Arus Balik Kulminasi Kegilaan Demokrasi
Font: Ukuran: - +
Penulis : Rahmat Fahlevi
Rahmat Fahlevi. [Foto: for dialeksis.com]
Paradoks yang tidak berkesudahan
Demokrasi kontemporer menekankan pentingnya pemenuhan akan hak individu di atas segalanya bahkan dalam pemilihan elektoral sekalipun. Semangat kolektivisme telah ditumbangkan oleh individualisme. Proliferasi semangat individualisme dilakukan alih-alih untuk melakukan blokade terhadap kekuatan segelintir orang yang mampu memblokir gerakan koletif yaitu oligarki.
Namun, di sisi yang lain pemenuhan hak kepemilikan individu dalam ekonomi justru menjadi bumerang bagi demokrasi sendiri.
Dalam pemilu Indonesia sekarang misalnya, beberapa waktu lalu jagat media diramaikan oleh perdebatan proporsional tertutup & sistem proporsional terbuka.
Yang mana proporsional tertutup memberikan wewenang penuh kepada ketua partai untuk menentukan siapa kader partai yang proper untuk menduduki kursi parlemen.
Sedangkan proporsional terbuka menghendaki adanya delegasi kekuasaan dari ketua partai terhadap kader untuk mencari suara masing-masing dan melakukan kampanye atau dengan kata lain masyarakat memilih caleg bukan partai.
Jika disatu sisi kita menginginkan proporsional terbuka, dan disisi yang lain menghendaki hilangnya money politics itu adalah paradoks, sama halnya seperti mengisi air ke dalam bakul apel yang berbolong.
Dikarenakan setiap caleg dituntut untuk mencari suara yang pastinya akan terjadi praktik money politics. Oleh karenanya pengembalian wewenang kepada partai untuk menentukan kader yang akan mengisi parlemen sangatlah tepat.
Disisi yang lain, kebebasan mengutarakan pendapat dan kritik rasa-rasanya sudah bergeser terlalu jauh.
Kekuasaan sekarang dipandang sebagai common enemy, perjuangan di bangun atas premis anti terhadap kekuasaan mutlak.
Sehingga apapun yang dihasilkan baik produk public policy, manuver kekuasaan akan di pandang dengan sinis. Yang pada akhirnya menciptakan keadaan disqualifying the positive, apapun yang dikatakan oleh kekuasaan adalah kebohongan, penuntutan atas revolusi yang tidak berkesudahan, pertumpahan darah berkepanjangan. Sebenarnya ini demokrasi atau hanya bentuk pemenuhan akan romansa perjuangan masa lalu agar dikenang sebagai pahlawan dan katalisator perjuangan? Tidak, pertumpahan darah tidak se heroik itu.
Anda akan tertulis dalam buku sejarah sebagai pahlawan revolusi yang menduduki singgasana namun berjalan di atas darah orang-orang yang tidak bersalah.
Kritik sudah terlalu jauh bergeser menjadi ajang mencari sensasi. Dan melakukan kritik menjadi bentuk pemenuhan obsesi agar tidak di anggap sebagai golongan yang social desirability bias.
Masyarakat di era sekarang dalam bingkai negara demokrasi memposisikan diri sebagai orang yang paling tahu dan paling mengerti atas apapun permasalahan yang sedang terjadi karena underlying “kebebasan berbicara” tadi.
Semua mendadak menjadi pakar dan ahli kagetan, namun disaat yang sama ada orang yang berdiametral pendapat dengannya langsung di klaim sebagai antek rezim karena tidak selaras argumentasi dengannya.
Masyarakat modern ini seperti yang dilukiskan seorang novelis ternama asal Denmark Hans cristian andersen yang membuat sebuah cerita metafora yang sangat bagus.
Dalam novelnya ia menarasikan seorang raja berkeinginan dibuatkan sebuah jubah yang hanya mampu dilihat oleh orang-orang spesial dan berkemampuan khusus saja. Sehingga ia memanggil para penenun terbaik dimasanya agar membuatkan jubah tersebut.
Saat raja keluar ke ruang istana, orang-orang yang ingin dikenang hebat & berkemampuan khusus mengatakan mampu melihat jubah tersebut dan sangat bagus. Yang pada nyatanya raja hanya menguji orang-orang disekitarnya dan jubah tersebut tidak pernah ada. [**]
Penulis: Rahmat Fahlevi (Penulis buku "Mencari Tuhan-tuhan Peradaban")