Beranda / Opini / 2019GantiPersiden: Butterfly Effect?

2019GantiPersiden: Butterfly Effect?

Kamis, 30 Agustus 2018 11:23 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Budi Azhari*

"Kepakan sayap kupu-kupu di hutan Amazon, dapat membuat badai tornado di Texas"


Teori butterfly effect ini, dalam budaya populer dimaknai sebagai kepakan sayap kupu-kupu yang dianggap suatu hal kecil dan tidak tampak atau terasa, namun akan berdampak besar suatu saat. Atau pesan dari teori butterfly effect adalah jangan pernah mengabaikan hal-hal yang terlihat kecil, karena akan bisa berdampak sangat besar.


Istilah populer dari "Butterfly Effect" itu sendiri pertama kali dikemukakan oleh oleh Edward Norton Lorenz, seorang ahli matematika dan meteorologi dari Massachusetts Institute of Technology. Melalui artikelnya yang berjudul "Predictability: Does the Flap of a Butterfly's Wings in Brazil Set a Tornado in Texas?", pada sebuah konferensi di Washington D.C, tahun1972.


Sebagai seorang matematikawan, Lorenz menggunakan suatu persamaan matematika dan mengujinya melalui simulasi program komputernya untuk mensimulasikan sistem cuaca di Amerika. Lorenz menemukan perilaku atmosfer yang tidak setabil sehubungan dengan gangguan dari suatu amplitudo kecil. Dalam penelitiannya terungkap bahwa perubahan kecil di suatu tempat pada sistem non-linear, dapat mengakibatkan perubahan besar pada waktu tertentu.


Butterfly effect yang dikenalkan oleh Lorenz belakangan ini menjadi istilah yang populer digunakan di dalam dan di luar perkembangan sains.Memang, satu kepakan sayap kupu-kupu tidak dapat menyebabkan badai tornado yang besar secara serta-merta. Namun, kepakan ini bisa menjadi kondisi awal yang mengakibatkan kejadian besar pada waktu tertentu.


Mari kita lihat salah satu contoh nyata dari butterfly effect yang pernah terjadi di Timur-Tengah.Kalau kita mundur sedikit kebelakang dan melihat pergantian pemimpin di timur tengah yang dikenal sebagai revolusi atau pegerakan "The Arab Spring". Merupakan akumulasi dari titik-titik kekecewaan dan kepentingan. Sehingga "Kepakan Sayap Kupu-kupu" oleh seorang penjual buah yang miskin bernama Mohamed Bouazizi dapat menggulingkan empat penguasa di timur-tengah.


Bouazizi yang hidup kekurangan dan harus menghidupi 8 anggota keluarganya, jangankan mendapat bantuan dari pemerintah, malah tempat Bouazizi mencari nafkah digusur oleh pemerintah dan dipukuli oleh petugas.Bouazizi melawan ketidakadilan itu dengan melakukan aksi protes yang ekstrem dengan membakar diri pada 17 Desember 2010, dan akhirnya Bouazizi meninggal dunia atas tindakan protesnya.


Kematian Bouazizi menjadi badai tornado di Tunisia, melalui sosial media aksi rakyat Tunisia digerakkan dan membuat Presiden Zine El Abidine lengser dari jabatannya setelah 23 tahun berkuasa.


"Kepakan Sayap Kupu-kupu" di Tunisia bergerak ke Mesir dan menumbangkan Hosni Mubarak. Di Libya berdampak tumbangnya Muammar Khadafi, akibat dari aksi demonstrasi yang dimulai pertama di kota Benghazi pada 15 Februari 2011 semakin besar dan menyebar ke Ibukota Tripoli.


Tidak hanya di Tunisia, Mesir dan Libya, dampak dari kepakan sayap kupu-kupu juga terjadi di Yaman. Pada 27 Januari 2011, sekitar 16 ribu rakyat berkumpul di pusat ibukota. Meminta Presiden Ali Abdullah Saleh yang telah berkuasa selama 33 tahun itu mundur. Dan akhirnya pada 23 November 2011 turun tahta.Gerakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa di timur-tengah ini merupakan butterfly effect, yang menyebar melalui media sosial.




Kemudian, pertanyaan yang mendasar dalam tulisan ini. Mengapa pemerintah rezim Jokowi dan pendukungnya takut dengan hastag #2019GantiPresiden!. Padahal itu hanya hastag kecil saja, dan sama halnya dengan hastag pendukung Jokowi yang mempopulerkan #Jokowi2Priode.


Apalagi, kedua hastag sama-sama dijamin oleh konstitusi, dan sama-sama merupakan hak warga negara untuk mengeluarkan pendapat didepan umum. Serta, Banwaslu pun mengatakan bahwa hastag #2019GantiPresiden bukan pelanggaran pemilu.


Namun, belakangan ini perlakuan persekusi dan diskriminasi terhadap para penggerak/pendukung hastag #2019GantiPresiden dibebarapa daerah, bisa menjadi "butterfly effect secara demokratis" bagi Jokowi pada hari pencoblosan nanti, jika perlakukan persekusi dan diskriminasi itu tidak dihentikan oleh pemerintah.


Sudah seharusnya, pemerintah memberi ruang yang sama bagi setiap warga negara untuk mengekpresikan diri, dan menatap masa depan negaranya sebagai anak bangsa.Semoga pemerintah dan aparat penegak hukum dapat berlaku adil dalam masalah ini.


Sebagai penutup dalam tulisan, saya hanya ingin mengingat kita semua berkaitan dengan teori butterfly effect, jangan pernah abaikan hal-hal yang kecil. Bukankah, kita tidak pernah terjatuh akibat tersandung gajah besar yang lagi hamil 😁, tapi kita sering terjatuh karena batu kerikil yang kecil. Dan kaki kita juga tidak akan pernah tertusuk tiang bendera di lapangan upacara yang tinggi😁, tapi kaki kita akan tertusuk duri yang kecil di pinggir jalan.

*Dosen UIN Ar-Raniry


Keyword:


Editor :
AMPONDEK

riset-JSI
Komentar Anda