Peta Koalisi Partai Pengusung Capres, Akademisi: Perlu Rezim Baru untuk Minimalkan Absolute Power
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Andi Ahmad Yani. [Foto: for Dialeksis]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ada tiga bakal Capres yang akan bertarung di Pilpres 2024 yakni Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Rasyid Baswedan.
Sejauh ini ada tiga poros koalisi yang berkontestasi pada Pemilihan Presiden yaitu Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri atas PDIP dan PPP serta partai non-parlemen PSI dan Hanura dengan mengusung Ganjar Pranowo sebagai Capres.
Poros koalisi kedua adalah Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang terdiri atas Gerindra, PKB, PAN, dan Golkar dengan mengusung Prabowo Subianto sebagai Capres.
Terakhir adalah Koalisi Perubahan yang terdiri dari Partai Nasdem, Demokrat dan PKS dengan mengusung Anies Baswedan sebagai capres.
Menanggapi hal itu, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Andi Ahmad Yani mengatakan, dari ketiga poros tersebut sebenarnya ada kemungkinan publik akan cenderung pada rezim yang baru.
Hal itu, menurutnya, untuk bisa menghindari abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan karena kontrol kuasa politik dalam jangka waktu lama. Ada baiknya penggantian rezim dilakukan setiap 10 tahun, seperti Partai Demokrat pada masa Presiden SBY.
“Namun tentu hal ini tergantung dari strategi PDIP dan koalisinya untuk menjaga basis suara Presiden Jokowi. Kepuasan publik pada pemerintahan Jokowi selama dua periode menunjukkan apresiasi warga atas kinerja Jokowi yang berdampak pada penguatan personifikasi politiknya. Hal ini menjadi rebutan antar kandidat presiden bersama koalisinya untuk merepresentasi Jokowi dalam kandidasinya. Selain itu, hal lain yang menjadi pertanyaan kuat adalah, bagaimana karir politik Jokowi pasca presiden. Dengan usia masih muda, tentu Jokowi membutuhkan institusi politik untuk ikut terlibat dalam perpolitikan Indonesia ke depan. Namun, hal ini sulit dijawab dalam konteks keanggotan beliau di PDIP, karena transisi posisi pimpinan di PDIP sulit terjadi sebagai “partai keluarga” sebagaimana umumnya partai politik di Indonesia” kata Andi kepada Dialeksis.COM, Rabu (30/8/2023).
Andi menilai ada kemungkinan Jokowi mencari peluang jadi pimpinan di partai lain sebagai kendaraan politiknya ke depan. Apa lagi Jokowi juga sudah mulai membangun dinasti politiknya sendiri dimana anak dan menantunya menduduki posisi pimpinan daerah. Ada kemungkinan Jokowi membangun hubungan dengan Gerindra sebagai partai dengan basis suara yang cukup kuat. Prabowo juga membutuhkan mitra “personifikasi” politik untuk menjaga nafas panjang partainya kelak .
“Saya melihat Jokowi mencoba mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan jaringan tersebut, Jokowi selama ini berhasil membangun hubungan di semua kalangan tidak hanya atas nama partai tapi juga nama pribadi,” ungkapnya.
Bagi Andi, Jokowi menjadi kunci kepada kandidat untuk menjadi presiden kedepan. Jokowi bisa jadi brand untuk mendapatkan dukungan suara. Hal ini menjadi kelemahan bangunan demokrasi Indonesia dimana proses konsolidasi demokrasi belum pada penguatan kelembagaan partai politik namun cenderung melihat tokoh yang menjadi simbol partai.
Untuk itu, Andi berharap partai politik ke depan mampun membangun kelembagaannya lebih professional dibandingkan memainkan peran person atau symbolnya. Hal ini dapat membuat partai lebih mampu bertahan dengan basis konstituen yang loyal karena program utama yang ditawarkan dan berhasil diwujudkan.