Vaksinasi Covid-19 Sebagai Wujud Ikhtiar?
Font: Ukuran: - +
Dosen Tetap di STIA Iskandar Thani, Akhsanul Khalis M.P.A. [Foto: Dialeksis]
Sebuah survey yang dilakukan oleh media Tirto.id dengan Jakpat menemukan bahwa masih banyak orang Indonesia menyepelekan Covid-19. Tidak hanya di Indonesia, secara global banyak orang memang sepele terhadap situasi krisis kesehatan akibat Covid-19. American Journal of Tropical Medicine & Hygiene mengungkapkan hasil penelitiannya kenapa masyarakat sepele di tengah situasi krisis kesehatan. Penyebabnya karena masyarakat cenderung tidak percaya terhadap pemerintah dan institusi kesehatan karena pengaruh rumor, stigma dan teori konspirasi.
Buktinya berbagai rumor dan stigma yang terkait seputaran Covid-19 bisa dilacak kata kuncinya di medsos atau via mesin pencari Google. Seperti rumor: resiko kematian setelah 2 tahun divaksin, dan mengandung microchip magnetik. Begitu juga dengan pengikut ‘mazhab’ teori konspirasi, yang beranggapan bahwa vaksin sebagai kepentingan elit global; Covid-19 sebagai rekayasa dan proyek pemerintah cari uang.
Berkelindannya rumor, stigma dan isu teori konspirasi memberikan dampak buruk pada program percepatan vaksinasi Covid-19. Tidak heran ada sebagian masyarakat Indonesia enggan melakukan vaksinasi.
Efek disrupsi digital
Masifnya rumor, stigma dan isu teori konspirasi yang terkait vaksin selama pandemi Covid-19 tidak terlepas dari efek samping era disrupsi. Sudah menjadi ciri khas era disrupsi; sebuah era yang ditandai terjadinya inovasi besar-besaran, termasuk inovasi di bidang digitalisasi informasi. Salah satu inovasi di bidang digitalisasi informasi paling revolusioner adalah media sosial. Keberlimpahan media sosial membuat semua orang senang dan bebas berpendapat yang terkadang tidak dilandasi kapasitas kompetensi ilmu.
Bermodalkan sebuah postingan artikel di media sosial, seseorang dengan mudah mengklaim sebagai pakar tertentu. Artikelnya dianggap sebagai rujukan pengetahuan paling sahih, padahal ada kemungkinan artikel tersebut sekedar rumor belaka. Celakanya, kemampuan budaya literasi masyarakat memproses informasi benar dan salah di media sosial sangat rendah, pada akhirnya orang dengan mudah terjebak dengan informasi hoax. Media sosial selain bermanfaat juga berpotensi memberikan dampak destruktif (merusak) yaitu matinya sebuah kepakaran (keahlian).
Menyerahkan pada ahlinya
Ilmuwan sosial Anthony Giddens dalam bukunya “Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas (2005)”, memaparkan tentang konsep “spesialisasi fungsional” yaitu pemisahan antara masyarakat tradisional ke institusi modern. Mekanisme pemisahan itu menciptakan apa yang disebut “sistem ahli”. Menurutnya, konsekuensi menjadi masyarakat modern adalah masyarakat yang bergantung dengan berbagai sistem pengetahuan ahli.
Teori tersebut diilustrasikan dengan bahasa sederhana: hanya dengan duduk di rumah semua orang sudah terkoneksi dengan pengetahuan ahli. Setiap pemilik rumah berani menghuni rumahnya karena sudah merasa yakin terhadap keselamatan diri dari potensi resiko tertimpa dinding atau tiang rumah yang suatu waktu bisa roboh. Keyakinan atas keselamatan itu muncul dilandasi rasa percaya dengan kemampuan arsitek dan tenaga ahli kontruksi yang dianggap memiliki otoritas di bidang struktur bangunan.
Selanjutnya ketika meninggalkan rumah dan mengenderai mobil, aktivitas tersebut secara langsung telah menghasilkan suatu perubahan dari sistem arsitektur ke sistem auto mobil. Setiap orang tahu mengendarai mobil itu merupakan aktivitas yang beresiko terjadinya kecelakaan, tetapi kenapa masih berani melakukannya? Karena kepercayaan dan keyakinan kepada sistem ahli tentang mobil dan sistem lalu lintas sehingga resiko kecelakaan bisa diminimalisir.
Hal yang sama juga berlaku pada konteks penggunaan vaksin Covid-19. Kendati kemungkinan masih adanya kelemahan (resiko) pada pengguna, faktanya vaksin sudah memenuhi standar kelayakan, berdasarkan uji klinis para ahli: ahli imunologi. Persoalan aman atau tidaknya penggunaan vaksin serahkan kepada ahlinya sebagai pihak yang mempunyai keilmuwan. Selebihnya tetap bertawakal menyerahkan urusan kepada Yang Maha Kuasa, sebagai umat yang beriman tidak ada daya dan upaya kecuali hanya dengan pertolongan Allah.
Wujud ikhtiar
Ajaran Islam menyuruh umat muslim untuk berikhtiar. Arti ikhtiar yakni berusaha atau berkehendak memilih yang terbaik. Pernah diulas dalam sejarah Islam tentang bagaimana bertindak di saat wabah melanda. Saat itu Saidina Umar sedang melakukan perjalanan menuju wilayah Syam. Di tengah perjalanan tersiar kabar negeri Syam sedang dilanda wabah mematikan.
Situasi tersebut menyebabkan timbulnya perdebatan di kalangan sahabat. Ada yang menyarankan kepada Saidina Umar untuk melanjutkan perjalanan dengan alasan sebagai perintah dan jangan melarikan diri dari takdir Allah.
Opsi kedua, sebagian sahabat menyarankan agar tidak melanjutkan perjalanan karena berpegang pada hadis Nabi.“ Apabila kalian mendengarkan suatu negeri atau wilayah dilanda wabah ta’un, janganlah kalian memasukinya. Dan apabila kalian berada di dalamnya, tidak boleh lari dan keluar dari negeri tersebut”.
Setelah terjadi silang pendapat, akhirnya Saidina Umar dengan bijak mengambil keputusan untuk menunda perjalanan. Pada saat itu Saidina Umar memberikan jawaban paling monumental yang pernah tercatat dalam sejarah Islam, yaitu“ Ya, kita akan lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lainnya”.
Tindakan Saidina Umar ketika itu bisa dimaknai sebagai bentuk ikhtiar menghindari bahaya atau dalam istilah kontemporer disebut “Paronoia Konstruktif”, sebuah istilah yang diperkenalkan oleh seorang antropolog dan sejarawan bernama Jared Diamond. Maksud dari paronoia konstruktif yaitu berusaha melindungi diri sendiri (safety) dari bahaya berdasarkan prosedur pencegahan yang berlaku dalam masyarakat tradisional.
Maklum zaman dulu ilmu pengetahuan di bidang medis masih belum berkembang dan sangat terbatas, kebijakan melakukan lockdown atau karantina merupakan usaha paling efektif melawan penyebaran wabah. Sedangkan untuk zaman modern yang serba kompleks : pengaruh interkoneksi sosial, tingkat kepadatan penduduk dan terakhir atas pertimbangan resiko ekonomi, melakukan langkah karantina dalam jangka waktu lama terasa kurang efektif dan efisien.
Kondisi itu dibuktikan dengan sejumlah kebuntuan kebijakan darurat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dalam skala mikro. Masuk akal jika program vaksinasi sebagai solusi terakhir paska darurat Covid-19. Di fase awal kemunculan pandemi Covid-19, imunolog dunia telah bersusah payah menemukan vaksin guna menciptakan herd immunity. Pemerintah Indonesia pun juga tidak ketinggalan bekerja sama mengimpor vaksin. Seperti vaksin Sinovac, Moderna, Pfizer, AsraZeneca, yang sudah diakui lembaga resmi World Health Organization (WHO).
Semuat ikut terlibat
Saat ini bila ada sikap masyarakat menolak divaksin karena percaya hoax tentunya kontra produktif. Akhirnya semakin banyak masyarakat terpapar hoax, angka vaksinasi pun semakin rendah.
Rendahnya angka penerima vaksin bisa menyebabkan terhambatnya proses kekebalan kelompok (herd immunity). Selaku masyarakat sudah sepatutnya serius mengikuti dan mendukung program vaksinasi dari pemerintah. Agar masyarakat termotivasi mengikuti program vaksin, kiranya perlu mendorong edukasi vaksin ke berbagai lintas komunitas masyarakat.
Kendala vaksinasi selama ini selain akibat hoax, masyarakat juga merasa rumit dan gagal paham dengan istilah-istilah medis mengenai vaksin. Maka program edukasi vaksin juga perlu pendekatan ilmu sosial dan humaniora. Dengan pendekatan ilmu sosial: seperti sosiologi, psikologi, komunikasi, jurnalistik edukasi tentang vaksin mudah diterima masyarakat.
Narasi opini ini juga termasuk upaya mengambil peran dalam membantu mengedukasikan vaksinasi melalui pendekatan ranah ilmu sosial. Berharap ulasan tentang vaksinasi pada tulisan ini memberikan manfaat kepada masyarakat secara luas. (Opini)
Penulis: Akhsanul Khalis M.P.A., Dosen Tetap di STIA Iskandar Thani.