Beranda / Opini / Penguatan Perdamaian Aceh Melalui Reforma Agraria

Penguatan Perdamaian Aceh Melalui Reforma Agraria

Senin, 30 September 2019 05:27 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi

Penguatan Perdamaian Aceh Melalui Reforma Agraria

(Refleksi 2 Tahun Kepemimpinan Irwandi- Nova)


TEUKU HARIST MUZANI


Pasca dua tahun kepemimpinan Irwandi Nova tampak secercah harapan akan adanya realisasi amanat butir butir perjanjian Helsinky. Ini terlihat dari Senyum merekah menyinari 100 eks kombatan asal Pidie Jaya pada peringatan hari damai Aceh, di Taman Ratu Safiatudin, Banda Aceh  pada 15 Agustus 2018 lalu.

Dalam acara yang disaksikan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh Nova Iriansyah tersebut,  [para eks kombatan ini menerima sertifikat tanah  "gratis" masing masing 2 hektar yang diserahkan secara simbolis oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh, Saiful. 

Penyerahan sertifikat tanah  ini sendiri merupakan salah satu amanat dalam butir perjanjian yang tercantum dalam MoU Helsinki, dimana dalam salah satu butirnya mengamanatkan Pemerintah RI untuk mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat sekaligus kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak konflik.

Meski masih terdapat beragam kendala teknis dilapangan seperti kewenangan Badan Pertanahan Aceh (BPA) yang masih terbatas, hal ini rupanya tidak menyurutkan komitmen Pemerintah Aceh dalam merealisasikan butir MoU sebagai kerangka penguatan perdamaian Aceh. 

Target Pemerintah Aceh  dalam waktu dekat , tahun 2020 nanti sebanyak 20 ribu hektare tanah harus sudah diterima eks kombatan, napol/tapol dan masyarakat korban konflik. 

Saat ini Pemerintah Aceh sendiri masih mendata lahan/tanah untuk di distribusikan kepada mantan kombatan. Melalui surat bernomor 100/12790, tertanggal 20 Agustus 2019, Plt. Gubernur Aceh Nova Iriansyah Nova menginstruksikan bupati/wali kota se-Aceh untuk mengidentifikasi tanah pertanian untuk didistribusikan kepada eks kombatan GAM, tahanan/narapidana politik, serta masyarakat korban konflik. Nova juga mengistruksikan agar Pemerintah Kabupaten/Kota Menyusun Masterplan Pengembangan Lahan Dan Pemberdayaan Kombatan.

Badan Reintegrasi Aceh (BRA) menyerahkan sertfikat tanah kepada 100 eks kombatan. [Foto: Zuhri Noviandi/kumparan]Badan Reintegrasi Aceh (BRA) menyerahkan sertfikat tanah kepada 100 eks kombatan. [Foto: Zuhri Noviandi/kumparan]

Disatu sisi, program penguatan perdamaian Aceh melalui distribusi lahan ini patut diberikan apresiasi. Ditengah ketidakpastian komitmen pusat dalam menuntaskan butir MoU, Pemerintahan Aceh Hebat di bawah pimpinan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah jauh hari telah mencanangkan program Acèh Damê sebagai kerangka penguatan perdamaian Aceh   sesuai prinsip-prinsip MoU Helsinki secara konsisten dan komprehensif. Salah satunya melalui program distribusi lahan kepada eks kombatan.

Disisi lain  Pemerintah Aceh sendiri perlu menyadari kebijakan distribusi lahan sebagai bagian dari reforma agraria ini akan menemukan banyak tantangan ke depannya. Secara sederhana hakikat dari reformasi agraria adalah menata kembali struktur kepemilikan, penguasaan dan penggunaan lahan untuk kepentingan rakyat banyak (wiradi, 2000).

Pemerintah Pusat  sendiri menterjemahkan kebijakan kebijakan Reforma Agraria dalam dua program operasional.

Pertama, program pendaftaran tanah melalui sertifikasi (bagi-bagi sertifikat) dalam rangka menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum sebagai pelaksanaan dari kewajiban pendaftaran tanah.

Kedua, redistribusi lahan. Redistribusi lahan bersumber dari 2 sumber yaitu tanah non hutan dan tanah kawasan hutan. Akan tetapi Alih alih program reforma agraria yang dicanangkan pemerintah pusat  yang hanya sebatas bagi bagi sertifikat tanah dinilai masih jauh dari spirit reforma agraria oleh sejumlah kalangan.  

Oleh karena itu, dalam rangka penguatan perdamaian Aceh sekaligus menterjemahkan kebijakan reforma agraria di Aceh, Pemerintah Aceh  perlu mencangangkan program reforma agraria dengan tetap mengedepankan unsur kearifan lokal didalamnya. Dengan kata lain, reforma agraria ala Aceh.


Klasifikasi Adat Hak Atas Tanah di Aceh

Sebelum melakukan reforma agraria melaui distribusi lahan lahan kosong kepada masyarakat terdampak konflik, Pemerintah Aceh sendiri perlu mengetahui pandangan adat masyarakat Aceh secara terhadap tanah. Berbeda dengan daerah lain, Aceh memiliki klasifikasi adat tersendiri terkait hak atas tanah yang tidak bertuan atau tidak ada pemiliknya. 

Dalam Sagi Mukim XXV disebutkan tanah-tanah yang belum digarap lazim disebut "tanòh roh".  Adapun klasifikasi variasi tanah yang belum dikerjakan dalam masyarakat aceh yaitu:

  1. rimba, tanah hutan tua, berlokasi di pegunungan,
  2. uteuen, belukar atau seuma’; hutan muda,
  3. tamah, tanah dengan hutan sangat muda atau tanah yang ditumbuhi semak-semak,
  4. padang, padang rumput. Padang alang-alang namanya "padang naleung lakèë. Padang rumput di tanah datar tinggi dinamakan data,
  5. tanah rawa, tanah ini bentuknya bervariasi, diantaranya; paya, rawa yang dalam yang tidak dapat ditanami; buëng, bagian yang tidak dalam yang dapat ditanami padi; taleuë, rawa di pegunungan; paloh, tanah yang terbenam antara bukit-bukit pada waktu penghujan tergenang air, kalau musim kemarau tumbuh rumput; lanyoe atau suwa’, raawa dipesisir,
  6. pasir, pasisir Tanah-tanah tersebut disediakan untuk pangonan ternak. Sedang untuk daerah-daerah yang tidak terdapat banyak rumput, biasannya terletak di kaki gunung. Untuk lahan penanaman lada tersedia di rimba dan uteuen. Pertanian ladang dijalankan dengan penanaman sekali dan ditinggalkan selama 4 tahun.

Masyarakat Aceh sendiri mengenal tanah-tanah yang tidak dikerjakan kedalam dua macam, yaitu; yang sama sekali belum pernah dibuka, dan ada lagi tanah yang sudah pernah dikerjakan, tetapi berhubung dengan suatu hal tanah itu ditinggalkan dan kembali kepada Pemerintah. 

Tanah-tanah yang sama sekali belum pernah dibuka (rimba) yang terdapat di gunung-gunung, masuk dalam daerah Uleebalang atau Mukim yang berdiri sendiri. Uleebalang atau Imeum berdiri sendiri mengatur pemakaiannya.

Barang siapa yang akan membuka tanah atau mengambil hasil hutan, maka harus mendapat izin dari Uleebalang. Tanah-tanah lainnya yang belum dikerjakan yang tidak dimiliki seseorang, termasuk masuk dalam Mukim (bagian dari Daerah Ulubalang), atau dalam kampong (Meunasah). Sedangkan yang masuk kategori Mukim: uteuën, tamah, padang, paja, dan suma’.

bilamana tanah itu tidak termasuk dalam lingkungan gampong. Yang masuk gampong atau Meunasah adalah semua tanah yang belum dikerjakan dalam lingkungan gampong atau meunasah.


Distribusi lahan, Momentum reforma agraria di Aceh

Dalam Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2018 (Perpres Reforma Agraria) mendefinisikan Reforma Agraria sebagai penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan penataan akses untuk kemakmuran rakyat.  Reforma Agraria bertujuan sebagai upaya dalam mengatasi struktur ketimpangan penguasaan lahan. 

Namun dibalik kebijakan reforma agraria tersebut masih terdapat  problematika carut marut tata kelola agraria di republik ini.  Ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah karena kebijakan pengelolaan agraria yang tidak mengedepankan keadilan dan kesejahteraan rakyat menjadi salah satu pemicu sengketa dan konflik agraria.

Berdasarkan catatan konsorium Pembahruan Agraria, sepanjang 5 tahun (2014-2019) terjadi sebanyak 2.243 kasus konflik agraria, mencakup 5,8 juta hektar wilayah konflik di seluruh provinsi di Indonesia. Konflik ini terjadi antara masyarakat utamanya petani, masyarakat adat, nelayan, atau warga miskin dengan kelompok badan usaha perkebunan, kehutanan, pertambangan, properti/real estate, tentara dan Negara.

Untuk konteks Aceh, berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, terdapat 34 kasus konflik agraria tercatat di Aceh sejak tahun 2016 yang hingga kini tak kunjung tuntas. 5 diantaranya termasuk perkara yang butuh perhatian serius. Diantaranya konflik lahan perkampungan masyarakat Desa Sungai Iyu, Paya Rahat, Teuku Tinggi, Tanjung Lipat I dan Tanjung Lipat II, Aceh Tamiang yang berkonflik dengan perusahaan PT Rapala.

Walhasil, berdasarkan data diatas maka patut disadari bahwa kebijakan reforma agraria disatu sisi juga tetap harus memperhatikan dinamika yang terjadi di masyarakat. Terutama terkait masih adanya lahan lahan yang bersengketa baik antara masyarakat via a vis pihak ketiga (swasta).

Apabila tanpa manajemen konflik yang baik, bukan tidak mungkin kedepannya program distribusi lahan bagi masyarakat korban konflik justru akan menjadi sarana lahirnya konflik baru di akar rumput.  Hemat penulis, paling tidak ada 3 hal dalam kebijakan distribusi lahan ini yang harus diperhatikan serius oleh Pemerintah Aceh. 

Pertama, terkait validitas data penerima tanah. Artinya tanah di distribusikan kepada yang berhak alias tepat sasaran.

Kedua, menyangkut akuntabilitas/transparansi proses distribusi tanah. Artinya proses penyaluran dapat diakses serta diawasi oleh publik agar sesuai mekanisme sebagaimana diatur peraturan perundangan.

ketiga, mekanisme penyelesaian konflik terkait penyaluran tanah kepada masyarakat korban konflik. Hal ini menjadi penting  sebagai upaya  mencegah konflik terkait distribusi lahan. Yang paling utama adalah, mekanisme penyelesaian tetaplah harus memperhatikan unsur kearifan lokal masyarakat Aceh.

Tiga hal diatas harus diantisasipasi oleh Pemerintah Aceh sedari dini dalam kerangka penguatan perdamaian Aceh. Apabila tidak ditangani secara dini bukan tidak mungkin berpotensi melahirkan konflik baru di Aceh.

Seperti kecemburuan antara sesama masyarakat korban konflik bahkan tidak mustahil juga akan menjalar kepada masyarakat sipil biasa yang bukan bagian dari dampak konflik. Eksesnya dapat terjadi hal tidak dinginkan yaitu konflik horizontal sesama masyarakat aceh akibat timbul persepsi negatif akan tiadanya keadilan dalam kebijakan pembagian lahan yang dilakukan pemerintah Aceh.

Masalah kesiapan eks kombatan dan masyarakat korban konflik itu sendiri juga  menentukan keberhasilan program ini. Penerima lahan  perlu disiapkan, sebelum mereka menerima lahan.

Diharapkan dengan demikian mereka dapat mengelola lahan tersebut secara berkelanjutan. Selain itu tata aturan dalam proses penentuan lahan objek tanah dan untuk mendapatkan lahan tersebut perlu diperjelas dan dibuat tidak terlalu rumit seperti yang selama ini ada.

Sehingga jelas objek, pelaku dan tata aturan dari proses ini. Jangan sampai terjadi peristiwa seperti kasus petani penerima objek landreform di sejumlah daerah di Indonesia. dimana lahan objek landreform tidak dapat dikelola dengan baik dan pada akhirnya lahan yang ada kembali terakumulasi pada beberapa petani.

Plt Gub Aceh Nova Iriansyah saat peringatan hari damai Aceh ke 14 [foto: Humas Aceh]Plt Gub Aceh Nova Iriansyah saat peringatan hari damai Aceh ke 14 [foto: Humas Aceh]

Akhir kata, kebijakan distribusi lahan yang dicanangkan oleh Pemerintahan Irwandi-Nova ini selain merupakan bagian dari 15 program unggulan yang menjadi prioritas pembangunan Aceh hingga tahun 2022 yaitu Aceh dame, disatu sisi kebijakan ini juga merupakan momentum bagi penataan kembali tanah tanah tidak terpakai di Aceh. Tentunya diharapkan kebijakan ini dapat menjadi tonggak awal  bagi kebijakan reforma agraria di Aceh.

Terlepas  dari  beragam tantangan kedepan yang akan dihadapi pemerintah Aceh, yang paling penting tentunya program dalam sektor agraria ini memang harus terus dimulai.  Sebagaimana dinyatakan Juru Bicara pemerintah Aceh, Saifullah Abdul Gani kepada media lokal, perpsepktif kebijakan ini semata demi merawat perdamaian Aceh. Semoga Perdamaian Abadi terus terajut di Bumi Serambi Mekkah. []

*Pemerhati Sosial demokrasi dan Sosial Politik Aceh.  Penulis saat ini tingal di Aceh Besar






Keyword:


Editor :
Pondek

riset-JSI
Komentar Anda