Beranda / Opini / Arus Balik Kulminasi Kegilaan Demokrasi

Arus Balik Kulminasi Kegilaan Demokrasi

Rabu, 26 April 2023 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Rahmat Fahlevi

Rahmat Fahlevi. [Foto: for dialeksis.com]


Arus balik demokrasi

Proses demokratisasi terjadi dimana-mana, setiap negara, unifikasi regional, media, jurnalis, akademisi dan seluruh elemen masyarakat menyuarakan demokrasi dan kesetaraan akses maupun hak. Secara literal hal itu sangatlah lazim dan lumrah karena manusia menuntut akan kebebasannya dalam berbicara.

Sejenak kita melihat arus balik sekarang di beberapa negara di dunia dan tindakan manusia modern yang bahwa demokrasi itu menggiring manusia untuk melampaui bahkan berlebih-lebihan dalam hal apapun. Pemimpin mulai kehilangan martabatnya atas dasar keyword “kebebasan” yang diserang secara brutal dengan makian berlandaskan kebebasan berbicara. 

“Loh, kan kami memilih Pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat. Suara rakyat, suara Tuhan (Vox populi vox dei)” dan kemudian pemimpin yang dipilih tidak kapabel dalam menjalankan tugasnya dan kontra-produktif akibat dari bius populisme keberpihakannya kepada rakyat. Hal ini banyak terjadi di setiap belahan negara bahkan di negara yang demokrasinya mapan sekalipun pernah melahirkan pemimpin yang demagog seperti Trump dan hanya berdasarkan coattail effect seperti Warren harding.

Sedikit kita recolecting the past pada paragraf awal opini ini yang mana penulis menggambarkan bagaimana kecintaan rakyat terhadap pemimpinya yang bahkan ia do’akan rakyat agar pemimpin berhasil menjalankan amanahnya.

Bagaimana dengan sekarang? Mari sama-sama kita memaki pemimpin kita. Yaa, karena beginilah esensi demokrasi yang telah terlepas dari nomokrasi.

Kebebasan sekarang telah mengalami perluasan definisi terlalu jauh (neologisme). Bahkan kebebasan sekarang sudah seperti jarum jam, yang mana pada awalnya ia menggugat kekuasaan yang absolut, dan sekarang para penggugat mengarahkan kebebasan tersebut ke dalam dimensi kebebasan yang absolut pula. Hipokrit? Silahkan jawabannya disimpan dibenak masing-masing.

Fukuyama mengkhawatirkan keruntuhan demokrasi di banyak negara dalam pustakanya yang bertajuk “Identity : the demand for dignity and the politics of resenment”. Ia menggambarkan bagaimana para yang menurutnya “pembangkang” demokrasi seperti gerakan #Meetoo, gerakan fundamentalis, etnonasionalisme, Make American great again. Ia juga menyebutkan beberapa pemimpin dunia yang memfasilitasi gerakan itu seperti Victor orban PM Hungaria, Donald trump Presiden US, Vladimir putin Presiden Rusia, Shinzo abe PM Jepang dan beberapa pemimpin yang menyuarakan etnonasionalisme lainnya.

Beberapa dari kasus tersebut adalah sebuah kewajaran karena setiap bangsa dan negara di dunia datang dengan nilai dan budaya yang berbeda (devergensi) oleh karenanya memaksakan universalisme nilai dan standar (konvergensi) adalah sebuah tindakan yang totaliter dan pseudo.

Lambat laun orang-orang akan mencari jati dirinya yang asali dan jauh-jauh hari hal ini telah di utarakan oleh Samuel P. Huntingkan dalam The clash of civilization.

Dan pada akhirnya, akan tiba masa dimana manusia di masa depan mengkodifikasikan tatanan kehidupan sosial baru yang multidimensi menjangkau politik dan ekonomi entah itu disebut neo-demokrasi apapun termnya yang melakukan negasi terhadap sistem lama yang telah mengalami penjungkirbalikan integritas, penyusutan dan pembusukan yang telah overdose mengglorifikasi supremasi hak asasi yang kebablasan.

Tidak ada yang tidak mungkin, jika sekarang kita mencoba hidupkan kembali pedagang di pinggiran kota Baghdad saat masa Abbasiyah dulu yang masih dengan nuansa kekhilafahan mungkin ia akan terkejut melihat perubahan pemerintahan sekarang. Ya, karena terlalu pagi bagi umur manusia untuk menarik kesimpulan bahwa demokrasi itu abadi dan sebagai evolusi terakhir sistem politik. Oleh karenanya jangan terjebak dalam angan-angan keabadian.

Selanjutnya »     Paradoks yang tidak berkesudahanDemokras...
Halaman: 1 2 3
Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda