kip lhok
Beranda / Opini / Gerakan Taliban: Irisan Politik Tribal Dengan Fundamentalis Islam

Gerakan Taliban: Irisan Politik Tribal Dengan Fundamentalis Islam

Jum`at, 20 Agustus 2021 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Dosen LB Fisip UIN Ar-Raniry, Akhsanul Khalis, S.IP. M.P.A. [Foto: Ist]


Keberhasilan kelompok Taliban mengulingkan Pemerintahan “korup” binaan Amerika Serikat dibawah era kepemimpinan Ashraf Ghani, menyulut semangat islamisme di komunitas muslim dunia khususnya Indonesia. Di media sosial berseliweran berbagai narasi dukungan kepada kelompok Taliban yang berhasil bertahan dua dekade melawan invansi militer AS. Kemenangan itu semakin memperkuat mitos rakyat Afghanistan tidak terkalahkan dari penaklukan negara-negara adidaya di dunia, dimulai dari sejarah Alexander the Great sebelum masehi sampai invansi Amerika Serikat di abad modern.

 Euphoria kemenangan itu tentu perlu di lihat dengan kritis apakah keberhasilan gerakan Taliban yang mengusung agenda penegakan Syariah Islam tanpa dibumbui kepentingan politik kesukuan dan geopolitik negara adidaya. Klaim kepentingan Syariah Islam versi Taliban memiliki daya tarik tersendiri, ilusi Negara Islam masih tumbuh dan berkembang dalam pikiran bagi sebagian masyarakat Islam di Indonesia, hal yang belum terselesaikan antara kelompok nasionalis Islam dan nasionalisme sekuler.

 Berbagai konflik di dunia Islam, khususnya di Timur Tengah sering mengundang upaya rasionalisasi oleh sebagian masyarakat Islam di Indonesia: itu merupakan persoalan teologis. Diakui atau tidak, dunia Arab dan Islam Timur Tengah masih bertahan sebagai patron bagi masyarakat Islam di Indonesia.

Peristiwa keberhasilan Taliban di Afganistan secara sederhana dikaitkan kemenangan teologis. Refleksi dari keberhasilan Taliban yang terpenting bagi kelompok Islam formalis di Indonesia hanya keinginan penegakkan Syariat Islam dalam konteks jinayat (qisas, rajam, potong tangan) atau aspek lain dalam agama Islam seperti wajib burqa bagi perempuan dan wajib memelihara jenggot. Kendati konflik itu tidak sederhana dan menyisakan masalah yang sangat kompleks.

Gejala Politik Tribal

 Harus diakui gerakan Taliban lawan yang paling tangguh melawan militer AS, kesan Taliban melawan kelompok agresor Negara Barat cepat membentuk opini publik di komunitas muslim dunia tentang “jihad”. Sebelum AS menginvansi Afghanistan pada tahun 2001 dalam rangka melawan teror Al Qaeda, Uni Soviet yang juga negara pemenang perang dunia ke dua, babak belur menghadapi kelompok Mujahidin. Uni Soviet ketika itu berkepentingan melindungi pemerintahan dibawah Partai Demokratik Rakyat Afghanistan yang beraliran marxisme.

Atas dukungan negara-negara barat, Mujahidin berhasil mengusir militer Uni Soviet dan membubarkan pemerintahan beraliran komunis. Keberhasilan Mujahidin, menggemakan semangat dan ide-ide jihad keseluruh dunia. Nyatanya kondisi Afghanistan paska invansi Soviet tidak menjamin keamanan bagi rakyat Afghanistan. terjadinya kekacauan, kriminalitas dan korupsi diakibatkan politik yang tidak kondusif: perebutan kekuasaan antar faksi. Fragmentasi kekuasaan di Afghanistan mendorong munculnya kelompok dominan untuk mengendalikan situasi keamanan yaitu gerakan Taliban di Kandahar.

Taliban tidak lahir di ruang kosong, sebagai sebuah kelompok etnik-religius yang berasal dari suku mayoritas Pashtun dan sekte Deobandi “ sebuah sekte yang sangat tekstual dalam hal penafsiran hukum Islam-, mereka berhasil mendapatkan simpati masyarakat tribal di Afghanistan, Kenapa demikian ?.

Amy Chua seorang pakar konflik yang tajam mengkritik sejumlah kebijakan luar negeri AS, di dalam bukunya Politik Kesukuan (2020), Chua menulis ulasan dibukunya dengan ringkas tentang konflik di Afghanistan: Ia memaparkan konflik Afghanistan paska Invansi AS yang menurutnya, Pemerintah Amerika Serikat salah mengkalkulasikan masalah Afganistan hanya sebatas pada hal Islam Radikal tetapi melupakan kontestasi politik etnis, dalam masyarakat tribal tidak mudah melepaskan dominasi ketika sudah berkuasa.

Afghanistan didirikan sebagai negara pada tahun 1747 oleh raja Pashtun paling terkenal yang sempat melakukan invasi militer sampai ke Delhi yaitu Ahmad Shah Durani, setelah itu pemimpin Pashtun terus menerus berkuasa dan bertahan ratusan tahun di Afghanistan.

Tahun 1973 dimana monarki Afghanistan runtuh, invansi Soviet dan larut dalam perang saudara, dominasi Pashtun berubah. Era 1990-an, posisi kepemimpinan kemudian hari di kuasai suku Tajik. Burhanuddin Rabbani dipilih menjadi presiden dan menteri pertahanan (tokoh militer) Ahmad Masood Shah, kedua tokoh itu berasal dari suku Tajik. Kedunya pun dikemudian hari meninggal tragis dibunuh dalam serangkaian serangan bom bunuh diri.

Pashtun kehilangan kendali atas inti kekuatan birokrasi negara dan militer. Konteks budaya, bahasa Pashto yang dulu dominan di televisi, radio dan surat kabar yang dikelola pemerintah telah kehilangan dominasi di tengah publik. Akibatnya menyebar isu keseluruh kalangan suku/klan Pashtun atas ketakutan terhadap potensi termarginalisasi dan merasa dikalahkan, tanda sinyalemen itulah Taliban hadir merespon situasi persaingan politik identitas. Kandahar sebagai pusat kebudayaan tradisional suku Pashtun dijadikan kantong perlawanan.

Kehadiran sosok kepemimpinan Mullah Muhammad Omar di Kandahar meyakinkan seluruh klan-klan dari suku Pashtun, Mullah Omar seorang yang memahami seni politik suku Pashtun dan hubungannya dengan fundamentalisme Islam melebihi siapapun. Taliban berhasil kembali ketampuk kekuasaan karena adanya janji untuk mengembalikan marwah serta kebanggaan Pashtun. Seperti halnya ingatan romantisme masa lalu etnis Pashtun dibawah Raja Durani yang berhasil menyatukan klan-klan Pashtun untuk menguasi dan memperluas kekuasaan hampir seluruh Asia Selatan dan Tengah.

Tesis Amy Chua bisa kita jadikan satu perspektif tentang konflik Afghanistan, selama ini yang berkembang “jihad” padahal tidak (simplikasi) penyederhanaan persoalan agama: motif pemberontakan Taliban tidak kedap air (murni) atas nama penegakan Syariat Islam, tetapi Taliban juga menggunakan apa yang diistilahkan Chua “Taliban memainkan kartu etnis”.

Wajar saja AS tidak mampu memenangkan kampanye perang melawan Taliban bahkan gagal total mendemokrasikan Afghanistan. Seandainya Taliban murni memainkan agenda ideologi transnasionalisme politik khilafah, dipastikan akan bernasib sama dengan gerakan ISIS. Ada upaya menghidupkan kelompok sempalan ISIS di Afghanistan yang berbaiat ke Abu Bakar Al Baghdadi justru terjadi resistensi. Taliban lebih soliter ke arah etno nasionalisme dalam membentuk garis perjuangan, buktinya elit Taliban kebanyakan dari suku Pashtun.

Taliban efektif menggalang dukungan dari setiap suku di pedalaman Afghanistan. Efek kampanye door to door, dukungan rakyat di seluruh pelosok terhadap Taliban dari tahun ke tahun terus membesar. Akhirnya pemerintah AS kewalahan dan menarik pasukannya, karena tujuan mereka telah tercapai yaitu memerangi kelompok teror Al Qaeda dan membunuh Osama bin Laden. Status konflik Afghanistan berganti mengerucut pada persoalan konflik domestik yang akhirnya dimenangkan Taliban. Label teroris bagi Taliban kian memudar, AS pun keluar ring dan berusaha cuci tangan.

Kekhawatiran publik Afghanistan dan masyarakat dunia atas kemenangan Taliban mengambil alih Ibu Kota Kabul sedikit berkurang, pasalnya Taliban tiba-tiba kelihatan lebih “humanis” dan menyampaikan narasi yang lebih persuasif kepada lawan yang ditaklukan, tidak ada tanda-tanda balas dendam. Nah, tesis Chua terbukti, kelihatan terpenting bagi Taliban adalah berkuasa terlebih dulu sebagai wujud mengamankan saluran politik etnosentris dan dominasi Pashtun yang dua dekade kehilangan kekuasaan.

Keraguan Masa depan Afghanistan

Taliban mulai paham pentingnya restu internasional, mereka juga tidak ingin menjadi negara pariah -negara yang tersingkir dari dunia internasional- Menyangkut itu, Taliban berdalih siap membuka diri dan siap dikritik. Taliban berwacana kedepan menginginkan pemerintahan inklusif (tanpa diskriminasi dan persekusi) dengan syarat tetap sesuai hukum Islam seperti yang diberitakan. Kemungkinan perlakuan terhadap suku-suku minoritas seperti suku Hazara yang menganut syiah, memberikan akses pendidikan, pekerjaan bagi perempuan, dan sebagainya.

Patut dicurigai, perlakuan “kebaikan” Itu tidak lebih sebagai “sedekah” pihak dominan (penguasa) kepada minoritas yang terikat dengan adat (code) Pashtunwali: balas dendam, kehormatan, kebersamaan, keramahtamaan. Mereka “Taliban- yang identitasnya masih sangat kental dengan politik etno sentrisme Pashtun, itu yang membedakan Taliban dengan pemerintahan Afghanistan sebelumnya yang terbuka pada kepentingan nasional, kekuasaan dibagi berdasarkan porsi jumlah etnis. Taliban meskipun islamis mereka masih tersandera problem (soliteris) ilusi ketunggalan identitas kesukuan, Afghanistan tetap dianggap sebagai “hak milik” bangsa Pashtun. Kesimpulannya, stabilitas politik Afghanistan tergantung kepada peran kelompok suku yang dominan.

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda