kip lhok
Beranda / Opini / Akademisi, Aktivis

Akademisi, Aktivis

Minggu, 04 Februari 2018 21:15 WIB

Font: Ukuran: - +




Akademisi dan aktivis adalah dua makhluk yang berbeda, dan terpisah, tapi bisa juga merupakan sebuah kesinambungan karena berada pada sebuah arena bersama, yakni kampus.  Fenomena ini bisa kita dapatkan di Darussalam. Sebuah kampus, sesuai dengan nama yang diimbuhkan, yang melambangkan perdamaian, pertanda usainya konflik vertikal DI/TII dan Pemerintah RI.

Pada awalnya, Darussalam adalah sebuah mesin transformasi, yang merubah generasi tua yang berbasis pada dayah dan memberontak (DI/TII) menjadi generasi muda yang dikonstruksi dalam sistem pendidikan yang modern. Mereka pun menjadi aktivis 1966.

Namun, generasi 1966 yang kemudian menggerakkan kampus tersebut tak mengkonstruksi generasi aktivis baru, yang setelah 1974, kampus menjadi tanpa dinamika kaum muda terpelajar, yang memiliki nalar kritis terhadap kebijakan di zaman Orde Baru, justru manakala para akademisinya berasal dari para aktivis 1966. Tragisnya, ketika mulai muncul aktivis yang gerakannya tidak mengikuti arus utama, sebagaimana tercermin dari kegiatan aneka ormas, para akademisi yang berasal dari aktivis ini menjadi ujung tombak alat peredam rezim (militeristik).

Sampai kurun waktu 1990-an, di Aceh berlaku asumsi bahwa akademisi yang berasal dari aktivis tidak mengkonstruksi aktivis generasi baru. Para akaemisi generasi 1966 ini justru menjadi kaum loyalis terhadap rezim politik yang terbentuk pada kurun waktu itu, yakni rezim Orde Baru. Mereka asyik berebut struktur akademi, sedangkan generasi baru diharuskan abai terhadap situasi politik dan ekonomi yang negatif.  

Manakala konteks nasional berubah, demikian pula konteks Aceh terkurung di dalam operasi anti gerilya dengan sandi Operasi Jaring Merah, muncul generasi aktivis baru, yang aktivitasnya anti terhadap arus utama gerakan kaum muda yang dominan. Dari sini dapat dikatakan bahwa bukan akademisi yang melahirkan aktivis 1998, tetapi kondisi keacehan yang menjadi ibu kandung aktivis 1998.

Generasi aktivis 1998 terus bergerak dan belajar hingga perdamaian tercipta pada 2005. Dari jalanan, sebagian dari mereka kembali ke kampus untuk menjadi akademisi.  Sekilas sama halnya dengan pola yang ditunjukkan oleh generasi aktivis 1966. Mereka kembali ke kampus menjadi akademisi. Ada yang masuk ke partai dan, menjadi anggota parlemen. Ada juga yang menjadi bagian dari kaum birokrat muda.

Kini, di kampus, ruang kuliah penuh dengan generasi baru yang sedang mendengarkan kuliah yang diberikan oleh para akademisi, yang berlatar aktivis 1998. Di parlemen lokal juga terlihat ada sejumlah mantan aktivis 1998, mempunyai pengaruh yang signifikan dalam mengorientasikan jalannya parlemen. Bila kita masuk ke kantor-kantor birokrasi bisa ditemukan birokrat muda mantan aktivis 1998. Pada puncak piramida politik lokal, maka penguasa politik berlatar belakang pemberontak, yang dikelilingi oleh mantan aktivis.

Kampus senyap tanpa kelompok mahasiswa yang bernalar kritis terhadap dinamika Aceh. Jalanan senyap tanpa aksi protes. Tiada kaum yang mewacanakan strategi pembangunan dalam konteks angka kemiskinan yang relatif tinggi dalam skala nasional. Tiada suara yang memprotes komunikasi negatif antar elite politik dalam konteks pembahasan APBA.

Sejarah seakan berulang di Aceh bahwa akademisi mantan aktivis tak melahirkan generasi aktivis baru yang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman di Aceh, apalagi nasional. Akademisi justru menjadi aktor utama penggenggam generasi muda dan melipatnya ke dalam buku-buku yang tak terbuka.*

Penulis : Otto Syamsuddin Ishak

Keyword:


Editor :
Jaka Rasyid

riset-JSI
Komentar Anda