Beranda / Berita / Pojok Iqbal / Pers dan Kekuasaan

Pers dan Kekuasaan

Selasa, 09 Februari 2021 21:15 WIB

Font: Ukuran: - +


Halaman depan Washington Post tanggal 9 Agustus 1974 yang bersejarah, Richard Nixon mengundurkan diri karena skandal watergate.


Hal yang paling di ingat oleh Richard Nixon, sebuah pukulan benar-benar telak oleh pers kepadanya, tepat disaat ia butuh porsi pemberitaan positif. Pada waktu itu, pers mulai muncul sebagai bintang baru dalam pembentukan opini publik. 

Tentu, sistem demokrasi yang mengharuskan para kandidat pemimpin politik berlomba menebar pesonanya menjadi alasan kenapa media pemberitaan berperan besar dalam langkah politik seorang figur politik. 

Partai Republik mencalonkan petahana Wakil Presiden Richard Nixon, yang sangat berpengalaman dalam pemerintahan. Nixon bisa dikatakan contoh dari pepatah lama kerja keras tidak membohongi hasil. Memulai kehidupan dari keluarga miskin, tinggal di dusun pertanian pedalaman California, ayahnya kerja serabutan demi memenuhi kebutuhan keluarga. 

Nixon sepakat dengan dirinya, untuk belajar dan bekerja keras demi memperbaiki masa depannya. Kepahitan masa mudanya membekas kepada ekspresi wajahnya yang masam serta pembawaan selalu serius. 

Sebaliknya, Partai Demokrat mencalonkan John F. Kennedy, Senator dari Massachusetts. Kennedy merupakan trah aristokrat kelas atas di Amerika, menghabiskan masa kecil dalam kehidupan ala bangsawan dan kuliah di kampus paling top. Singkatnya Kennedy melewati hari-hari dengan buku, pesta dan cinta. Kehidupannya semakin sempurna, saat ia menikahi perempuan cantik dari kalangan elit, Jacqueline Lee Bouvier. 

Media mengambil gambaran kontras perbandingan kedua kandidat ini, isu dalam opini publik sedang berpihak untuk personality pintar berkata-kata, plus jenaka dalam pembicaraan depan televisi. Publik Amerika saat itu sedang membutuhkan sedikit hiburan dan tawa seusai mengalami perang yang tiada habisnya. 

Pada saat itu, televisi sedang hits dikalangan warga Amerika. Dipilih sebagai platform menyiarkan secara langsung debat calon presiden yang bertarung pada Pilpres Amerika tahun 1960. Debat pertama Kennedy-Nixon dicatat sebagai yang pertama dalam panggung politik. Debat tahap satu berlangsung pada 26 September 1960, diperkirakan ditonton oleh sebesar 70 juta orang (dua pertiga pemilih). 

Kennedy menjadi bintang besar dalam show tersebut. Latihan pidatonya yang lama, persiapan naskah yang serius, pemilihan jas biru yang tepat mengakali latar studio untuk resolusi televisi hitam putih, bahkan komposisi polesan bedak pada wajahnya, membuat ia menjelma menjadi pop star politik idola masyarakat Amerika. 

Fakta menyedihkan, berbanding terbalik dengan tampilan Nixon. Kusam, ketinggalan jaman, kikuk, grogi dan tampak tidak siap menghadapi kamera. Memupus segala prestasi yang telah ia capai, mantan senator dan wakil presiden dua periode dengan sederet pencapaian serta segudang pengalaman. 

Media cetak dan televisi lalu menjual Kennedy secara masif. Ia punya support system paling canggih. Ayahnya punya usaha sampingan sebagai produser film, pernah suatu waktu memproduksi 70-an judul hanya dalam dua tahun. Istrinya Jacqueline, bukan orang asing di dunia pemberitaan. Pekerjaan pertamanya di tahun 1951, semacam presenter selebritas para politisi untuk The Washinton Times-Herald (kemudian menjadi The Washinton Post). Senator muda tampan Massachussets, John F. Kennedy, juga pernah menjadi sasaran liputannya.

Setelah menikah, Jacqueline mendorong Kennedy untuk menulis buku, Profiles in Courage, tentang cerita heroik delapan senator Amerika Serikat yang bertarung memperjuangkan idealisme walau membahayakan karier mereka. Buku ini dianugrahi penghargaan Pulitzer Prize pada tahun 1957. 

Peran pers begitu besar memenangkan Kennedy menjadi Presiden Amerika Serikat ke-35 yang menjabat sejak Januari 1961, sampai ia tewas dibunuh pada November 1963. Sejak pada saat itu, pers berjaya menjadi komponen utama dalam menyokong langkah gerak politik dan awetnya kekuasaan. 

Cerita tentang Kennedy boleh saja usai setelah pembunuhannya. Tapi, kisah Nixon masih berlanjut panjang. Terutama hubungannya yang penuh drama dengan kalangan pers. 

Nixon yang kecewa dengan kekalahan tipisnya melawan Kennedy, mencoba peruntungan di 'kolam kecil'. Berusaha menjaga asa politik menuju Pilpres Amerika periode mendatang, Nixon ikut bertarung dalam Pemilihan Gubernur California tahun 1962. Kesialan menyapanya kembali, ia kalah melawan Edmund Gerald "Pat" Brown. Isu kampanye yang ia pilih, juga kurang populis dan dihajar oleh pemberitaan pers habis-habisan. 

Mungkin saja, Nixon percaya pepatah "man jadda wajada", siapa yang bersungguh-sungguh maka ia yang dapat. Pada akhirnya ia dilantik menjadi presiden setelah memenangkan Pilpres Amerika tahun 1968, mengalahkan Hubert Humphrey dan George Wallace dalam pemilihan yang sengit. Nixon juga berhasil mempertahankan kursi petahana di Pilpres tahun 1972. 

Seakan sebuah kutukan, permusuhannya dengan pers terus berlanjut. Nixon acap kali jadi sasaran bully oleh media tentang kepribadian atau kebijakannya. Tentu saja itu mempengaruhi persepsi publik terhadap dirinya. Kartunis dan komedian sering menjadikannya objek lelucon sarkas. Nixon sering digambarkan dengan pria malas bercukur, bahu yang terkulai lunglai dan alis yang berkerut dan berkeringat. Ia seperti berlangganan tetap, atas ejekan body shaming yang dialamatkan kepadanya. 

Saat kekuasaan ditangan, Nixon membalas dendam kepada pers dan jurnalis. Laporan-laporan menyebutkan upaya sabotase, penyadapan, percobaan penghilangan, intimidasi dan intrik kotor yang dilakukan terhadap penggiat media. Kadangkala ia menggunakan Wakil Presiden, Spiro Agnew misalnya pada tahun November 1969 untuk menantang terbuka liputan media terhadap kinerja pemerintahan. 

Takdir mencatat nasibnya, kekuasaan Nixon berakhir ditangan pers. Skandal besar paling memalukan terjadi, dikenal dengan "Watergate." Pada Juni 1972, lima pria membawa peralatan perekam dan kamera diringkus di kantor Komite Nasional Partai Demokrat dikompleks perkantoran gedung Watergate, Washington. Penyelidikan lebih lanjut mengungkap, ujung benang merah peristiwa mengarah ke Presiden Nixon demi kepentingan Pilpres 1972. 

Skandal yang memicu krisis konstitusi ini atas inisiatif pekerja pers, dua jurnalis muda The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein. Investigasi panjang nan rumit mempertaruhkan nyawa, mengingat kasus tersebut mengarah menuju jantung kekuasaan paling besar pemerintahan Amerika Serikat. 

Woodward akhinya mendapatkan kesimpulan informasi, orang paling penting yang mengendalikan dana rahasia di dalam tim kampanye Presiden Nixon yaitu Kepala Staf Kepresidenan, Bob Halderman. Melengkapi laporan atas keterlibatan seluruh badan intelejen dan aparat penegak hukum di Amerika Serikat. Mereka yangbterlibat mulai dari FBI, CIA, dan Departemen Keadilan (Department of Justice). 

Nixon lantas menjadi musuh publik nomor wahid. Politisi dan elit partai bergegas menyiapkan skema pemakzulan kepada 'penjahat politik' yang telah menodai citra demokrasi Amerika. Nixon menolak menderita malu lebih jauh, ia mengambil keputusan memilih mengundurkan diri. Langkah yang juga terbukti salah, membuatnya dicatat dalam sejarah untuk satu-satunya orang yang mundur dari jabatan kepresidenan Amerika Serikat. 

Nixon kembali (lagi) terbenam dalam kubangan lumpur politik, yang digali oleh kawan-kawan pers. Dengan rasa malu sebesar gunung. Upaya terakhirnya melakukan intimidasi terhadap jurnalis idealis menggunakan perangkat intelijen, gagal. Membenamkannya lebih dalam ke dasar lumpur, dengan lahirnya ungkapan jijik baru 'orang yang menghalalkan segala cara kotor' atau 'kok bisa se-brengsek itu, sih' dari kalangan masyarakat. 

Hubungan pers dan kekuasaan, memang sangat unik. Begitu vital, juga fatal. Namun pers hanyalah 'perangkat', bersifat statis tidak bergerak. Baik atau buruknya dampak yang ditimbulkan, tergantung sang pengguna. Layaknya pisau yang tajam, pers bisa digunakan untuk membunuh seorang figur berkali-kali. Atau dipakai untuk memotong rantai kezaliman suatu rezim penguasa. Dan sebagai salah satu pilar penting demokrasi, harapan semua orang agar pers tetap menjadi cahaya penunjuk kebenaran. 

Penulis: Iqbal Ahmady M Daud

Pengajar Ilmu Politik USK dan penyuka kopi sanger Solong Ulee Kareng

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda