Beranda / Berita / Aceh / May Day: Upah Buruh Belum Layak, Peluang Kerja Masih Sulit

May Day: Upah Buruh Belum Layak, Peluang Kerja Masih Sulit

Sabtu, 01 Mei 2021 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Hakim

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (DPW-FSPMI) Aceh, Habibi Inseun. [Foto: Ist.]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Berkenaan dengan Hari Buruh Internasional atau May Day, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (DPW-FSPMI) Aceh, Habibi Inseun mengatakan, sampai saat ini masih banyak buruh di Aceh belum mendapatkan upah jauh dari standar minimal. 

Hal itu disampaikannya saat wartawan Dialeksis.com menghubunginya melalui seluler, Jumat (01/05/2021). Pada momentum hari buruh ini, ia juga menyampaikan sejumlah aspirasi kepada Pengusaha dan Pemerintah Aceh.  

“Para buruh menuntut adanya kepastian kerja, yaitu dengan tersedianya lapangan kerja. Lalu ada kepastian upah, yaitu para pekerja mendapat upah dengan mengacu pada upah minimum provinsi. Lalu buruh juga menuntut ada kepastian jaminan kerja, karena semua pekerja memiliki resiko akan kecelakaan kerja,” ujar Habibi.

Sebagai provinsi berstatus daerah otonomi khusus, mereka yakin Aceh leluasa mengatur keadilan pekerjanya tanpa harus mengikuti UU Cipta Kerja. Jika usulan revisi diterima nanti, ia akan melampaui UU Cipta Kerja, khususnya dalam hal menjamin kesejahteraan pekerja, urai Habibi.

Ia menjelaskan akibat Omnibus Law, pemberian pesangon dalam UU Cipta Kerja disunat dari 32 menjadi 25 bulan. Qanun versi revisi, menurut Habibi, boleh jadi akan mengacu pada hitungan awal sesuai UU Ketenagakerjaan. Namun permasalahan baru timbul kembali, yaitu para pengusaha belum juga membayar upah sesuai Qanun Nomor 7 Tahun 2014.

Habibi juga menekan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Aceh untuk mengawasi para pengusaha dan perusahaan yang tidak membayar gaji buruh sesuai upah minimum provinsi.

Juga mempercepat hadirnya lembaga kerja sama (LKS) di kabupaten/kota, serta memperbanyak pengawas ketenagakerjaan. Dikarenakan saat ini ada 4 ribu perusahaan di Aceh yang hanya diawasi oleh 26 orang petugas.

Serikat Buruh Aceh berharap peraturan-peraturan dikeluarkan oleh pemerintah itu perlu dievaluasi kembali, karena tidak sesuai dengan harapan yang diuraikan atau dimuat dalam UU Cipta Kerja. Kemudian harapan kepada Pemerintah Aceh untuk lebih memberikan kepastian dan jaminan keberlangsungan kerja bagi para pekerja.

Belum lagi para pekerja yang dirumahkan. Lagi-lagi, kata Habibi, semua beralasan karena kondisi pandemi, semakin berdampak bagi perusahaan. Ia melihat, ini adalah masalah yang dihadapi oleh banyak perusahaan di Indonesia, bukan hanya Aceh. 

"Semua merasakan dampak yang luar biasa. Turunnya penghasilan karena pandemi, membuat perusahaan melakukan itu," jelasnya.

"Namun ada lagi kasus seperti pekerja di sektor pariwisata, misalnya di perhotelan, mereka bahkan ada yang mengalami tidak mendapat upah, atau diskriminasi masuk bekerja kembali. Inilah yang sedang kita lakukan advokasi pelan-pelan," ujarnya.

Habibi juga mengapresiasi kepada pemerintah yang sudah merevisi Qanun Nomor 7 Tahun 2014 tentang ketenagakerjaan, karena telah menurunkan berupa Peraturan Gubernur yang sudah dikeluarkan.

Melalui Keputusan Gubernur, diatur di antaranya tentang hari libur saat peringatan tsunami, tunjangan hari meugang (sehari sebelum puasa dan menjelang lebaran), termasuk penyesuaian waktu kerja pada bulan Ramadan. Untuk saat ini, usulan revisi qanun diharap akan menjawab masalah pekerja di Aceh.[HKM]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda