Lincah Berkreasi dan Berinovasi, Siapkah?
Font: Ukuran: - +
Penulis : Feri Irawan
Feri Irawan, S.Si., M.Pd., Kepala SMKN 1 Jeunieb dan Ketua IGI Daerah Bireuen
DIALEKSIS.COM | Opini - Menurut data Badan Pusat statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,4 juta orang pada Agustus 2022, porsinya 5,86% dari total angkatan kerja nasional.
Sementara Rhenald Kasali, Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia, memprediksi saat ini hanya akan ada 20% orang yang dapat memenuhi kuota lapangan pekerjaan baru. Pasalnya, pekerjaan tersebut memerlukan keterampilan-keterampilan khusus serta cara kerja yang baru.
Dengan perkembangan teknologi dan otomatisasi saat ini, maka diprediksi ke depannya akan ada lebih banyak lagi pengangguran di seluruh dunia.
Pengangguran paling banyak berasal dari kelompok usia 20-24 tahun, yakni 2,54 juta orang. Angka ini setara 30,12% dari total pengangguran nasional. Kemudian penduduk usia 15-19 tahun yang menganggur ada 1,86 juta jiwa (22,03%), penganggur usia 25-29 tahun 1,17 juta jiwa (13,84%), usia 30-34 tahun 608,41 ribu jiwa (7,22%), dan usia 60 tahun ke atas 485,54 ribu jiwa (5,76%).
Data itu menunjukkan bahwa kelompok usia 20-24 tahun dan usia 25-29 tahun identik dengan lulusan pendidikan tinggi dan lulusan pendidikan menengah.
Ini membuktikan lulusan kita masih terpaku pada teori dan belum mampu beradaptasi dalam kehidupan yang terus berubah. Bahkan, kita mendapatkan cerita seseorang yang lulusan master di luar negeri yang kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Berkaca dari fenomena di atas, perlu kiranya dilakukan evaluasi jurusan dan kompetensi yang mulai mengalami kejenuhan dari masing-masing perguruan tinggi dan sekolah, untuk mengubah konsep supply driven ke demand driven.
Demand driven itu konsepnya menyediakan sumber daya manusia apa yang dibutuhkan di pasar, bukan memberikan apa yang tersedia, kemudian orang yang butuh akan mengambil.
Di masa serba teknologi ini, mereka harus siap menghadapi wind of change atau gelombang perubahan yang tengah terjadi diseluruh sektor kehidupan termasuk pendidikan. Banyak lulusan perguruan tinggi yang bekerja tidak sesuai dengan jurusan kuliahnya .
Disinilah dibutuhkan orang-orang yang lincah berkreasi dan berinovasi, bukan sekedar hard skill saja, namun juga soft skill, kemampuan manajemen, serta keinginan untuk terus belajar dan beradaptasi dari satu keahlian ke keahlian lainnya terkait pemasaran kompetensi.
Seiring kemajuan IT dan perkembangan digitalisasi, orang yang tidak mengenyam pendidikan akademik tinggi bisa memiliki keahlian yang bisa lebih baik dari lulusan persekolahan atau pendidikan tinggi, karena orang bisa belajar dari YouTube atau google.
Tuntutan talenta yang lebih advanced membuat banyak keahlian dan skill lama tentunya tidak lagi relevan dengan kondisi perkembangan zaman masa kini. Di sisi yang lain, dunia usaha dunia industri (DUDI) saat ini terus bergerak lebih cepat daripada pendidikan. Apabila tidak dibarengi dengan new skills yang dibutuhkan DUDI, maka akan tercipta generasi yang tidak berguna (useless generation).
Generasi ini bisa saja tercipta karena Indonesia akan menyatu dengan dunia global memasuki era 4.0 yang didominasi oleh kehidupan artificial (artificial living) dalam 10-14 tahun ke depan atau saat Indonesia diprediksi mengalami bonus demografi pada tahun 2035.
Dalam era ini, akan ada dua tipe manusia. Tipe manusia yang dikendalikan oleh teknologi dan tipe manusia yang mengendalikan teknologi. Apa yang terjadi jika pekerjaan manusia di masa yang akan datang digantikan oleh mesin?
Saat ini saja, beberapa jenis pekerjaan, seperti customer service, pekerja pabrik, dan penjaga pintu tol sudah terdampak otomatisasi. Hal ini disebabkan oleh biaya produksi untuk menghasilkan sistem yang terkomputerisasi lebih efisien dibandingkan harus membayar biaya tenaga kerja.
Pentingnya Pendidikan Vokasi
Menurut Rhenald, saat ini yang harus dipahami kepala sekolah adalah disrupsi (dimana terjadi inovasi yang menyebabkan perubahan secara besar-besaran) akan menyisihkan orang-orang yang terpaku pada masa lalu.
Dampak disrupsi teknologi akan mengakibatkan manusia kehilangan perannya. Kehadiran artificial intelligence (AI) dapat membantu sistem komputasi yang menggantikan pekerjaan yang bersifat rutinitas.
Lalu apa yang harus dipersiapkan? Ada dua keahlian penting yang perlu dimiliki untuk tetap eksis di tengah masifnya penggunaan mesin otomatis, yaitu critical thinking dan problem solving.
Dengan menambah keterampilan, pekerja bisa dipersiapkan untuk menjadi High-Skilled Talent yang dibutuhkan di masa depan. Tak kalah pentingnya, belajar soft-skill, belajar etika, dan menjalin hubungan dengan orang lain.
Sudah sepatutnya para generasi muda mencontoh anak-anak muda di negara maju. Jam sekolah yang ketat dan rasa ambisius yang tinggi membuat mereka tidak mengenal kata malas. Jangan sebaliknya, seperti kaum mager yang suka gaya-gayaan dan ajang pamer di media sosial.
Lulusan pendidikan vokasi juga harus adaptif terhadap perkembangan zaman dan mampu menyesuaikan diri. Berani mengambil risiko dan keluar dari zona nyaman juga akan mendapatkan hal baru yang barangkali cocok dengan fashion masing-masing.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu mempersiapkan dan membangun ekosistem yang kondusif antara dunia pendidikan, dunia usaha, dan dunia industri, sehingga hal ini mampu menjawab tantangan dalam mencetak sumber daya manusia yang dapat bersaing di era digital 4.0. [**]
Penulis: Feri Irawan, S.Si., M.Pd. (Kepala SMKN 1 Jeunieb dan Ketua IGI Daerah Bireuen)