Beranda / Opini / "Menggantung Wakil Gubernur"

"Menggantung Wakil Gubernur"

Jum`at, 30 Juli 2021 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Provinsi Aceh praktis hingga hari ini sebagai provinsi tanpa wakil gubernur, kendatipun kepemimpinan gubernur hari ini adalah buah dari hasil pilkada tahun 2017, dimana saat itu rakyat Aceh memilih pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, dikertas suara dalam satu kolom dengan nomor urutnya terpampang jelas foto pasangan calonnya berikut nama dan titelnya.

Karena sebab aturan yg mengaturnya, jika Gubernur berhalangan tetap, baik karena meninggal dunia atau tersandung kasus hukum, maka Wakil Gubernur akan naik tahta menjadi penggantinya, karena itulah saat ini Ir. Nova Iriansyah, MT didaulat menjadi gubernur Aceh menggantikan Irwandi Yusuf.

Tapi aturan tidak hanya berhenti disitu, kalau ada aturang mengganti Gubernur maka ada juga aturan menggantikan posisi Wakil Gubernur. NĂ mun hingga hari ini posisi Wakil tetap saja dibiarkan kosong melompong sehingga menimbulkan pertanyaan begitu sulitkah mengisi jabatan Wakil Gubernur, atau memang disengaja dibiarkan kosong tanpa harus di isi ?

Jika kita lihat kebelakang, peristiwa yang menjerat Gubenur Irwandi juga sama menjerat Bupati Bener Meriah, Ahmadi. Keduanya kemudian diproses hukum oleh KPK dan keduanya dinonaktifkan hingga akhirnya diberhentikan setelah putusan akhirnya disahkan.

Ahmadi lebih awal divonis dan tidak lagi melakukan upaya banding, berbeda dengan Irwandi yang tetap melakukan upaya banding.

Saat ini di Kabupaten Bener Meriah, setelah Wakil naik tahta, proses pengisian jabatan Wakil yang baru sudah selesai, Dailami yang sebelumnya orang dekat Bupati Ahmadi kemudian terpilih menjadi Wakil Bupati.

Tentu kita maklum, ada tolak tarik kepentingan dalam proses pergantian ini, nama calon diserahkan oleh partai pengusung untuk kemudian dipilih oleh anggota DPRK.

Hal serupa kita baca dan kita ikuti bagaimana tolak tarik kepentingan dalam suksesi pergantian Wakil Gubernur DKI yang ditinggalkan Sandiaga Uno, PKS dan Gerindra seolah bersiteru dalam mengajukan siapa calon yang akan diusung dan diserahkan pada dewan untuk dipilih. Walau Akhirnya jagoan dari Gerindra yang kemudian terpilih mendapingi Anis Baswedan disisa masa jabatannya.

Tolak tarik kepentingan sehingga proses menjadi berlarut lama, partai mana yang merasa paling berhak mengajukan calon penggan diantara partai pengusung, manuper dari partai pengusung lain yang mencoba melobi suara anggota dewan agar nanti memilih jagoannya, namun dengan segala kematangan dan kedewasaan berpolitik justru kita dapat melihat dari kedua contoh diatas berakhir dengan baik sesuai ketentuan.

Bagaimana dengan Aceh ? sebenarnya sudah mulai ada proses, sejumlah nama mulai muncul, sebut saja PKB mengusung Ruslan Daud, PDIP mengusung Muslahuddin Daud. Berbeda dengan PNA, Partainya Irwandi Yusuf ini justru mengusung beberapa nama, sebut saja Tuwanku MTA dan Zaini Yusuf. keduanya mengantongi surat dukungan dari PNA.

Saya berkeyakinan dinamika pencalonan diantara partai pengusung ini tidaklah rumit, toh partai pengusung kemudian bisa mengajukan dua atau tiga nama untuk dipilih anggota DPRA.

Saya berasumsi begini :

1. Mau main tunggal.

Berkuasa sendiri selayaknya seorang Raja tentu lebih nyaman, baik dalam menentukan kebijakan maupun menentukan anggaran. semuanya tidak terbelah, satu pintu, satu kamar saja.

Sering sekali kita mendengar kepala daerah yang "pecah kongsi" dengan wakilnya, ada wakil yg kemudian lebih maju ada juga yang kemudian di ban serapkan tanpa fungsi apa-apa.

2. Tidak mau ada dua matahari.

Tidak mau ada rebutan pengaruh atau ada dua simpul kekuasaan. adanya simpul-simpul kekuasaan akan membuay turbulensi dalam pemerintahan, makanya berkuasa sendiri dirasa jauh lebih baik.

3. Tidak mau memelihara "aneuk rimung" Memberikan ruang sebagai wakil bisa menjadi seperti memelihara anak macan, yang dikemudian hari akan semakin besar dan akan menjadi lawan. apa lagi calon yg akan duduk dari Partai lain, memberikan kesempatan untuk berkuasa akan mendongkrak popularitasnya, akan dapat mengakses banyak hal yang kemudian menjadi modal politik, modal sosial bahkan modal materi di eksekusi mendatang.

Akhirnya kekosongan jabatan wakil gubernur terus berlarut lama, dan kita tidak resah, karena kita anggap ini kosumsinya kaum penguasa.

Tempo hari saat Pak Gubernur berhalangan karena terpapar covid-19 dan harus melakukan isolasi mandiri, Aceh tanpa pucuk pimpinan eksekutif karena tidak adanya Wakil Gubernur, walau diakui oleh sang Jubirnbahwa Pak Gubernur masih bisa mengendalikan jalannya pemeritahan.

Mungkin bagi Gubernur tanpa hadirnya sosok Wakilpun ia mampu menjalankan pemerintahan ini, sehingga tidak memerlukan seorang wakil, atau jangan-jangan kita masyarakat Aceh bisa juga berjalan aman-aman saja tanpa harus ada seorang Gubernur.

Penulis adalah Win Singkete


Keyword:


Editor :
M. Agam Khalilullah

riset-JSI
Komentar Anda