Beranda / Opini / Melestarikan Kemerdekaan RI

Melestarikan Kemerdekaan RI

Kamis, 23 Agustus 2018 08:26 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh Zulfata, S.Ud,. M.Ag, Dosen luar biasa di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry

Momen perayaan kemerdekaan Indonesia ke-73 tahun ini berada dalam suasana prosesi Pilpres 2019 yang mulai memasuki tahapan kontestasi persuasif politik. Tujuh kepemimpinan presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah mampu mempertahankan keberadaan negara dari kehancuran layaknya negara Uni Soviet tempo doeloe. Kajian ini mencoba untuk menarasikan dan memetakan upaya pelestarian bangsa Indonesia melalui perspektif sosial dan kultural politik dalam menjaga keutuhan bangsa yang beradap, berkeadilan dan berkelanjutan.

Tak pelu berkecil hati ketika Indonesia dewasa ini belum cukup mapan dalam menghadapi tantangan kebangsaan seperti multikulturalisme, toleransi agama, terorisme hingga ancaman budaya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Namun demikian, harapan dan semangat untuk menjaga kedaulatan bangsa tak boleh pudar. Kekuatan rakyat dalam menjaga keutuhan bangsa tidak hanya tersimpan dalam nilai kebudayaan (value of culture), melainkan juga tersimpan dalam praktik-praktik keagamaan. Tak masuk akal apabila agama disebut-sebut sebagai sumber kegaduhan politik dan keresahan sosial. Agama-agama di Indonesia tak hanya dapat dianggap sebagai kumpulan norma teologis tanpa aksi nyata. Tetapi, agama-agama di Indonesia harus dijadikan patokan awal untuk menentukan nasib baik dan buruknya sebuah kebudayaan dalam bernegara.

Tanpa terjebak dalam konsep perbedaan dan persamaan kebudayaan dan agama. Fokusnya, tanpa peran agama dan kebudayaakan, maka bangsa ini tidak akan mampu bertahan untuk mencapai tujuannya. Ideologi Pancasila, semboyan bhinneka tunggal ika dan tut wuri handayani sejatinya adalah hasil dari perpaduan agama dan kebudayaan bagi Indonesia. Hubungan agama dan kebudayaan bagaikan matahari dan bulan. Agama sebagai penyinar yang menuntun manusia menuju jalan kebenaran, dan kebudayaan bagaikan bulan yang menentramkan sirkulasi sosial.

Kelalaian mengelola kebudayaan dan wacana keagamaan dapat mengancam eksistensi kemerdekaan. Munculnya politik perpecahan yang sering membenturkan kaum islamis dengan kaum nasionalis patut ditangani dengan baik. Terdapat anggapan seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dianggap sebagai partai yang nasionalis, dan Partai Keadilan Sejahtera dianggap mewakili kuam muslim. Pastinya, semua anggapan partai politik (parpol) yang mengatasnamakan aspirasi suatau kelompok keagamaan tidak dapat dibenarkan secara totalitas. Karena parpol sejatinya adalah suatu wadah dan sarana aspirasi politik bagi seluruh rakyat Indonesia.

Fenomena politisasai agama yang tertera di atas sejatinya telah digugat oleh Nurcholisd Madjid (Cak Nur) yang menyatakan bahwa " Islam yes, politik Islam no". Pernyataan kontroversi ini sempat menciptakan polemik perpolitikan umat Islam masa orde baru. Pada masa itu umat Islam Indonesia terbelah secara ideologi politik. Sehingga munculnya dua gerakan politik, yakni gerakan mendukung Islam sebagai ideologi politik dan garakan menolak urusan agama bercampur politik (sekulerisme).

Harus diakui, kualitas pengalaman beragama dan berbudaya rakyat Indonesia sangat menentukan nasib negara. Pembenihan dan penyadaran tentang etos agama dan budaya harus tetap tumbuh tanpa masuk dalam lingkaran politisasi agama dan budaya. Modal besar untuk mengembangkan semangat dan praktik patriotisme rakyat Indonesia terletak pada sejaumana rakyat Indonesia paham dan sadar tentang tujuan akhir dari agama dan budaya yang dianutnya.

Terus terang saja, budaya Indonesia bukan Arab Saudi dan bukan pula budaya Amerika ataupun Cina. Tetapi Indonesia adalah negara kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai Pancasila dengan pendekatan Islam nusantaranya yang rahmatallil’alamin. Indonesia akan tetap menajdi negara yang merdeka selama rakyatnya masih optimis untuk mengamalkan Pancasila dalam segala aktivitasnya.

Yang menjadi tantangan besar untuk menjaga kelestarian negara berada pada sejauhmana kekuatan pemerintah dan rakyat Indonesia dalam menghadapi tingginya angka kemiskinan, ketimpangan praktik hukum, politik liberal yang selalu memproduksi ketimpangan sosial dan ketimpangan politik di negeri ini. Ancaman besar terhadap eksistensi kemerdekaan Indonesia masa kini tidak lagi berada pada para penjajah asing. Melainkan ancaman tersebut berada pada dalam diri pemerintah dan rakyat Indonesia saat ini.

Belajar dari lengsernya jabatan presiden Soekarno, Seoharto dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang hampir merobek status kemerdekaan Indonesia masa lalu terjadi karena budaya persaingan politik negeri ini tidak mengedepankan Pancasila. Bahkan keberadaan tuhan sering terlupakan ketika ingin membentuk solidaritas politik dalam pergantian rezim kepemimpinan. Sungguh situasi politik yang sedemikian harus dicegah demi keberlanjutan status kemerdekaan NKRI.

Pelestarian kemerdekaan akan hampa ketika demokrasi selalu diwarnai dengan sentimen kebencian ketika sedang dan setelah Pemilu. Seolah-olah persatuan rakyat hanyalah mimpi. Demokrasi yang ingin mewujudkan kebebasan berpendapat (free speech) menghasilkan kebebasan mengumbar kebencian (hate speech). Demokrasi akan menjadi ancaman bagi kemerdekaan bangsa jika pemerintah dan rakyat tak mampu mengelolanya. Rakyat mengalami keresahan sosial karena sikapnya sendiri yang sering terjebak dalam memilih pemimpin dalam sistem Pemilu. Dan pejabat menjadi korupsi karena ulah produk strategi politiknya sendiri. Dalam hal ini, rakyat dan pemerintah tidak semestinya saling melempar bola api dengan saling menyalahkan. Situasi kekacauan komunikasi politik rakyat dan pemerintah terjadi karena ulah rakyat dan pemerintah tak serius menciptakan kebudayaan politik yang bermartabat.

Kebudayaan politik yang patriorisme para pendiri bangsa prakemerdekaan dianggap tak layak pakai oleh sekelompok rakyat dan pejabat dewasa ini. Sehingga tidak keliru rasanya jika mengatakan Indonesia saat ini telah cacat dalam melakukan transformasi kebudayaan politik. Padahal, kebudayaan politik yang diwariskan setelah kemerdekaan tersebut merupakan modal besar bagi bangsa ini untuk mencapai cita-cita luhurnya.

Jangan sempat demokrasi Indonesia saat ini menjadi bom waktu bagi nasib demokrasi kebangsaaan masa depan. Suka tidak suka, kebhinnekaan Indonesia tak mampu dilestariakn tanpa wadah demokrasi kebangsaan khas Pancasila. Dengan semangat kemerdekaan-73 tahun Indoensia kali ini, kita harus mampu melentingkan kesadaran menjalani demokrasi atas niat kemaslahatan umum untuk diteladani dalam semua lini aktivitas kenegaraan.

Penting untuk dipahami bahwa Indonesia tidak mungkin dipaksa untuk menjadi negara anti kemajemukan. Karena Indonesia telah terlanjur terbentuk dari rahim keberagaman. Wilayah Indonesia terbentang dari Sabang sampai Papua, dihuni oleh beragam etnis dan agama serta budaya. Perbedaan identitas politik daerah bukan dijadikan sebagai kekuaatan politik pelemahan bangsa. Tetapi politik identitas harus mampu menciptakan perpolitikan bangsa yang bermartabat dan sejahtera.

Melestarikan kemerdekaan melalui pencerdasan generasi mesti menjadi tanggung jawab bersama. Anak-anak jangan terjebak dengan game online, remaja dan dewasa dijauhkan dari bahaya narkoba dan radikalisme, serta yang lanjut usia jangan ditelantarkan. Demikian halnya dengan pemangku agama, harus tetap netral dan jernih dalam menyebarkan dakwah tanpa beraroma kebencian. Upaya pencerdasan harus dilakukan secara massif tanpa memandang strata soasial. Kaya dan miskin tidak menjadikan ancaman dalam setiap kompetisi anak bangsa. Sehingga daya laju pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia tidak mengalami kerapuhan.

Upaya untuk melestarikan kemerdekaan membutuhkan tingkat kesabaran dan semangat ideologis yang tinggi. Ibarat melestarikan manuskrip sejarah, sang kolektor atau perawat manuskrip harus bersikap sabar dalam memoles, menghembus debu-debu walaupun bias debu membuat dirinya sesekali bersin dan batuk dadakan. Begituah analogi kecil tentang rumitnya ketika mendeskripsikan proses pelestarian. Melalui momen kemerdekaan Indonesia ke-73 ini, kita tidak boleh bosan dan letih untuk bersatu-padu dalam merawat kemerdekaan bangsa dengan tujuan untuk belajar dari kesalahan masa lalu guna perbaikan dan kejayaan Indonesia saat ini dan masa depan. Semoga !


Keyword:


Editor :
Jaka Rasyid

riset-JSI
Komentar Anda