Berpikir Irasional: Tuntutan atau Kebutuhan?
Font: Ukuran: - +
Penulis : Feri Irawan
Feri Irawan, S.Si., M.Pd, Kepala SMKN 1 Jeunieb dan Ketua IGI Daerah Bireuen. [Foto: for Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Opini - Tulisan ini merupakan respons atas banyaknya kasus praktik dukun palsu di Indonesia, tak terkecuali di Aceh yang notabene masyarakatnya mayoritas beragama Islam. Sejarah eksistensi dukun dalam masyarakat tidak terlepas dari lahirnya keyakinan dan kepercayaan yang sudah melekat pada masyarakat sejak nenek moyang hingga berkembangnya peradaban budaya saat ini.
Masyarakat masih mempercayakan dukun atau orang pintar sebagai salah satu penyembuh atas penyakit tertentu, di samping pengobatan medis, atau keperluan lainnya. Umumnya mendengar profesi perdukunan ini dari mulut ke mulut, membaca iklan di majalah, tabloid, koran atau buku-buku, atau pernah melihat sosok di antara dukun yang bertebaran dalam tayangan berita layar kaca.
Teranyar, tuntutan gaya hidup membuat duabelas orang yang percaya dengan dukun pengganda uang. Ya, masyarakat Indonesia kembali digegerkan dengan kasus dukun "mbah slamet' di Banjarnegara Jawa Tengah.
Mbah Slamet mengaku bisa menggandakan uang menjadi puluhan juta dengan syarat kliennnya harus menyerahkan sejumlah uang. Setelah uang diserahkan, janji si dukun tak kunjung terwujud. Uang hilang, duabelas nyawa pun melayang.
Kisah yang sama, serial killer tahun 2022 yang dilakukan Wawan Cs di Bekasi, Cianjur dan Garut. Para pelaku menghimpun dana dari para korban dengan iming-iming penggandaan uang. Wawan cs langsung mengeksekusi para korban saat menagih hasil penggandaan uang tersebut.
Kisah lainnya, seorang pria berjuluk Pesulap Hijau di Padang Tijie, Pidie, Aceh (2022), yang mencabuli puluhan ibu muda. Dalam menjalankan aksinya, Pesulap Hijau berpura-pura sebagai dukun dan membuka pengobatan alternatif. Dia bahkan mengaku sebagai utusan Tuhan agar dipercaya orang yang berobat padanya.
Lalu kenapa dikatakan dukun palsu? Karena dukun slamet, wawan cs, dan pesulap hijau dalam kisah di atas tidak memiliki kemampuan di bidang perdukunan tetapi mengaku bahwa dirinya memiliki kemampuan tersebut hingga dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Prihatin memang, karena di tengah era majunya teknologi dan berkembangnya sains sekarang ini masih ada saja kalangan elit, terdidik, terhormat, cerdas, pintar, bahkan lulusan luar negeri, masih saja menyandarkan peruntungan pada hal-hal yang irasional. Entah itu untuk cepat kaya, untuk sembuh dari penyakit, kesulitan ekonomi, karier dan jodoh, sampai dendam dan sakit hati pada seseorang.
Pertanyaannya, apakah memang dukum lebih pintar karena pendidikan formal yang tinggi? Jawabannya tentu tidak. Pengetahuan dan keterampilan seorang dukun tidak diperoleh melalui pendidikan formal yang tinggi, karena hingga saat ini di Indonesia belum ada sekolah atau perguruan tinggi yang membuka program studi keahlian perdukunan. Kalau pun ada, mungkin hanya sebatas kursus privat yang sangat terbatas, yang hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu.
Lalu apa penyebab orang percaya jasa perdukunan? Apakah karena pengaruh pengalaman subjektif? Pengaruh tradisi dan tokoh panutan? Atau malasnya bernalar dan kurangnya pengetahuan? Jawabannya ini tentu membutuhkan kajian lebih lanjut.
Namun dalam fakta sosial, manusia dalam menghadapi berbagai permasalahan lebih memilih jalan keluar yang tidak rasional atau irasional. Jalan irasional tentu dilakukan dengan cara berpikir yang tidak logis dan empiris dan mencari hal-hal mistis. Hal tersebut memicu sebagian masyarakat yang berusaha menyelesaikan problematika dengan caranya dan alternatif yang diambil dengan mendatangi seorang dukun atau paranormal.
Sebagai contoh, bayi rewel di bawa ke dukun, dagangan ingin laris minta jimat ke orang pintar, mau bertarung dalam pemilihan bupati minta nasehat ke paranormal, bahkan ada siswa yang ingin lulus ujian minta air putih ke seseorang untuk di sembur. Demikian juga dari mulai pemilihan kepala desa, pencalonan anggota dewan, bupati, gubernur dan presiden tak bisa dilepaskan dari hal tersebut.
Namun yang pasti, banyaknya yang masih percaya dukun, ini membuktikan bahwa masyarakat kita masih rendah dalam penguasaan sains dan teknologi. Korelasinya semakin maju penguasaan dan teknologi suatu bangsa maka praktik perdukunan cenderung rendah karena jumlah pemercaya ‘manfaat’ perdukunan semakin berkurang.
Analoginya begini. Sejauh ini, kita hanya penikmat pengetahuan ilmiah (konsep, prinsip, rumus-rumus, atau teori) tetapi bukan penghasil pengetahuan. Maka dalam matematika ada Hukum Phytagoras tetapi belum ada Hukum Slamet
Dalam bidang teknologi, mulai dari alat rumah tangga, alat transportasi, hingga alat komunikasi, kita juga hanya pengguna bukan penemu. Karena kita hanya menikmati dan menggunakan, bukan menguasainya, maka kita sulit memahami makna filosofis/spiritual dari temuan-temuan sains dan teknologi itu.
Kesimpulannya, dimana ada ajaran tentang kemukjizatan di situ akan ada kepercayaan terhadap kekuatan gaib/paranormal. Dimana ada kepercayaan terhadap kekuatan gaib pada manusia atau benda tertentu di situlah praktik perdukunan kian marak. Walhuhu’alam. [**]
Penulis: Feri Irawan, S.Si., M.Pd (Kepala SMKN 1 Jeunieb dan Ketua IGI Daerah Bireuen)