TPK Berkeadilan Bagi Pengawas dan Kepala Sekolah Aceh
Font: Ukuran: - +
Iskandar Muda. Kolumnis, Gayo Lues. [Foto: For Dialeksis]
Jika anda seorang guru, pernahkah membayangkan menjadi kepala sekolah terpencil? Meninggalkan zona nyaman, kadang meninggalkan anak istri, demi meniti karir, entah berapa lama.
Terpencil identik; wilayah kurang maju, sarana prasarana “darurat”, kebanyakan tiada jaringan, bro. Katakanlah anda menjadi kepala sekolah di kota.
Tahukah anda, pekerjaan yang harus dilakoni? 6 nyaris 7 hari dalam sepekan, bertanggung jawab 24 jam sehari! Masalah sekolah selalu muncul belasan setiap hari! Itu pengalaman saya, bro. Dari luar pagar, anda melihatnya berpakaian rapi, tampak mentereng, mungkin kendaraannya roda empat. Kenyataanya, energi dan waktu terkuras untuk mengurus sekolah. Lelah, meski tak mengeluh! Belum kering keringatnya, telah dihadapkan dengan pekerjaan berikutnya.
Sering kali air matanya bercucuran, karena keterbatasan segala hal. Tutup mulut, agar tidak terlihat “cengeng”. Begitulah sepanjang hari, tanpa sadar banyak “pengetua” (kepala sekolah) ini, lupa membangun diri dan keluarganya. Itulah sebabnya, banyak guru “hebat” tidak ingin menjadi kepala sekolah.
Dilain sisi, sejatinya karir kepala sekolah dan guru profesional adalah Pengawas Sekolah. Banyak kajian dan fakta menunjukkan, pekerjaan dominan manajemen dinas pendidikan adalah controlling (pengawasan).
Sebahagian besarnya “dilakoni” pengawas sekolah. Profesi yang menuntut kemampuan tinggi, karena sebagai “mentor,pelatih dan penilai” kepala sekolah, guru dan pegawai. Idealnya, hanya personil berkemampuan tinggi yang diberi tugas tersebut.
Lalu berlombakah kepala dan guru menjadi pengawas? Fakta menunjukkan justru banyak memilih jabatan struktural, seperti Kepala bidang, sekretaris dan sejenisnya. Seharusnya memilih jabatan pengawas sekolah, untuk “mengawal” mutu pendidikan. Kemendikbud menyebut pengawas sekolah jabatan strategis. Itulah jabatan karier sejati kepala sekolah dan guru profesional. Apa sebab jabatan ini ditinggalkan?
Sebagai gambaran umum pekerjaan Pengawas Sekolah SMA/SMK/SLB Aceh; dari 1.135 SMA/SMK/SLB dan 21.021 tenaga pendidik tersebar di 23 Kabupaten/Kota dibutuhkan 141.969 hari atau kali kerja pengawas sekolah!
Bandingkan dengan tugas personil yang ada di kantor Dinas Pendidikan Aceh bersama 20 cabang dinas pendidikan seluruh Aceh kira-kira berjumlah 400 orang; katakan 250 hari kerja dalam 1 tahun (dikurangi libur), secara kasat mata= 400 x 250 hari =100.000 hari kerja! (https://dialeksis.com/opini/).
Puluhan tahun sudah berlangsung; Itulah mengapa perlu disampaikan fakta, untuk membangun pendidikan.
Menyoal Tunjangan Prestasi Kerja (TPK) Aceh
Menurut Handoko (2015) bahwa Tunjangan Prestasi Kerja adalah segala sesuatu yang diterima para pegawai sebagai balas jasa untuk kerja mereka. Indikatornya berdasarkan beban kerja. Untuk pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan, keterampilan serta tanggung jawab yang lebih tinggi diberikan lebih tinggi.
Senada pendapat di atas, menurut Sofa 2016: Tunjangan prestasi kerja merupakan imbalan atau balas jasa yang diberikan kepada tenaga kerja atau pegawai sebagai akibat dari prestasi yang telah diberikan untuk mencapai tujuan organisasi.
Fakta aneh di provinsi Aceh, tak satupun Kepala dan Pengawas Sekolah mendapatkan TPK. Padahal sejak 2017, PNS tersebut adalah pegawai provinsi Aceh. Sementara jabatan lain mendapatkannya, meski pekerjaannya tak serumit dan seberat kepala dan pengawas sekolah.
Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah Bidang Pendidikan dan Kebudayaan nomor 16 Tahun 2018, kedudukan kepala sekolah dan pengawas berada pada garis komando kepala dinas pendidikan, setara eselon 3 lainnya.
Gambar Bagan Struktur Organisasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018. [Foto: Istimewa]
Menurut Dr Samsuardi, MA Ketua Lembaga Pemantau Pendidikan Aceh (LP2A); Melalui anggaran pendidikan Aceh yang melebihi 3 triliunan, diperlukan keberpihakan Disdik Aceh untuk meningkatkan tunjangan kinerja kepala sekolah, pengawas dan guru di Aceh.
Provinsi Bali dengan anggaran pendidikan yang berkisar 1 triliun terhitung per Oktober 2019 berani menaikkan tunjangan Kepala SMA/SMK mencapai 6, 25 juta per bulan di bawah kepemimpinan Gubernur I Wayan Koster.
Harusnya Disdik Aceh berkaca pada kebijakan provinsi lain yang tunjangan kepala sekolah, pengawas dan guru terus ditingkatkan. Kondisi Aceh itu sangat tidak pantas jika selisih tunjangan kepala sekolah hanya 500-600 ribu per bulan.
Bagaimana mungkin tunjangan yang kecil bisa memaksimalkan peran kepala sekolah dan pengawas menghasilkan terobosan di sekolah yang terkadang harus bersinggungan dengan pihak tertentu demi menciptakan perubahan?
Untuk itu, kepedulian akan kesejahteraan guru telah lama dinantikan dan perlu pembuktian Disdik yang bukan sebatas wacana yang ujungnya selalu menyoal lemahnya kinerja guru.
Keberpihakan ini sudah dicontohkan provinsi lain, ambil contoh di Jakarta yang ditingkatkan kesejahteraan guru golongan III/ a sampai III/b dinaikkan tunjangan kinerjanya sebesar 5.480.625 per bulan. Bahkan besaran tunjangan yang diberikan lebih besar dari gaji pokok yang diatur oleh Pergub DKI Jakarta Nomor 409 Tahun 2017 tentang Tunjangan Kinerja Daerah.
Tanpa kesejahteraan mencukupi, sulit bisa mengontrol sistem kinerja ASN ke arah kedisiplinan yang maksimal untuk menjalankan tugasnya. (https://aceh.tribunnews.com/2022/03/16).
Politik Meningkatkan Kinerja Dinas Pendidikan
Kesuksesan Dinas Pendidikan, terletak pada keberhasilan sekolah meningkatkan mutu pendidikan di sekolah, yang ditunjukan oleh kesuksesan peserta didik. Patron yang digunakan untuk mengukur mutu adalah 8 Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Ujung tombak dinas pendidikan untuk menyambangi sekolah adalah pengawas sekolah. Harusnya pengawas diberikan “wewenang” mengambil keputusan penting menyangkut pembinaan mutu pendidikan.
Senada ulasan Dr. Samsuardi, MA ketua LP2A di atas, salah satu upaya besarnya adalah memberikan TPK bagi Pengawas, Kepala Sekolah dan guru. Pemberian TPK, jelas akan memacu semangat kerja tenaga tersebut untuk mencapai tujuan organisasi.
Guru-guru “hebat” akan berlomba menjadi kepala dan pengawas sekolah. Hanya di tangan “orang hebat” akan menjadikan pendidikan aceh hebat. Sudah terbukti di Negara lain seperti Finlandia, Jepang, Singapura dan beberapa daerah di Indonesia, semisal Jakarta, Bali, Jawa Barat, Jawa Timur, Yogyakarta dll.
Kata Hechinger-Editor New York Times: “I have never seen a good school with a bad headmaster, or a bad school with a good headmaster. In each case, the increase or decrease can be seen in the quality of principal”.
Terjemahan: Saya belum pernah melihat sekolah bagus dengan kepala sekolah yang buruk, atau sekolah yang baik dengan kepala sekolah yang buruk. Kenaikan atau penurunan dapat dilihat kualitas kepala sekolah.
Akankah Gubernur Aceh saat ini, Ahmad Marzuki dan pemimpin pendidikan Aceh menyahutinya?
Menempatkan Tunjangan Prestasi Kerja (TPK) bagi Pengawas dan Kepala Sekolah secara berkeadilan dalam pemerintah Aceh, sebagaimana jabatan lain yang telah diberikan. Kita menunggu, hendaknya tidak terlalu lama.
Penulis: Iskandar Muda. Kolumnis, Gayo Lues.