Beranda / Opini / Literasi, Perang dalam Damai

Literasi, Perang dalam Damai

Minggu, 15 Agustus 2021 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

[Foto: Sumber cakradunia.co]


ACEH adalah daerah laboratorium perang. Rakyat Aceh merupakan manusia yang senantiasa siap hidup dalam berbagai kondisi perang, mulai perang melawan kaphe hingga perang melawan sesama saudara sendiri. Hal ini perlu dicatat dan diingat sebagai sebuah historycal memoriam atau ‘sejarah ingatan’.

Boleh dikatakan rakyat Aceh telah teruji dalam beberapa periode perang, mulai periode perang Portugis, periode perang Belanda, periode perang Jepang, periode perang melawan NKRI, dan mungkin pernah pula perang melawan sesama sebangsa. Meskipun perang sesama sebangsa Aceh tidak seheroik perang dalam periode-periode sebelumnya, tetap perlu dicatat bahwa orang Aceh adalah manusia-manusia yang siap hidup dalam perang. Bahkan, ada kesan kalau ureueng Aceh punya hobi berperang. Contoh kecil dapat dilihat dari beberapa kliping media pasca-MoU Helsinki. Perjanjian damai yang seyogianya membawa rakyat Aceh hidup dalam damai, tanpa kematian berdarah, ternyata tidak demikian kenyataannya. Beberapa kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mati tertembak, kadang di depan warung kopi orang, kadang pula tidak diketahui di mana matinya. Padahal, Aceh sudah berdamai dengan NKRI, tetapi kematian terus terjadi. Inilah perang dalam damai periode kekinian. Menggunjing kawan seiring, menggunting dalam lipatan, menjegal kawan sejalan. Entah siapa melawan siapa. Terjadi begitu saja.

Hal ini semua akan menjadi catatan ingatan bagi setiap orang--terutama orang Aceh”bahwa Aceh dihuni oleh manusia-manusia siap perang. Manusia-manusia Aceh mudah tersulut api amarahnya. Barangkali hadih maja ureueng Aceh tamse rimueng teungoh eh menjadi penguat alibi bahwa orang Aceh adalah manusia-manusia perang. Apalagi, ada hadih maja yang menyebutkan pantang peudeng meubalek sarong, pantang reuncong meubalek mata; pantang ureueng jiteu’oh kawom, pantang hukom peujuet peukara. Ada pesan pengingat dalam sejumlah hadih maja lainnya bahwa orang Aceh jangan sampai tersinggung. Jika sudah tersinggung, sifat keacehannya muncul, yakni siap hidup sendiri dan menyendiri sesiap hidup melawan apa saja dan siapa saja.

Karakter seperti ini tentu sangat perlu diwaspadai musuh, tetapi juga penting diingat sesama sebangsa. Dengan mengingat bahwa ureueng Aceh lekas naik darah, cepat emosi, kiranya diperlukan sebuah formula menjaga intensitas darah dan emosi tersebut. Hal ini penting karena perang masa kini bukanlah perang seperti masa lalu, yang memerlukan fisik dan senjata. Perang masa kini merupakan perang dalam damai. Dalam konsep sederhana, perang masa damai ini merupakan perang ideologi, perang pengetahuan, dan perang teknologi.

Melalui perang ideologi, orang-orang bisa mendoktrin orang lain agar terpengeruh. Melalui perang pengetahuan, orang-orang mampu mencerahkan kehidupan orang lain, memberi nasihat-nasihat dan ilmu bagi orang lain. Melalui perang teknologi, orang-orang mampu bersaing menggapai hak ekonomi, hak politik, dan hak sosial dari seluruh dunia, tentunya dengan memanfaatkan teknologi. Perang inilah yang harus dikuasai oleh rakyat Aceh masa kini. Pertanyaannya, bagaimana melakukan upaya bertahan dan menyerang dalam perang masa damai ini?

Perang Literasi

Perang sejatinya adalah strategi menyerang dan bertahan. Menyerang untuk menang, bertahan untuk tidak sampai takluk. Dalam kondisi perang ideologi, perang pengetahuan, dan perang teknologi, upaya bertahan dan menyerang tersebut dapat dilakukan dengan literasi. Hal ini dapat dikatakan sebagai perang literasi.

 Literasi terkait dengan baca, tulis, dan sebarkan. Kegiatan literasi mencakup upaya bertahan dan strategi menyerang. Dengan banyak membaca, orang akan mampu bertahan menyikapi hidup di masa kini. Ada banyak informasi yang diperoleh dengan keterampilan dan kemauan membaca. Ada banyak pengetahuan yang didapat dengan membaca. Selanjutnya, dengan kemahiran menulis, orang mampu mentransfer pengetahuan yang ia miliki agar bermanfaat bagi orang lain. Dengan keterampilan menulis, seseorang mampu mempengaruhi, mendoktrin, dan mensugesti orang lain.

 Era literasi ini, anak-anak Aceh perlu memiliki strategi bertahan dari gempuran artikel-artikel hoax, bacaan-bacaan yang berbau fitnah, dan segala isu yang tidak penting serta mengarah kepada perpecahan. Hanya dengan literasi, semua itu dapat ditangkal. Artinya, orang Aceh harus banyak membaca dan rajin menulis. Lalu, sebarkan tulisan-tulisan tersebut. Tentu saja tulisan-tulisan yang dihasilkan mesti yang bermanfaat bagi khalayak, yang mengandung nilai-nilai dakwah, yang memuat katarsis (penyucian jiwa) bagi pembaca. Hanya dengan cara seperti ini, manusia-manusia masa kini mampu bertahan hidup dan mampu melakukan serangan balik terhadap kondisi zaman.

 Perang literasi yang merupakan perang dalam damai harus disikapi dengan bijak. Orang-orang Aceh zaman dulu sebenarnya sudah melakukan perang literasi. Hanya saja, tidak banyak orang yang paham bahwa perang literasi sudah dimulai sejak tempo doeloe. Namun, pada kenyataannya, karya-karya ulama Aceh masa lalu hidup laksana pelita dalam gelap, umpama udara dalam setiap tarikan napas. Andai saja, ulama-ulama Aceh masa lalu tidak menulis, tidak menerbitkan karya mereka, tentunya anak-anak Aceh masa sekarang sudah menjadi manusia-manusia kosong pengetahun, manusia-manusia yang gampang ditipu, dirusak agamanya, dihancurkan ideologinya. Namun, dengan literasi yang dititipkan oleh para ulama masa lalu, ureueng Aceh masih mampu bertahan, meskipun dalam kondisi terpahit sekali pun.

 Bayangkan saja jika Teungku Chik Pante Kulu tidak pernah menulis Hikayat Prang Sabi, apakah rakyat Aceh mampu bertahan dalam kondisi dijajah oleh Belanda? Bayangkan pula jika Syeh Abdurrauf as-Singkili, Hamzah Fansuri, dan ulama-ulama lain tidak pernah menulis kitab-kitab pengetahuan mereka, apakah orang Aceh memiliki ilmu dan pengetahuan untuk bersikap pada manusia dan kepada Tuhan?

 Di sinilah kekuatan literasi. Banyak orang tahu bahwa pengetahuan yang ditumpahkan lewat tinta jauh lebih tajam dan menusuk ke relung kalbu, mengalir dalam urat-urat nadi sehingga hidup sepanjang usia manusia, sepanjang usia dunia. Namun, sangat sedikit orang yang mau melakukannya. Semua orang sadar bahwa manusia boleh saja mati, manusia boleh hilang dari muka bumi, tetapi catatan literasi yang sudah ia tuliskan akan tetap menjadi senjata, akan tetap menjadi pelita, akan tetap menjadi cahaya sepanjang bumi masih berotasi pada porosnya.

 Dengan asumsi ini, literasi adalah perang dalam damai. Perang yang tidak membutuhkan senjata laras panjang. Perang literasi bukan pula perang dengan pedang, tetapi ketajaman kata-kata yang diuraikan dapat melebihi mata pedang. Oleh karenanya, anak-anak Aceh mesti bangkit, harus literatif. Anak-anak Aceh harus mampu mewarisi daya literasi indatu masa lalu. Ulama Aceh masa lalu sudah berdakwah melalui literasi. Giliran generasi masa kini melanjutkannya.

 Perlu diingat, dalam pengetahuan yang kita miliki ada hak orag lain untuk mengetahuinya pula. Sama hal dengan harta yang kita miliki, ada hak orang lain di dalamnya. Demikian pula pengetahuan yang kita punya. Berikan hak orang untuk mengetahui yang kita ketahui. Caranya, tulislah, sebarkanlah. Maka, agar manfaat itu benar-benar menjadi ibadah yang mengalir sepanjang usia dunia, tulis dan sebarkanlah hal-hal positif, nilai-nilai dakwah, dan pesan perdamaian. Di sinilah peran seorang muslim sejati pembawa rahmatulil’alamin.

 Hal lain yang perlu diingat, bahwa Allah bisa saja menurunkan ayat pertama “Sujudlah kepada-Ku” atau “Sembahlah Aku” atau “Berbaktilah kepada kedua orang tuamu,” atau yang lainnya. Namun, Allah Swt. Yang Maha Mengetahui tidak melakukan itu. Allah Swt. menurunkan wahyu pertama yang berbunyi iqra, bacalah. Ada pesan terdalam yang disiratkan melalui firman perdana ini, yakni literasi. Allah Swt. memerintahkan manusia agar menjadi insan literasi. Selanjutnya, pada masa Nabi Muhammad Saw., beliau perintahkan para sahabat untuk menuliskan firman dan hadis di mana saja, pada tulang belulang, pada bebatuan, pada dedaunam, dan pada kulit kayu. Singkatnya, titah membaca datang langsung dari Allah dan perintah menulis dari Nabiyullah Muhammad Saw. Maka, sudah saatnya orang Aceh yang sudah Islam sejak dalam kandungan, memiliki kemauan literasi karena literasi bukan sekadar perang, tetapi ia adalah titah Allah Swt. dan Nabi Muhammad Saw. Maka literasi masa kini adalah jihad fii sabilillah!

Herman RN --Akademisi Unsyiah, Pegiat Literasi”


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda