kip lhok
Beranda / Opini / Padum Keu Kee, Padum Keu Kah: Refleksi untuk Aceh Berintegritas

Padum Keu Kee, Padum Keu Kah: Refleksi untuk Aceh Berintegritas

Minggu, 03 Maret 2024 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Taufiq A Gani

Taufiq A Gani, Alumni PPRA 65 Lemhannas RI, PKN II 2022 LAN RI. [Foto: dok. pribadi untuk Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Tulisan ini adalah sebuah refleksi atas apa yang berlaku di Aceh kontemporer, yang hampir setiap tahun bermasalah dengan APBA, anggaran pokok pikiran (Pokir), dan alokasi dana otsus. Tulisan ini sebagai bentuk kegelisahan penulis yang ditulis lewat beberapa opini di Serambi Indonesia dan Kumparan atas fenomena di Aceh dan Nasional.

“Padum Keu Kee, Padum Keu Kah” dapat diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia adalah “Berapa Untuk Aku, Berapa Untuk Kau” kalau ungkapan dalam Bahasa Jawa adalah “Wani Piro Mas ?”. Ungkapan ini berkonotasi negatif, yaitu terjadinya 'fraud budgeting and procurement'. Kejelasan atas kesepakatan di awal diperlukan dalam penetapan penyedia barang dan jasa

Tentu saja ada syarat dan ketentuan yang akan berlaku seperti cashback atau pembagian keuntungan dalam bungkusan ucapan terima kasih. Dan menggambarkan praktik umum bagaimana perencanaan anggaran dan pengadaan barang dan jasa di Aceh. Masih segar ingatan kita kasus besar dari 'fraud procurement' dalam pembangunan dermaga di Sabang yang menyebabkan kepemimpinan daerah harus berhadapan dengan aparat hukum.

Mungkin ada yang berkilah: “Tetapi itu bukan di Aceh saja, di instansi pusat juga banyak”. Memang kita tidak bisa pungkiri, kasus yang terjadi di Kementerian Pertanian dan Kementerian Komunikasi dan Informasi adalah contoh dari adanya tuntutan kesepakatan yang diatur dimuka, yang berbuntut pada penyalahgunaan keuangan negara. 

Tetap contoh di pusat itu tidak bisa menjadi alasan kuat bagi kita bangsa Aceh untuk tidak membangun peradaban Aceh yang bermartabat berintegritas. Pembangunan daerah adalah penggerak untuk membangun peradaban Aceh yang dahulu pernah gilang gemilang di masa Sultan Iskandar Muda (Membangun Peradaban Aceh Berintegritas, Serambi Indonesia, 02/03/2023). 

Pembangunan ini tentunya dimulai dari proses perencanaan sampai pengelolaan keuangan daerah dan negara. Harus kita sadari bahwa aspek politik dan pemerintahan akan mendorong lancarnya proses, tetapi juga bisa mengganggu.

Ketergantungan Pada Anggaran Belanja Pemerintah Daerah

Komponen berbagai lapisan masyarakat di Aceh sangat menggantungkan diri pada Anggaran Belanja Pemerintah Aceh. Para pebisnis dan pegiat ekonomi di Aceh dengan minimnya investasi dari pihak luar ke Aceh atau sebaliknya sangat banyak bergantung pada belanja pemerintah. Demikian juga masyarakat sangat bergantung pada layanan publik yang dibiayai oleh belanja pemerintah. 

Para aparatur pemerintah lebih stabil dengan adanya gaji tetap dan tunjangan perbaikan kinerja, namun risiko tetap ada, yaitu berupa keterlambatan pembayaran. Risiko ini sudah dieliminir dengan dengan penerbitan Pergub 11/2024 oleh PJ Gubernur Aceh.

Yang sangat perlu menjadi perhatian dan harus diselesaikan segera adalah ketergantungan komponen anggota legislatif di Aceh terhadap pembiayaan politik di Aceh. Kita bisa memprediksikan dengan tepat pendapatan bulanan anggota legislatif Aceh sesuai Qanun Aceh 6/ 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Aceh. 

Gaji dan tunjangan yang mereka terima sudah mencukupi. Untuk standar kehidupan di Aceh, jumlah yang diterima cukup untuk pembiayaan kelangsungan hidup pribadi dan tanggungan keluarga sesuai kapasitas jabatannya. Bahkan, cukup untuk investasi jaminan masa depan jika tidak ada keperluan pembiayaan untuk keadaan yang sangat luar biasa.

Namun, di luar angkat tersebut ada satu kebutuhan besar yang harus ditanggung oleh mereka yang menjadi masalah utama yang ingin didiskusikan dalam artikel ini. Masalah itu tersebut adalah biaya politik atau 'money politic' yang sangat tinggi.

Memang benar tingginya biaya politik bukan cuma masalah di Aceh saja, tetapi ini adalah masalah nasional juga. Namun, gagasan saya lebih kepada bagaimana Aceh bisa menciptakan ketahanan daerah di bidang politik sehingga tidak terimbas pada perencanaan dan penganggaran. Ketahanan Aceh saat ini bukan lagi pada konflik senjata dan hancurnya infrastruktur dan ekonomi pasca tsunami. Ketahanan Aceh saat ini sangat terganggu oleh aspek politik dan kepemimpinan. Tanpa ketahanan yang tangguh Aceh, masyarakat Aceh tidak akan dapat merasakan hasil pembangunan yang optimal. Penyebabnya adalah rencana, anggaran dan realisasi untuk kegiatan pembangunan daerah yang masih berpola pada “Padum Keu Kee, Padum Keu Kah”.

Memutus Rantai 'Padum Keu Kee': Reformasi Anggaran untuk Aceh

'Padum Keu Kee' yang terjemahan bahasa Indonesia adalah “Berapa Untuk Aku” tidaklah bermakna semuanya untuk memperkaya diri sendiri. Hal ini terjadi karena tuntutan biaya politik (money politic) bagi anggota legislatif ataupun kegiatan nonbudgeter bagi pemerintah yang harus ditutupi. 

 Dalam labirin politik dan pengelolaan keuangan publik Aceh, dilema antara integritas dan kebutuhan politik sering kali menjadi garis tipis yang sulit untuk dijaga. Terutama bagi anggota legislatif, tuntutan untuk memenuhi ekspektasi pemilih sering kali mengaburkan batasan antara pengabdian publik dan kepentingan pribadi. Namun, pertanyaan mendasar yang harus kita tanyakan adalah: bagaimana anggota legislatif dapat mengedepankan integritas tanpa terjebak dalam lingkaran 'money politics'?

Kunci dari dilema ini terletak pada pemahaman bahwa beneficiary dari usulan anggaran tidak harus selalu berwujud 'hard cash'. Sebagai gantinya, anggota legislatif dapat dan seharusnya mengarahkan usulan anggaran mereka untuk menciptakan manfaat langsung bagi daerah pemilihan (dapil) mereka. Ini bukan hanya soal integritas, tetapi juga tentang membangun kepercayaan dan memperkuat hubungan dengan pemilih.

Namun, realitas di balik frasa ini sering kali lebih berkaitan dengan tuntutan politik yang rumit, termasuk tekanan biaya politik atau "money politics." Dalam dinamika politik dan pengelolaan keuangan publik di Aceh, dilema antara menjaga integritas dan memenuhi kebutuhan politik sering kali menimbulkan garis yang kabur dan sulit untuk dijaga. Bagi anggota legislatif, ekspektasi untuk memenuhi kebutuhan pemilih kadang-kadang dapat menyesatkan mereka dari jalur pengabdian publik yang berintegritas.

Solusi untuk dilema ini tidak terletak pada pencarian keuntungan pribadi melalui kas tunai atau pengelolaan dana segar, tetapi pada peran substansial anggota legislatif dalam legislasi dan pengawasan. Mereka harus melepaskan diri dari keterlibatan langsung dalam eksekusi di lapangan atau bertindak sebagai perantara bagi penyedia barang dan jasa. 

Sebaliknya, anggota legislatif harus fokus pada penciptaan nilai yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat konstituen mereka. Manfaat politik dapat dicapai melalui visibilitas atas upaya memfasilitasi alokasi dana untuk proyek-proyek yang memengaruhi dapil mereka, tanpa perlu terlibat langsung dalam eksekusi proyek tersebut. Dengan demikian, anggota dewan dapat mempertahankan integritas mereka sambil menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan dengan efektif.

Dalam konteks Aceh, di mana setiap tahun bermasalah dengan APBA, anggaran pokir, dan alokasi dana otsus, mendesak adanya perubahan paradigma dalam penyusunan anggaran. Anggota legislatif perlu memimpin dengan contoh, menunjukkan bahwa integritas dan komitmen terhadap kepentingan publik dapat dan harus menjadi landasan dalam setiap keputusan anggaran. Dengan demikian, mereka tidak hanya memenuhi tanggung jawab konstitusional mereka, tetapi juga membantu membangun Aceh yang lebih kuat, transparan, dan berintegritas.

Melalui pendekatan seperti ini, anggota legislatif akan dapat membuktikan bahwa politik bukan tentang berapa yang bisa diambil untuk kepentingan pribadi, melainkan tentang berapa banyak yang bisa diberikan untuk memajukan daerah dan masyarakat. Ini adalah jalan menuju pembangunan Aceh yang bermartabat dan berintegritas, sebuah legasi yang akan dikenang lama setelah masa jabatan mereka berakhir.

Aceh sebagai Komunitas dalam Ekosistem Politik Nasional

Harapan untuk mewujudkan Aceh yang lebih baik tidak hanya bergantung pada upaya lokal, tetapi juga pada perubahan yang terjadi di tingkat nasional. Sebagai bagian integral dari ekosistem politik nasional, Aceh tidak terisolasi dari dinamika yang lebih luas ini. Pentingnya reformasi kebijakan pelaporan dan akuntabilitas bagi partai politik dan anggota legislatifnya di tingkat nasional menjadi kunci. 

Pemerintah pusat diharapkan segera melakukan revisi terhadap UU No 22 Tahun 2011 yang belum dapat mendorong partai politik memperbaiki pengelolaan keuangan yang transparan baik tingkat pusat dan daerah. Kebijakan semacam itu harus diterapkan secara konsisten di semua tingkatan pemerintahan, termasuk di Aceh.

Meskipun Aceh memiliki status istimewa atau lex specialis, harapan kami adalah keistimewaan ini dapat dimanfaatkan tidak hanya sebagai simbol status, tetapi sebagai alat untuk mendorong kemajuan yang berlandaskan pada integritas. Implementasi kebijakan akuntabilitas yang ketat di tingkat nasional, yang diterapkan dengan penuh komitmen di Aceh, akan membantu memastikan bahwa reformasi anggaran dan politik tidak hanya menjadi wacana, tetapi benar-benar menjadi kenyataan. Ini adalah langkah esensial menuju pembangunan Aceh yang tidak hanya bermartabat dan berintegritas, tetapi juga progresif dan inklusif.

Penutup

Artikel ini menyoroti pentingnya integritas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan publik di Aceh, menghadapi tantangan yang ditandai oleh ungkapan "Padum Keu Kee, Padum Keu Kah". Melalui refleksi atas kasus-kasus spesifik dan dinamika yang lebih luas, kita melihat perlunya reformasi yang mendalam tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga nasional. 

Aceh, dengan statusnya yang istimewa, berada dalam posisi unik untuk memanfaatkan reformasi ini sebagai peluang untuk memimpin dengan contoh, mendorong perubahan yang berlandaskan pada integritas dan kemajuan. Kunci dari perubahan ini terletak pada pemahaman bahwa kontribusi anggota legislatif dan kebijakan pemerintah harus mengutamakan kepentingan publik dan pengembangan daerah. 

Dengan menerapkan pendekatan terpadu yang melibatkan semua tingkatan pemerintahan dan masyarakat, Aceh dapat melangkah menuju masa depan yang lebih transparan, bertanggung jawab, dan inklusif, menegaskan kembali komitmennya terhadap pembangunan yang bermartabat dan berintegritas. Kesuksesan Aceh dalam menjalankan reformasi ini tidak hanya akan membawa manfaat bagi daerah itu sendiri, tetapi juga menjadi model bagi daerah lain di Indonesia.

Penulis: Taufiq A Gani (Alumni PPRA 65 Lemhannas RI, PKN II 2022 LAN RI)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda