DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kejaksaan Negeri (Kejari) Banda Aceh melalui Jaksa Penuntut Umum (JPU) resmi mengeksekusi dua terpidana kasus tindak pidana korupsi proyek pengadaan wastafel, yakni Zulfahmi bin M. Dzamil Makam (46) dan Muchlis, S.E., Ak., M.M., alias Mumu bin Abdurrahman (47).
Eksekusi dilakukan pada Jumat, 15 Agustus 2025 sekitar pukul 11.00 WIB di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banda Aceh di Lambaro.
Sebelumnya, kedua terpidana lebih dulu memenuhi panggilan JPU di Kantor Kejari Banda Aceh, lalu menjalani pemeriksaan kesehatan di Klinik Pratama Kejaksaan Tinggi Aceh. Dari hasil pemeriksaan medis, keduanya dinyatakan sehat dan layak menjalani hukuman badan.
Kepala Kejaksaan Negeri Banda Aceh yang diwakili Kepala Seksi Intelijen, Muhammad Kadafi, membenarkan pelaksanaan eksekusi tersebut.
“Jaksa Penuntut Umum, yakni Bapak Putra Masduri, S.H., M.H. dan Bapak Sutrisna, S.H., M.H., telah melaksanakan eksekusi berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Kedua terpidana kini resmi menjalani masa pidana di Lapas Kelas IIA Banda Aceh,” ujar Kadafi dalam keterangan pers kepada media dialeksis.com, Sabtu (16/8/2025).
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 7056 K/Pid.Sus/2025 tanggal 2 Juli 2025, Zulfahmi dijatuhi hukuman penjara 4 tahun serta denda Rp100 juta, subsider 6 bulan kurungan.
Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp239,5 juta. Jika tidak dibayar dalam waktu 1 bulan setelah putusan inkracht, maka harta bendanya dapat disita dan dilelang. Bila harta tidak mencukupi, hukuman diganti dengan penjara 1 tahun.
Sementara itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 7126 K/Pid.Sus/2025 tanggal 2 Juli 2025, Muchlis alias Mumu dijatuhi hukuman lebih ringan, yakni 1 tahun penjara serta denda Rp50 juta, subsider 2 bulan kurungan.
Kasus ini sempat mengalami proses hukum berliku yaitu pada tingkat Pertama, pada Januari 2025, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Banda Aceh memvonis Zulfahmi 4 tahun penjara dan Muchlis 3 tahun penjara.
Pada tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Banda Aceh justru membebaskan keduanya dari segala dakwaan. Jaksa kemudian mengajukan kasasi, dan Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan dengan memutuskan keduanya bersalah sesuai dakwaan subsidair.
“Putusan Mahkamah Agung menjadi dasar kami melakukan eksekusi. Proses hukum ini menunjukkan mekanisme peradilan berjalan sesuai aturan, dari pengadilan tingkat pertama, banding, hingga kasasi,” kata Kadafi.
Dalam putusan itu, sebanyak 160 barang bukti berupa dokumen dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk digunakan dalam perkara lain. Selain itu, masing-masing terpidana juga dibebankan biaya perkara sebesar Rp5.000.
Muhammad Kadafi menegaskan bahwa Kejaksaan tetap konsisten dalam menegakkan hukum, khususnya pemberantasan korupsi yang merugikan negara dan masyarakat.
“Eksekusi ini membuktikan komitmen Kejaksaan Negeri Banda Aceh untuk melaksanakan putusan pengadilan yang sudah inkracht. Tidak ada pengecualian, semua pihak yang terbukti bersalah tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum,” pungkasnya