kip lhok
Beranda / Politik dan Hukum / Caleg Lolos Atau Gagal Baca Al-Quran, Pemerhati Agama: Tak Menjamin Kinerja Kedepan

Caleg Lolos Atau Gagal Baca Al-Quran, Pemerhati Agama: Tak Menjamin Kinerja Kedepan

Minggu, 18 Juni 2023 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Pemerhati agama sosial politik Aceh, T Muhammad Jafar Sulaiman. [Foto: IST] 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Fenomena banyaknya Bacaleg peserta Pemilu 2024 di Aceh yang tidak lolos dan tidak hadir pada tahapan uji tes baca Al Quran telah mencuri perhatian warga di media sosial. Beragam komentar muncul dari publik terkait masalah ini. Bahkan sebagian orang berpendapat bahwa tidak masuk akal jika ada orang Aceh yang sudah baligh namun tidak mampu membaca Al Quran.

Menanggapi hal itu, pemerhati agama sosial politik Aceh, T Muhammad Jafar Sulaiman mengatakan, fenomena banyak Bacaleg yang tidak lolos baca Al-Quran menandakan ada persoalan serius di tubuh partai politik dalam mempersiapkan kader-kader politik.

"Para Parnas maupun Parlok telah gagal dalam peningkatan kualitas anggotanya, hal ini menandakan sistem pengrekrutan anggota partai politik itu masih belum memenuhi sebuah standar partai politik yang baik," ujarnya kepada Dialeksis.com, Minggu (18/6/2023).

Menurut pemerhati keberagaman itu, persoalan keagamaan itu tidak menjadi satu concern serius bagi Parnas maupun Parlok, tidak ada partai yang serius dalam memberikan pendidikan aspek keagamaan bagi anggota Parpolnya.

"Mungkin bagi partai politik, menganggap soal keagamaan sudah selesai sebelum seseorang itu menjadi kader partai," sebutnya.

Jafar menjelaskan, ada prinsip penting yang sampai hari ini belum terwujud di negeri ini yaitu meritokrasi, adalah satu konsep penempatan seseorang dengan kemampuannya atau dengan keahlian di bidang tertentu.

"Faktanya, di Aceh kader Parpol penempatan seseorang itu bukan pada keahliannya, latar belakang pendidikannya, tapi berdasarkan kedekatan, relasi, rekomendasi dan sebagainya, sekalipun yang bersangkutan tidak ahli di bidang tertentu, makanya meritokrasi tidak terwujud di Aceh," ungkapnya.

Terpenting, menurut Jafar, semua orang Aceh tidak perlu berharap banyak bahwa tidak ada sama sekali hubungan mampu baca Al Quran Caleg dengan kinerja ke depan.

"Tidak menjamin dia tidak korupsi, menyalahi kewenangan, karena tes itu hanya sebuah formalitas dikarenakan Aceh berlaku Syariat Islam. Jadi tidak harus bermimpi bahwa kemampuan baca Al Quran Bacaleg berpengaruh terhadap akhlak dan moral yang bagus," terangnya.

Satu sisi, kata Jafar, fenomena ini mencoreng nama Aceh karena syariat Islam yang dijalankan hanya di permukaan dan tidak menyentuh kepada para pengambil kebijakan baik eksekutif maupun legislatif.

"Etika-etika publik ini tidak didapat dari uji baca Quran, tetapi didapat bagaimana dari cara dia merespons kepentingan publik dalam persoalan kesejahteraan," ucapnya.

Kemampuan dasar ini, lanjutnya, jika tidak dimiliki maka tidak akan ada perubahan bagi Aceh karena semua itu dikaji dengan pendekatan agama. Persoalan investor, pembangunan, peningkatan perekonomian itu selalu dikaji dengan pendekatan agama sesuai syariat islam atau tidak.

"Padahal bicara kesejahteraan, investasi, modal dan sebagainya itu tidak berkorelasi dengan itu, tidak berarti juga bahwa persoalan ini jauh dari nilai agama. Karena rumusnya berbeda, nalar agama dengan nalar publik itu berbeda," pungkasnya. [nor]

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda