DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin melontarkan pernyataan keras terhadap Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas), dan Pertamina.
Ia menilai ada upaya pembegalan sistematis terhadap hak pengelolaan minyak dan gas bumi (migas) Aceh yang seharusnya dijalankan oleh Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2015.
“Sudah lebih dari satu dekade sejak Undang-Undang Pemerintahan Aceh disahkan, dan delapan tahun sejak PP 23 diterbitkan, tapi hak Aceh atas pengelolaan migas masih dihalangi dengan berbagai alasan teknis dan administratif yang seolah disengaja,” tegas Safaruddin dalam konferensi pers bersama awak media, Rabu (18/6/2025).
Dalam Pasal 90 PP 23/2015 disebutkan secara eksplisit bahwa setelah terbentuknya BPMA, seluruh kontrak dan kewajiban migas di Aceh baik di darat maupun laut harus dialihkan dari SKK Migas ke BPMA.
Namun, kenyataannya saat ini, sejumlah Blok Migas penting seperti Kuala Simpang Barat, Kuala Simpang Timur, dan Rantau Perlak masih berada dalam cengkeraman pengelolaan SKK Migas bersama PT Pertamina EP.
Hal ini, menurut Safaruddin, membuat Pemerintah Aceh tidak memiliki akses penuh terhadap data dan transparansi pendapatan dari migas.
“Kita tidak tahu pasti berapa pendapatan dari blok-blok migas tersebut. Padahal secara asumsi konservatif saja, Aceh seharusnya telah mendapatkan triliunan rupiah dari bagi hasil tersebut,” ujarnya.
Safaruddin membeberkan kalkulasi keuangan berdasarkan data yang pernah disampaikan oleh Field Manager Pertamina EP Rantau Field. Dari blok yang berada di Aceh Tamiang, produksi mencapai 2.500 Barrel Oil Per Day (BOPD), atau sekitar 900.000 BOPD per tahun.
Dengan perhitungan sederhana dikalikan dengan kurs dolar dan pembagian hasil migas, Safaruddin menyebut Aceh seharusnya sudah menerima sekitar Rp 4,7 triliun hanya dari satu blok migas selama 10 tahun terakhir.
“Ini baru satu blok, belum blok lainnya. Jika seluruh hak Aceh dijalankan dengan benar sesuai PP 23/2015, maka potensi pendapatan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Aceh akan sangat besar,” katanya.
Upaya memperjuangkan hak Aceh atas migas bukanlah hal baru. Pada tahun 2021, anggota DPRA Asrizal Asnawi pernah menggugat Kementerian ESDM, SKK Migas, Pertamina, dan BPMA ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Nomor 338/Pdt.G/2021/Jkt.Pst).
Gugatan itu berujung pada kesepakatan damai yang isinya mewajibkan semua pihak menjalankan Pasal 90 PP 23/2015.
Namun, kesepakatan tersebut tak pernah dijalankan. Ketika dimintai progres implementasinya, semua pihak diam.
Pada Maret 2023, gugatan serupa kembali diajukan oleh Kepala Perwakilan Aceh Tamiang, Samsul Bahri, dan Aceh Timur, Indra Kusmeran.
Di tengah proses persidangan, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengeluarkan surat pengalihan sebagian wilayah kerja Pertamina EP kepada BPMA.
Sayangnya, ketentuan dalam surat tersebut justru dinilai penuh jebakan dan syarat yang tak masuk akal. Salah satunya, pengelolaan hanya diberikan kepada afiliasi Pertamina EP, yaitu PT Pertamina Hulu Energi Aceh Darussalam, tanpa tambahan beban kewajiban baru, dan dengan syarat keekonomian yang menguntungkan pusat.
Walau pada akhirnya Pj Gubernur Aceh Safrizal ZA menyetujui term and condition tersebut pada 30 Oktober 2024, Kementerian ESDM tidak kunjung mengeluarkan keputusan menteri untuk pengalihan kontrak, sehingga status pengelolaan masih menggantung hingga kini.
Safaruddin menyamakan kasus ini dengan sengketa empat pulau di Aceh Singkil yang sebelumnya diklaim oleh Sumatera Utara. Saat itu, intervensi Presiden RI Prabowo Subianto berhasil menyelesaikan masalah secara bijaksana. Ia berharap Presiden juga turun tangan langsung dalam hal migas Aceh.
“Ini pembiaran yang sistematis. Kementerian ESDM diam, SKK Migas diam, dan Pertamina berlindung di balik kontrak lama. Ini bentuk pembegalan terhadap hak rakyat Aceh!” seru Safaruddin.
YARA meminta agar Presiden segera menegur Menteri ESDM dan memastikan bahwa kontrak pengelolaan migas di wilayah Aceh benar-benar dialihkan ke BPMA sesuai amanat PP 23/2015 dan UU Pemerintahan Aceh.
Keterlambatan pengalihan pengelolaan migas ke BPMA tidak hanya merugikan Aceh secara ekonomi, tetapi juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap semangat otonomi khusus dan perdamaian yang telah dibangun dengan susah payah.
“Jika pemerintah pusat tak mau menyerahkan yang menjadi hak Aceh, maka perdamaian akan kehilangan makna. Ini bukan soal minyak, tapi soal keadilan dan penghormatan terhadap perjanjian negara,” tutup Safaruddin. [nh]