Koordinator TTI: Modus Korupsi di BRA adalah Peringatan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Koordinator Transparansi Tender Indonesia (TTI) Nasruddin Bahar. [Foto: for Dialeksis]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sejak merebaknya kasus pengadaan bibit ikan kakap dan pakan runcah senilai 15 miliar rupiah, satu persatu kebobrokan Badan Reintegrasi Aceh (BRA) terkuak ke publik.
Menurut Koordinator Transparansi Tender Indonesia (TTI) Nasruddin Bahar, berbagai modus korupsi yang dilakukan mulai terbongkar. Salah satunya adalah bantuan traktor yang berita acara serah terimanya sudah diteken, namun barangnya belum diserahkan. Ada juga kasus mesin digital printing di Banda Aceh, di mana barangnya tidak ada tetapi uangnya sudah dicairkan.
Nasruddin Bahar menegaskan, kasus di BRA adalah peringatan. Bukan tidak mungkin kejadian serupa terjadi di dinas dan Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) lainnya.
Ia menambahkan bahwa tugas Aparat Penegak Hukum (APH), terutama kalangan korps Adiyaksa, sangat berat tahun ini.
"Kejaksaan membutuhkan alat bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka utama, mengingat tempat kejadian perkara tersebar di seluruh wilayah Aceh," ujarnya kepada Dialeksis.com, Jumat (24/5/2024).
Koordinator TTI tersebut mengajak masyarakat untuk optimis terhadap kinerja para insan Adiyaksa. "Hal ini terbukti dalam tempo kurang dari satu minggu, kasus pengadaan fiktif di BRA ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan. Kita patut bangga pada Korps Kejaksaan Aceh yang serius menangani kasus ini," kata Nasruddin.
Waspadai Modus Baru Korupsi
Nasruddin juga mengingatkan agar dinas lainnya, seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, Dinas Pendidikan dan Olahraga, serta Dinas Peternakan, mendapat perhatian khusus.
"Banyak dinas yang menerima dana hibah dari Pemerintah Aceh perlu diawasi," tambahnya.
TTI akan segera mengungkap kasus-kasus besar lainnya dan menyerahkannya kepada APH. Menurut Nasruddin, pengadaan barang secara ekatalog merupakan cara yang sangat mudah untuk melakukan korupsi. Tahun ini, ada ratusan miliar rupiah pengadaan barang yang dilakukan bukan dengan tender. Ekatalog hampir sama dengan penunjukan langsung tanpa tender.
Ia mengungkapkan bahwa modus baru korupsi dengan ekatalog melibatkan markup harga barang hingga 50% dari harga pasar.
"Komitmen fee yang diberikan kepada yang punya usulan, yaitu pokok pikiran (Pokir) anggota dewan, bisa mencapai 25%, ditambah lagi untuk dinas bisa 5-10% tergantung negosiasi," kata Nasruddin.
Ia juga menyoroti ketidaksesuaian antara program pendidikan dengan Pokir anggota dewan, karena anggaran pendidikan sudah dijamin oleh undang-undang.
Urgensi Transparansi dan Keterbukaan
Nasruddin menekankan pentingnya transparansi dan keterbukaan dalam pengelolaan dana publik oleh Pemerintah Aceh.
"Jika program kerja yang diusulkan dari Pokir anggota dewan, maka publik perlu tahu secara terbuka apa saja program yang mereka ajukan," ujarnya. Tanpa transparansi, semua usaha akan sia-sia dan kasus-kasus korupsi akan terus berulang.
"Jika perilaku elit politik yang seharusnya mengawasi malah ikut mengelola anggaran, siapa lagi yang akan mengawasi pemerintahan jika terjadi pelanggaran hukum atau penyalahgunaan wewenang? Jika begini terus, tata kelola pemerintahan Aceh sejak kapanpun akan tetap menjadi yang termiskin di Sumatera," pungkasnya.