Beranda / Politik dan Hukum / JPPR Dorong Keterpilihan Bawaslu Berdasarkan Penilaian Seleksi, Bukan Hasil Konsolidasi Proses Politis

JPPR Dorong Keterpilihan Bawaslu Berdasarkan Penilaian Seleksi, Bukan Hasil Konsolidasi Proses Politis

Jum`at, 11 Agustus 2023 23:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Kornas JPPR Nurlia Dian Paramita. [Foto: IG @bawasluri]


DIALEKSIS.COM | Nasional - Seleksi Bawaslu Kabupaten/Kota se-Indonesia tengah dilaksanakan oleh Bawaslu RI dengan membentuk tim seleksi sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 (UU Pemilu). Berdasarkan amanat Pasal 129 ayat (1) UU Pemilu mengamanatkan bahwa Tim Seleksi Bawaslu Kabupaten/Kota melaksanakan tugasnya secara terbuka dengan melibatkan partisipasi masyarakat.

Koordinator Nasional JPPR, Nurlia Dian Paramita melalui keterangan tertulis yang diterima Dialeksis.com, Jumat (11/8/2023), mengatakan selama proses seleksi Bawaslu Kabupaten/Kota dilaksanakan, setidaknya terdapat beberapa persoalan diantaranya: Pertama, kurangnya memperhatikan keterwakilan perempuan.

"Misalnya di Jawa Barat, dari 87 peserta perempuan yang mengikuti tes, hanya tersisa 37 perempuan dari jumlah 254 calon anggota Bawaslu Kabupaten/Kota se-Jawa Barat yang lolos. Artinya hanya sekitar 14,6 %. Hal tersebut tentu saja tidak sejalan dengan amanat dan spirit Pasal 92 ayat (11) UU Pemilu yang mengatur bahwa Komposisi keanggotaan Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen," ujar Mita, panggilan karibnya.

Kedua, mengenai kapasitas pemahaman kepemiluan calon anggota Bawaslu, masyarakat mempertanyakan kinerja tim seleksi yang tidak cermat dan diduga penuh intervensi (konflik kepentingan) dalam proses seleksi. Temuan JPPR berdasarkan atas informasi dari sekretariat provinsi di Sultra, Sulbar, Gorontalo, Sulut. 

"Kami menemukan adanya peserta seleksi yang diduga terafiliasi pada salah satu partai politik bahkan terdaftar sebagai Tim Sukses (Timses) yang dibuktikan melalui SK pada pelaksanaan Pilkada 2020. Beberapa temuan JPPR di daerah sudah ditindaklanjuti melalui upaya memberikan tanggapan masyarakat kepada Timsel, namun upaya tersebut tidak direspon dengan baik oleh Timsel," paparnya.

Ketiga, molornya pengumuman hasil tes kesehatan dan wawancara dari jadwal yang telah ditentukan. Hal tersebut terjadi seperti di proses pencalonan anggota Bawaslu kabupaten/kota se-Kalimantan Selatan. 

Hal ini menjadi catatan penting, Mita menambahkan, mengingat dengan adanya penundaan tersebut publik mempertanyakan kinerja tim seleksi dan pertanyaan adanya dugaan intervensi kepentingan didalamnya. 

"Seperti molornya pengumuman karena adanya proses politik yang alot diantara masing-masing kelompok kepentingan. Molornya pengumuman hasil seleksi juga berpotensi terjadi nanti, yang dapat menimbulkan kekosongan Pengawas(an) ditengah tahapan yang saat ini sedang berjalan," ucap Mita.

Berdasarkan ketiga persoalan itu, tentunya bertentangan dengan salah satu syarat menjadi Bawaslu kabupaten/kota sebagaimana yang diatur dalam Pasal 117 ayat (1) huruf d yang mengatur bahwa syarat untuk menjadi calon anggota Bawaslu Provinsi, Bawaslu kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan dan Panwaslu Kelurahan/Desa, serta Pengawas TPS adalah mempunyai integritas, berkepribadian yang kuat, jujur, dan adil. 

"Hasil pemantauan JPPR dibeberapa daerah seperti Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, dan Jawa Tengah menemukan kasus yang serupa masing-masing kabupaten/kotanya," tuturnya.

Karena itu, JPPR mendorong beberapa hal, diantaranya:

1. Mendorong kepada Bawaslu dan Bawaslu Provinsi untuk bekerja dengan objektif, profesional, independen dan akuntabel dalam melakukan proses seleksi anggota Bawaslu kabupaten/kota se-Indonesia;

2. Mendorong kepada Bawaslu dan Bawaslu Provinsi untuk memberikan atensi khusus dan menindaklanjuti tanggapan dan masukan dari masyarakat terhadap calon anggota Bawaslu kabupaten/kota yang integritasnya dipertanyakan berdasarkan rekam jejak dan penilaian masyarakat;

3. Mendorong Bawaslu dan Bawaslu Provinsi untuk memastikan adanya keterwakilan 30% perempuan dalam proses seleksi di masing-masing Kabupaten/Kota se-Indonesia;

4. Bawaslu RI memastikan tidak adanya penundaan pengumuman hasil seleksi, yang berimbas pada mundurnya waktu pelantikan anggota Bawaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota sehingga mengakibatkan adanya kekosongan Pengawas(an) ditengah tahapan Pemilu 2024; dan

5. Bawaslu memastikan calon anggota Bawaslu Kabupaten/Kota terpilih berdasarkan kapasitas dan kemampuan peserta dari hasil penilaian, bukan berdasarkan pada proses politik. [*]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda