yang menjadi pangkal penyebab Pilkada Aceh tidak dapat terlaksana pada tahun 2022 sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Meskipun ada upaya upaya lobi politik di jakarta (agar pilkada tetap 2022-red) namun fakta menunjukan semua itu tidak membuahkan hasil. Hal ini semakin menujukan lemahnya posisi dan nilai tawar politik ( political bargaining ) Aceh terhadap jakarta saat ini. Dirinya menyebut bahwa Jangankan melahirkan regulasi yang baru, mempertahankan yang sudah ada saja tidak mampu.
“Benar UUPA adalah regulasi hukum. Namun hukum sendiri adalah produk politik. Hukum sangat dipengaruhi oleh situasi dan kekuatan politik. Intinya kalau politik melemah, hukum pun melemah. Ini kami lihat adalah indikasi melemahnya kekuatan politik di Aceh. Sehingga lemah pula posisi aceh dimata hukum.” Jelas Safaruddin kepada DIALEKSIS.COM, Jumat (23/4/2021)
Ironisnya, hal ini tidak terjadi pada konflik regulasi pada pengalaman pilkada sebelumnya karena seluruh elemen politik lokal Aceh bersatu padu.
“ Bila politik aceh kuat, seperti pada masa Pilkada 2012, dimana pernah kita mengajukan penundaan pilkada dan kemudian ditunda. Padahal belum pernah ada sejarahnya pilkada diseluruh Indonesia ditunda. Hal demikian dapat terjadi seluruh komponen politik di Aceh bersatu padu. Kemudian melakukan lobi lobi politik yang intens sehingga melahirkan sebuah kebijakan politik yang dituangkan dalam keputusan hukum melalui mahkamah konstitusi sehingga dibuka kembali pendaftaran. Kasus calon independen juga. Dapat lahir dari UUPA karena posisi politik kita sangat kuat ekses elemen politik di Aceh bersatu padu ketika itu” tutur safar.
Disisi lain, rakyat kini menjadi apatis karena pemerintahan saat ini dinilai tidak responsif terhadap masalah aktual yang terjadi di masyarakat.
“Bagi kita sama seperti rakyat aceh saat ini, yang lebih penting daripada Pilkada adalah menyangkut kesejahteraan Aceh yang dua tahun belakangan ini kerap menduduki posisi jawara posisi kemiskinan di Sumatera” Ujarnya lebih lanjut.
Meski demikian, menurut safar masih tetap terbuka peluang dan kemungkinan Pilkada Aceh tetap dapat dilaksanakan sebagaimana amanah UUPA. Kuncinya adalah pada proses politik. tergantung kekuatan dan seni politik yang dimainkan Aceh terhadap jakarta.
“Masih ada peluang karenakan Ini kan proses politik. Pengalaman pada Pilkada Tahun 2012 yang pendaftaran sempat dibuka kembali. Kemudian Calon Independen yang dibatasi hanya sekali. Kita gugat di MK, akhirnya Independen diperbolehkan untuk seterusnya di Aceh. Hal ini demikian juga. Masih ada peluang tergantung kekuatan dan seni politik yang dimainkan oleh lembaga politik kita terhadap jakarta. Yang jelas Hukum itu produk politik. Ketika ada kesepakatan politik tinggal dituangkan saja dalam produk hukumnya” pungkas safar.
Diberitakan sebelumnya, Pusat menegaskan bahwa Pilkada Aceh tetap dilaksanakan pada tahun 2024 mengikuti jadwal pilkada serentak nasional. Penegasan itu disampaikan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Surat Kemendagri Republik Indonesia Nomor 270/2416/OTDA tanggal 16 April 2021 yang ditandatangani Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda), Drs Akmal Malik Msi. [asy]