Ketua Dekranansda Aceh Apresiasi Motif Rumpun Biluluk Abdya
Font: Ukuran: - +
Ketua TP-PKK Aceh, Dr. Ir. Dyah Erti Idawati, MT, saat memberikan sambutan pada Seminar Bedah Motif Rumpun Biluluk dan Adat Budaya Manoe Pucok/Pho DWP Kabupaten Aceh Barat Daya di Aula DPRK Setdakab Aceh Barat Daya, Selasa (14/6/2022). [Foto: Humas Aceh]
DIALEKSIS.COM | Blangpidie - Keragaman dan keunikan seni budaya memiliki daya tarik tersendiri bagi suatu daerah ataupun bangsa, serta menjadi identitas bagi suatu etnis. Potensi itu tentunya dapat menjadi konsep sekaligus kekuatan pengembangan seni kerajinan budaya dengan ciri khas, untuk mendukung kemajuan usaha kerajinan daerah.
Seperti halnya yang dilakukan Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), yang memperkenalkan motif “Rumpun Biluluk” dari Adat Manoe Pucuk atau Tari Pho sebagai motif dan budaya ciri khas dari Nanggroe Breuh Sigupai tersebut.
Pengenalan motif itu, dikemas dalam kegiatan Seminar Bedah Motif Rumpun Biluluk dan Adat Manoe Pucuk/Pho, yang diprakarsai oleh Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kabupaten Abdya, di Aula Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Abdya, Selasa (14/6/2022).
Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranansda) Aceh, Dyah Erti Idawati, mengaku sangat bangga dan mengapresiasi kerja keras dari DWP, Dekranasda Abdya, dan Majelis Adat Abdya (MAA) yang telah berhasil menemukan dan mengembangkan motif khasnya.
"Meski terdapat beberapa titik persamaan dengan daerah lain yang serumpun, namun hal itu tetap menunjukkan ciri masing-masing budaya yang mempunyai nyawa dan nafas tersendiri," tutur Dyah dalam kegiatan seminar tersebut.
“Sebagai suatu bangsa dengan warisan adat dan budaya luhur, sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk memelihara warisan endatu. Melalui motif dan adat yang terus dipertahankan,” katanya lebih lanjut.
Dyah menyebutkan, dalam tataran nasional, setidaknya ada 40 produk budaya Aceh yang telah ditetapkan menjadi warisan budaya non benda, diantaranya Rumoh Aceh, rencong (Aceh pesisir). Selain itu, tari saman, kerawang dan pacu kude dari Gayo, rapai geleng dari Abdya dan meracu dari Aceh Selatan juga telah ditetapkan menjadi warisan budaya non benda.
Karena itu, Dyah berharap, motif rumpun biluluk dan tradisi manoe pucok ini, akan segera menyusul untuk ditetapkan menjadi warisan budaya non benda. Tentunya ini akan menambah kekayaan khazanah budaya Aceh yang beragam dengan latar belakang suku dan adat yang berbeda.
“Produk budaya, menjadi kekuatan dan kelebihan kita di mata dunia. Oleh karena itu, pelestarian produk budaya lokal menjadi sebuah usaha strategis. Bukan saja berfungsi sebagai catatan pencapaian bangsa dan pendidikan bagi generasi penerus, namun juga menjadi duta internasional. Sebab bahasa seni dan budaya adalah bahasa universal, yang dapat dipahami bangsa mana pun tanpa memedulikan garis batas teritorial negara,” ujarnya.
Selain itu, untuk mendukung kemajuan produk lokal, Dyah juga mengajak semua pihak untuk mencintai dan menggunakan produk lokal. Selain berdampak pada sistem perputaran ekonomi setempat, hal itu juga menjadi langkah strategis dalam menjaga eksistensi warisan budaya melalui kerajinan khas daerah yang dimiliki Aceh.
“Jangan hanya sekedar bangga saja, tapi juga pakai dan gunakan juga jasa pengrajin lokal,” pungkasnya.
Turut hadir dalam acara itu, Ketua Dekranasda Abdya, Ketua DWP Abdya, Ketua MAA Abdya, dan Tim Dekranasda Aceh. [HA]