Hayatullah Pasee, Sosok Pegiat Literasi Hingga Ukir Prestasi
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Foto: Nora/Dialeksis.com
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Salah satu cara untuk pengembangan pustaka dan menarik minat pengunjung ke pustaka, yaitu dengan memindahkan warung kopi ke pustaka. Maksudnya, ketika orang nyaman di warung kopi karena kopinya enak dan internetnya kencang, maka kenapa tidak di pustaka juga ada warung kopi dengan internet yang kencang. Sehingga masyarakat sambil ngopi bisa membaca buku dan juga bisa berselancar di dunia maya.
Ide tersebut disampaikan oleh seorang Jurnalis Senior Aceh Hayatullah Zuboidi kepada Dialeksis.com, Kamis (12 Agustus 2021).
Sosok Hayatullah Zuboidi atau yang populer dengan nama Hayatullah Pasee merupakan praktisi humas di salah satu instansi Satuan Kerja Pemerintah Aceh. Mulai menekuni profesi jurnalis sejak menjadi mahasiswa S-1 Jurusan Ilmu Komunikasi Islam UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Baginya profesi jurnalis yang sangat perfek dalam membangun relasi dan pengembangan diri. Kemudian, suatu hari ia terpikir sekaligus mendapatkan nasihat dari para senior, bahwa jangan selamanya menjadi wartawan biasa, harus ada peningkatan dalam berkarya selain membuat berita.
"Atas nasihat tersebut saya mulai cemburu dengan orang-orang yang tulisan opininya muncul di media-media besar. Saya harus berada pada posisi mereka," bisik dalam benaknya.
Kemudian, ia mencoba membuat artikel, tulisan opini pertamanya dimuat di Harian Serambi Indonesia dengan judul “Alangkah Lucunya Aceh”. Begitu melihat tulisan pertamanya berhasil muncul di media cetak tersebut, Hayatullah begitu senang dan bersemangat untuk menulis karya-karya yang lain.
"Untuk artikel alhamdulillah sudah berhasil dalam artian sudah dimuat, sekarang apa lagi?," tanyanya?
Lalu, ia cemburu lagi kepada mereka yang memenangi lomba menulis. Ia pun mencoba ikut-ikut lomba dan lomba pertama langsung memenangi juara 1 menulis pada HUT Bhayangkara Polresta Banda Aceh.
Kemudian mulai bertarik untuk menulis buku dan mulai berteman dengan beberapa senior yang berkecimpung dalam menulis buku. Akhirnya ia juga diajak kolaborasi beberapa proyek buku sebagai ghost writer (penulis bayangan) hingga akhirnya dapat menerbitkan beberapa karya sendiri.
Setelah memasuki dunia kerja, pria kelahiran 04 Juni 1988 itu juga pernah menjadi konsultan humas dan media, baik di instansi pemerintah maupun swasta. Di samping itu ia juga menjadi penulis lepas untuk beberapa media massa.
Kini ia tercatat sebagai mahasiswa Pascasarjana Prodi Komunikasi Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Pikiran-pikiran kritisnya mengenai berbagai situasi sosial politik di Aceh sering dituangkan dalam rubrik opini Harian Serambi Indonesia.
Baginya menulis bukan hanya untuk memenuhi kepuasan pribadi semata, tetapi merupakan sarana berdakwah dan berfungsi sebagai kontrol sosial. la juga menambah kesibukan dengan menjadi dosen tidak tetap mengampu mata kuliah jurnalistik di almamaternya.
Hayatullah Pase kini juga bergiat di Forum Aceh Menulis (FAME) Banda Aceh dan sering mengisi pelatihan atau workshop yang berhubungan dengan keahliannya. Keahliannya di bidang tulis-menulis mengantarkannya sebagai pemenang beberapa lomba menulis, di antaranya:
Dalam catatan dirangkun dialeksis ternyata sangat banyak kejuaraan dibidang literasi dan jurnalis didapatkan Hayatullah, antara lain; Juara 1 lomba menulis yang dibuat oleh Polresta Banda Aceh (2018), Juara 1 lomba menulis yang dibuat oleh Bank Indonesia-Aceh (2018), Juara 3 Lomba VLOG yang dibuat Dinas Perhubungan Aceh (2019), Juara 1 Anugerah Jurnalistik Aceh Hebat kategori Caitizen Journalis (2019).
Tak sebatas itu saja, selain memenangi juara lomba menulis dan videografi, ia juga menulis beberapa buku, baik sebagai co-writer, ontologi, dan solo (pribadi). Penelusuran dialeksis berbagai buku sudah dibuat meliputi, buku Anakku Bunga Surgaku (co-writer), buku Ensikolopedi Syariat Islam di Aceh (Ontologi), buku Profil Anjungan Pekan Kebudayaan Aceh (Ontologi), buku Ramadan Orang Awam (Bertiga), buku Praktis Menulis Siaran Pers (Sendiri), Enumerator Penulisan Buku Sejarah 58 Unsyiah
Berbagai capaian dan penghargaan yang telah ia raih tidak terlepas dari banyaknya tantangan dan kendala yang dihadapi selama membangun kapasitas menulis. Namun, kesulitan itu tidak ia jadikan suatu penghalang.
"Dalam membangun kapasitas menulis, kendala-kendala yang pernah saya alami, salah satunya yaitu konsistensi. Menjaga konsistensi dalam menulis itu sulit sekali. Terkadang ada waktu, tetapi tak punya ide dan mood. Di waktu lain punya ide tetapi malas untuk dieksekusi," katanya.
"Terkadang ada rasa minder dengan tulisan sendiri ketika misalnya dibaca oleh senior. Padahal itu hanya perasaan kita saja. Untuk mengatasi hal ini terkadang kita harus menganggap diri kita sebagai penulis yang merdeka. Tidak peduli dengan komentar orang lain terhadap karya kita selama yang kita tulis tidak memfitnah orang lain atau tidak sesuai dengan fakta," lanjutnya.
Menurut Hayatullah, saat ini melihat kondisi pengunjung pustaka secara kasat mata, baik pustaka pemerintah maupun pustaka-pustaka swasta di Aceh memprihatinkan. Bisa dilihat sehari-hari memang tidak ramai, namun tidak bisa juga kita menjustifikasi rendahnya minat baca karena tidak ada orang di pustaka, apa lagi sekarang sudah banyak pustaka online seperti i-Pusnas RI, i-Pustaka Aceh, dan beberapa pustaka online lainnya yang bisa diakses di mana saja dan kapan saja.
"Khusus untuk anak muda, saya perhatikan rata-rata yang ke pustaka itu mahasiswa yang ingin membuat tugas kuliah. Tetapi kalau khusus datang ke pustaka untuk membaca buku bukan karena tugas kuliah, mungkin masih sangat minim," sebutnya.
Mungkin lanjutnya, para anak muda ini membaca sambil ngopi atau sambil santai di tempat-tempat umum lainnya. Di sisi lain juga ia prihatin dengan maraknya game online sehingga para generasi muda baik tingkat pelajar maupun perguruan tinggi lalai dengan game tersebut di warung kopi sehingga minat membaca mereka sudah pasti tidak ada. Mereka lebih tertarik menghabiskan waktu berjam-jam dengan game dibandingkan membaca informasi-informasi yang bermanfaat.
Ia berpesan, para generasi muda ini harus sadar bahwa estafet kepemimpinan bangsa ini ke depan ada di tangan mereka. Jika mereka cerdas dan berkualitas, maka masa depan bangsa ini akan bagus. Salah satu cara untuk cerdas tidak ada acara selain membaca dan mengikuti diskusi-diskusi keilmuan.
Bergaullah dengan orang-orang yang mempunyai minat baca, tentu lama-lama akan terpengaruh untuk membaca juga. Perilaku seseorang itu sangat dipengaruhi dengan siapa ia bergaul. Kalau temannya main game, tentu ia cenderung akan ikut-ikutan main game, begitu juga sebaliknya, kalau bergaul dengan orang yang suka menulis, lama-lama akan ikut belajar menulis juga.
"Pustaka itu jangan hanya proses pinjam-meminjam buku saja, tetapi dibuat kegiatan-kegiatan yang mengundang perhatian baik kegiatan literasi maupun non-literasi. Selanjutnya disediakan ruang-ruang atau fasilitas gratis bagi yang ingin membuat diskusi-diskusi literasi," harapnya kepada pemerintah.
Selanjutnya perlu juga diperkuat pustaka digital. Buku-buku yang diisi benar-benar buku yang dibutuhkan semua kalangan. Sehingga kiblat literasi tetap ke pustaka bukan ke tempat lain.