kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Jika Revisi UUPA Menjawab Suatu Problematika Hukum, Ini Kata Badri Hasan

Jika Revisi UUPA Menjawab Suatu Problematika Hukum, Ini Kata Badri Hasan

Kamis, 11 November 2021 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur
Dosen Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Badri Hasan. [Foto: Ist]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - DPR RI saat ini dikabarkan tengah menyiapkan konsep awal RUU Perubahan atas Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA).

Dosen Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Badri Hasan mengatakan penting atau tidaknya revisi UUPA, tergantung pada kebutuhan kalau hal itu dianggap relevan, silakan.

“Karena itu, apa yang perlu direvisi, jika direvisi untuk apa? Kekhawatiran seperti apa, bagian mana dari UUPA yang harus di revisi,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Rabu (10/11/2021).

Dirinya mengatakan, nah kalaupun UUPA direvisi itu menjawab suatu keadaan yang sangat Urgent untuk Aceh, misalnya, untuk menjawab Problematika hukum atau ada ketentuan dalam UUPA yang secara kondisinya menghambat pembangunan, maka silahkan.

Badri Hasan mengatakan, bahwa dirinya menyadari bahwa, selama ini isu revisi terhadap UUPA menjadi heboh karena sudah masuk dalam agenda Prolegnas untuk direvisi.

Berdasarkan update informasi yang berkembang di media masa, dan media elektronik dan media online salah seorang Anggota DPD RI asal Aceh, Fadhil Rahmi, LC, mengajak Pemerintah Aceh, DPRA dan berbagai Elemen Masyarakat lainnya perlu bergerak cepat, hal ini penting selain untuk mengakomodir berbagai persoalan yang muncul selama ini, juga untuk mempercepat proses revisi. 

Badri Hasan juga mengingatkan kepada pihak pemangku kepentingan, dan berwenang, untuk mengawal materi muatan dan tafsiran ketentuan hukum yang akan diberlakukan supaya tidak menciderai nilai-nilai keadilan masyarakat Aceh nantinya. "Sehingga tidak ada masuk penafsiran-penafsiran yang menyesatkan, hal-hal seperti itu yang perlu diperhatikan,” harapnya.

Badri hasan mengatakan, revisi UUPA yang dikabarkan masuk program legislasi nasional "Prolegnas" DPR-RI periode 2019- 2024, sebelum ditetapkan menjadi undang-undang oleh DPR-RI tentang Pemerintahan Aceh, maka berdasarkan klausul 1.1.2. dalam MoU Helsinky, mengamanatkan berdasarkan amanat klausul 1.1.2 MOU Helsinky, harus mempertimbangkan prinsip, yakni; bahwa setiap keputusan DPR RI yang terkait dengan Aceh perlu melakukan konsultasi dan persetujuan terlebih dahulu dengan Legislatif Aceh.

Kemudian, Badri Hasan mengatakan, sedangkan, kebijakan mengenai administrasi oleh pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan Aceh perlu berkonsultasi dan mendapat persetujuan kepala pemerintahan Aceh.

“Oleh karenanya pemerintah dalam hal ini perlu hati-hati, dan dengan pertimbangan yang matang, jangan terburu-buru,” ucapnya.

Harus diingat kembali bersama, bahwa UUPA yang sekarang ini berlaku sebagai peraturan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan di Aceh merupakan lahir dari Spirit perdamaian Antara pihak pemerintah RI dan Pihak GAM atas nama rakyat Aceh di Helsinky sehingga disebut dengan MoU Helsinky.

Maka, Badri menyampaikan, dalam melakukan perubahan atau revisi, perlu memperhatikan hal-hal yang bersifat pokok yang tidak boleh dikacaukan dengan kekecualian, pembatasan atau modifikasi sehingga, mengganggu semangat perdamaian, kecuali dalam hal-hal yang sangat diperlukan.

“Perubahan tidak boleh mengandung argumentasi: karena itu adalah berbahaya untuk memberikan alasan terperinci bagi suatu peraturan, oleh karena yang demikian itu hanya akan membuka pintu terjadinya pertentangan pendapat,” tukasnya.

Lebih lanjut, Badri menjelaskan, akhirnya, di atas itu semua, harus dipertimbangkan dengan penuh kematangan dan mempunyai kegunaan praktis dan jangan hendaknya ia mengguncangkan hal-hal yang elementer dalam penalaran dan keadilan "Ia nature des choices" Peraturan-peraturan yang lemah, yang tidak perlu dan tidak adil akan menyebabkan orang tidak menghormati perundang-undangan dan pada akhirnya akan menghancurkan otoritas negara. [ftr]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda