Beranda / Opini / Perempuan Aceh Award, Akankah Berlanjut?

Perempuan Aceh Award, Akankah Berlanjut?

Senin, 05 Maret 2018 00:38 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Rosnida Sari

GERAKAN perempuan di Aceh, terutama perempuan-perempuan di level akar rumput yang telah mengabdi untuk masyarakat, akan tetapi miskin penghargaan. Kerja-kerja perempuan selama ini sering hanya dilihat di lingkungan domestic. Sedangkan kerja-kerja mereka yang lain (di ranah public), mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan—cenderung diremehkan.

Tulisan ini coba menelaah tentang kerja-kerja mulia yang telah dilakukan oleh mereka (kaum perempuan, red) ini sering tidak dianggap tersebut. Padahal gerakan Perempuan Aceh ikut mewarnai situasi termasuk bagaimana mengawal perdamaian dan memajukan Aceh. Di antara kegiatan tersebut adalah pemberdayaan perempuan di bidang pendidikan, sosial, ekonomi dan politik. Membangkitkan kesadaran masyarakat lewat pemberian penghargaan bagi perempuan-perempuan di pedesaan (akar rumput) itu harus dilakukan sebagai imbalan atas pengabdian mereka pada kemanusiaan.

Aceh telah lama dikenal sebagai daerah yang memiliki banyak pejuang perempuan. Selain Cut Nyak Dhien, Cut Meutia dan Malahayati yang sudah begitu mendunia namanya, Aceh masih mempunyai banyak pahlawan perempuan. Tercatat ada 18 perempuan berpengaruh dalam sejarah Aceh yang tercatat dari tahun 1353-1920. Dengan begitu banyaknya perempuan berkapasitas yang tercatat dalam sejarah Aceh, tidak heran jika hingga saat ini juga semangat para pejuang itu mengalir dalam darah perempuan Aceh. Ditambah lagi dengan konflik berkepanjangan yang terjadi di Aceh sehingga membentuk karakter perempuan Aceh menjadi begitu kuat.

Banyak sekali tulisan dan catatan tentang proses perdamaian di Aceh. Namun sedikit sekali yang menuliskan tentang peran perempuan sebagai agen perdamaian. Padahal, dalam salah satu perbincangan dengan seorang perempuan aktivis dikatakannya bahwa ketika konflik terjadi, perempuan menjadi salah satu actor yang menghentikan peperangan untuk sementara. Ketika terjadi baku tembak antara GAM dan TNI pada tahun 1990an, para ibu-ibu sedang menanam padi di sawah. Ibu-ibu tersebut berbagi peran untuk mendatangi mereka yang sedang bertikai. Mereka berkata "hentikan dulu perang kalian. Kami sedang menanam padi. Kalau kami tidak nanam, nanti anak-anak kami tidak bisa makan". Maka perangpun berhenti untuk saat itu.

Cerita yang lain datang dari seorang perempuan muda. Ketika konflik dia masih SMU. Di sebelah sekolahnya terdapat pos TNI. Ketika sedang belajar didalam kelas, ia kerap mendengar erangan dan rintihan pemuda yang ditangkap karena dianggap GAM ataupun simpatisan GAM. Akibatnya, dia dan teman-temannya tidak konsentrasi belajar. Ia kemudian mendatangi pos TNI tersebut dan berkata kepada petugas yang dia kenal di sana untuk tidak menyiksa tahanan ketika jam belajar mengajar, karena mengganggu konsetrasi mereka. Keesokan harinya, ia tidak lagi mendengar suara-suara erangan dan jeritan laki-laki dari pos TNI itu.  

Dua cerita di atas menunjukkan bagaimana pada masa konflik perempuan juga mempunyai daya negosiasi sehingga keinginan mereka tercapai. Kerja-kerja perempuan seperti dalam penggalan cerita tersebut, jarang ditulis dan dihargai.

Saatnya gerakan perempuan Aceh mencoba menginisiasi kegiatan untuk memberikan penghargaan bagi perempuan-perempuan hebat yang ada di Aceh. Perempuan-perempuan tegar yang dapat menginspirasi perempuan-perempuan lain. Dan apa yang dilakukan oleh gerakan perempuan Aceh yang diberi nama Perempuan Aceh Award, salah satu cara mengapresiasi atas peran dan pengabdian para perempuan Aceh.

Gagasan membuat kegiatan Perempuan Aceh Award ini diinisiasi oleh beberapa perempuan Aceh. Ide ini datang ketika pemerintah Aceh memberikan penghargaan pada perempuan-perempuan yang terlibat dalam usaha membangun perdamaian di Aceh. Namun, kriteria siapa yang menerima penghargaan tersebut tidak jelas.

Satu yang ditangkap oleh para aktivis perempuan Aceh bahwa penerima penghargaan tersebut bukan dari komunitas akar rumput. Para penerima penghargaan tersebut adalah mereka yang mempunyai akses pada ekonomi dan kekuasaan sehingga penghargaan tersebut bukan hal yang istimewa.

Para aktivis perempuan Aceh lalu mencoba membuat kegiatan satire, memberikan penghargaan bukan untuk para aktivis perempuan, melainkan pada perempuan-perempuan yang berasal dari kalangan bawah yang tidak mempunyai finansial berlebih dan kekuasaan, tapi masih tetap konsisten untuk bekerja membantu sesama.

Ide tentang membuat Perempuan Aceh Award (PPA), sebenarnya sudah lama. Pertama diadakan di salah satu cafee di Banda Aceh pada tanggal 8 Maret 2009 bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional. Saat itu kegiatan ini belum bernama Perempuan Aceh Award, lebih dikenal sebagai kegiatan Hari Perempuan Internasional. Kegiatan pemberian penghargaan yang berbentuk sertifikat ini dibagi dalam beberapa kategori seperti kategori pendidikan dan kesehatan. Dana untuk pelaksanaan kegiatan tersebut didapat dari hasil patungan para aktivis perempuan. Dana tersebut kemudian diberikan sebagai hadiah bagi para pemenang masing-masing Rp. 500.000 dan sertifikat.  

Ketika acara pertama ini sukses, mulai muncul ide untuk menseriusi kegiatan ini dikalangan gerakan perempuan Aceh. Terlebih lagi, kegiatan ini adalah hasil mandat refleksi gerakan perempuan Aceh yang diadakan di Hotel Mekah. Beberapa aktivis perempuan dan aktivis laki-laki yang concern pada gerakan perempuan mulai membuat konsep acara Perempuan Aceh Award. Hasilnya adalah Pelaksanaan Perempuan Aceh Award tahun 2010. Dana kegiatan ini berasal dari Oxfam yang terdapat di beberapa lembaga seperti RPuK, ADF, KPI dan MaTa dalam bentuk program bernama Raising Her Voice. Salah satu aktivitas yang dirancang dalam program itu adalah pemberian award itu.

PAA mulai resmi digunakan pada tahun 2010. PPA menjadi satire terhadap pemerintah, karena seharusnya reward ini diberikan oleh pemerintah, terasa di PAA ini. Pihak penyelenggara juga mengundang para pembuat kebijakan untuk datang di acara ini, karena menurut mereka kegiatan ini harusnya menjadi tanggung jawab pemerintah dalam kewajibannya dalam pemenuhan hak masyarakat yaitu ‘to fulfill, to promote and to protect’. Gubernur masa itu, Irwandi Yusuf, beserta ketua DPRA, Hasbi Abdullah, ikut hadir di Sultan Selim, tempat pelaksanaan acara.

PAA kedua dilaksanakan pada tahun 2012 yang didanai oleh pemerintah dan bantuan lembaga internasional, Logica. Acara ini juga dilaksanakan di Sultan Selim. Namun tidak ada pihak pemerintah dari eksekutif yang datang di acara ini, kecuali ketua DPRA Hasbi Abdullah. Saat itu, atas ‘desakan’ UNwomen dan Logica, eksekutif yang diwakili oleh ketua BP3A bersama dengan ketua DPRA saat itu menandatangani MoU bahwa kedepan pemerintah akan membantu pelaksanaan PAA selanjutnya.

PAA ketiga dilaksanakan pada tahun 2015. Namun pendanaan kali itu bukan dari dana pemerintah secare langsung, melainkan dari dana aspirasi salah seorang anggota dewan. Ketika itu gerakan perempuan Aceh sudah berusaha untuk mencari dana lain dari anggota dewan yang lain, namun saat itu dana aspirasi si anggota dewan ini telah diberikan untuk kegiatan yang lain, sehingga tidak ada dana tersisa untuk kegiatan PAA.

Gerakan perempuan Aceh mempunyai andil yang sangat besar untuk membangkitkan semangat dan kegiatan perempuan-perempuan di Aceh. Namun sayangnya, seiring dengan semakin sedikitnya dana dan pekerja yang bersedia menyediakan waktunya untuk mengurus kegiatan ini, menyebabkan kegiatan ini, sepertinya, mati perlahan-lahan. Jika dilihat dari agenda dua tahunan, PAA harusnya sudah dilaksanakan pada tahun lalu.

Perempuan Aceh Award telah memberi semangat dan rasa dihargai bagi perempuan-perempuan Aceh. Tujuannya dengan memberi penghargaan, perempuan-perempuan makin berkarya dan membangkitkan rasa percaya diri mereka. Karema adanya kepercayaan diri membuat mereka mengepakkan sayap mereka hingga dikenal, tidak saja oleh lingkungan di sekitar mereka, namun oleh nasional bahkan internasional. Misalnya, pemenang PAA pertama, Ummi Hanisah, mendapatkan bantuan dari satu lembaga Jepang untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan sosialnya.

Pemenang PAA kedua,Asnaini, mendapat penghargaan Saparinah Sadli Award di Jakarta. Pemenang PAA ketiga, Badriah, mengikuti kegiatan kementrian Pemberdayaan Perempuan di Jakarta dan menjadi pembicara. Dari keberhasilan-keberhasilan ini terlihat bahwa PAA telah menghadirkan banyak perempuan potensial yang bisa membantu pemerintah mengentaskan kemiskinan dan kebodohan dilingkungan mereka. Semoga saja, PAA tidak mati perlahan-lahan, namun malah semakin bertumbuh dan bisa menambah jumlah perempuan potensial di Aceh.

Penulis adalah akademisi dan aktivis perempuan Aceh 

Keyword:


Editor :
Ampuh Devayan

riset-JSI
Komentar Anda