Beranda / Opini / Para Gubernur dalam Survey Calon Presiden

Para Gubernur dalam Survey Calon Presiden

Minggu, 29 Agustus 2021 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Esais dan Analis Politik, Jabal Ali Husin. [Foto: Dialeksis]


Dari beberapa hasil survey calon presiden yang diadakan di tahun 2021, mencuat nama-nama gubernur aktif yang digadang-gadangkan sebagai calon presiden yang menunjukkan tingkat elektabilitas tinggi. Nama tersebut adalah Anies Baswedan Gubernur DKI Jakarta, Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah dan Ridwan Kamil Gubernur Jawa Barat.

Menariknya, tingkat elektabilitas para gubernur di tiga provinsi dengan jumlah pemilih terbanyak ini bahkan melampaui tingkat elektabilitas dari ketua umum partai-partai besar. Pada kasus Ganjar Pranowo misalnya, tingkat elektabilitasnya melampaui Puan Maharani yang merupakan anak dari Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, penerus trah Soekarno dalam kancah perpolitikan nasional.

Praktis, selain Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, tidak ada ketua umum partai yang dominan dalam perolehan tingkat elektabilitas calon presiden dalam survei yang diselenggarakan tahun ini.

Penulis melihat hal ini sebagai sebuah fenomena menarik dimana popularitas dan elektabilitas individu atau aktor politik dalam kancah politik nasional dapat dibangun secara personal melalui ruang publik digital, dimana sekat-sekat struktur politik diantaranya partai politik, tidak lagi menjadi satu-satunya ruang kolektif yang mempertemukan antara pemilih dan aktor politik.

Popularitas dan tingkat elektabilitas setiap aktor politik dibangun dan dikembangkan melalui dunia digital sebagai ruang publik yang mempertemukan langsung antara publik dan tokoh-tokoh politik.

Digitalisasi politik semakin mempersempit sekat-sekat antara aktor politik dan pemilih. Partai politik tidak lagi memonopoli proses rekrutmen elit politik. Publik dengan sendirinya dapat menciptakan atau "membesarkan" elit politik atau melahirkan elit politik alternatif dalam sirkulasi elit.

Politik yang terdigitalisasi sebenarnya membuka keran demokratisasi baru dimana lahirnya elit-elit politik alternatif yang populer di tengah-tengah masyarakat, akibat terkoneksinya aktor politik dan publik, serta jejaring informasi yang begitu masif yang dapat digerakkan oleh massa akar rumputā€”dan juga oleh setiap aktor politikā€”dan tidak hanya dimonopoli oleh media-media mainstream.

Politik dalam ruang publik digital sebenarnya adalah sebuah celah untuk keluar dari jeratan oligarki, dimana publik dapat memilih pilihan politik alternartif dari tokoh-tokoh lama yang menguasai partai-partai politik. Habermas dalam teori ruang publik menyatakan bahwa opini yang dibangun dalam ruang publik berpengaruh terhadap proses demokratisasi. Masyarakat turut serta mendorong iklim politik yang demokratis melalui opini-opini diskursif yang dibangun dalam ruang publik. Dalam kasus survey calon presiden, dorongan untuk memilih calon presiden diluar para pemimpin partai politik adalah sebuah upaya untuk mengembalikan iklim sehat dalam demokrasi.

Demokratisasi Partai Politik

Elit-elit politik alternatif yang lebih besar di mata publik ketimbang di dalam partai sendiri seharusnya mendorong partai-partai politik yang ada di Indonesia untuk lebih berkarakter demokratis. Partai perlu mempertimbangkan nama-nama aktor politik populer di masyarakat untuk diusung ketimbang memaksakan para petinggi partai yang kurang laku di publik untuk terus didorong maju.

Kecenderungan partai politik yang sekarang yang hanya dimiliki dan dikontrol satu atau dua orang, serta keputusan yang tersentral di pusat, telah membuat warna oligarki dalam politik di Indonesia semakin kental. Seharusnya ruang aspirasi bagi lahirnya tokoh alternatif dari partai harus lebih dikedepankan.

Jika partai-partai politik terus melawan arus populer yang mengemuka di ruang publik--dalam hal ini di sosial media misalnya, ditakutkan partai-partai tersebut semakin berjarak dengan pemilih dan akhirnya mungkin saja akan ditinggalkan oleh publik.

Partai-partai perlu memperhatikan fenomena narasi yang terbangun di ruang publik dalam menentukan visi partai atau langkah strategis yang akan diambil, termasuk merekrut tokoh-tokoh baru untuk diusung dalam kancah elektoral.

Sejatinya, ruang publik digital adalah tolak ukur bagi partai untuk berbenah diri, tidak hanya dalam menentukan calon yang diusung, namun juga sebagai ruang untuk menangkap aspirasi publik yang menjadi masukan bagi kerja-kerja kepartaian.

Relevansi Kepala Daerah Dalam Pencalonan Pilpres

Seperti kita ketahui, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Ridwan Kamil (minus Khofifah Gubernur Jatim) adalah kepala daerah di provinsi dengan kantong suara terbesar. Lalu apa yang menjadikan para kepala daerah ini kemudian mencuat namanya di bursa calon presiden? Mungkin hal ini disebabkan oleh interaksi langsung mereka sebagai kepala daerah dengan masyarakat di wilayahnya, ditambah kerja-kerja mereka selaku pimpinan eksekutif daerah dapat dipantau dan dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat.

Praktis, sejak Joko Widodo diusung sebagai calon presiden ketika menjabat gubernur DKI Jakarta, posisi kepala daerah di provinsi-provinsi di Pulau Jawa semakin berpeluang untuk diusung dan maju dalam pencalonan presiden.

Sementara jabatan eksekutif di DPR tidak dirasakan langsung dampaknya oleh masyarakat. Kinerja mereka tidak tersosialisasikan dengan baik, atau tidak sampai ke publik. Sehingga mereka yang menjabat sebagai anggota dewan di legislatif tidak berdampak besar terhadap tingkat elektabilitas dalam survey calon presiden.

Kemungkinan lain dari fenomena ini adalah munculnya skeptisisme masyarakat terhadap tokoh-tokoh representasi partai politik, dengan kata lain masyarakat semakin skeptis melihat partai politik. Meski para gubernur tidak terlepas dari partai politik secara mutlakā€”mereka pun diusung oleh partai politikā€”namun mereka bukan representasi utama dari wajah partai politik yang pragmatis. Para gubernur adalah tokoh-tokoh alternatif dalam bayangan publik, yang dapat mereka jadikan harapan baru untuk memimpin Indonesia. Para gubernur ini merepresentasikan dirinya sendiri dan tidak terkesan indentik dengan partai politik.

Kita lihat nanti sejauh mana para gubernur akan bertahan dalam survey calon presiden mendatang serta yang menarik apakah partai politik nantinya akan menyerah dengan opini massa di ruang publik dan mengusung para gubernur ini sebagai calon presiden? Tentu akan banyak hal menarik yang akan kita saksikan ke di dua tahun mendatang. [Jabal Ali Husin]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda